Benarkah Abu Thalib Bukan Seorang Muslim?

Benarkah Abu Thalib Bukan Seorang Muslim?

@MAHADALYJAKARTA – Abdul Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim lahir di Makkah, 35 tahun sebelum lahirnya Rasulullah SAW atau sekitar tahun 535 Masehi. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Thalib karena anak pertamanya yang bernama Thalib. Beliau merupakan salah satu tokoh besar yang disegani di Makkah dan Thaif yang berasal dari kalangan Bani Hasyim. Beliau juga terkenal sebagai pelayan para peziarah dan jamaah haji beliau juga yang menyediakan minum bagi mereka. 

Abu Thalib mewarisi sifat jujur, amanah, dan ahli dalam bidang kepemimpinan dari ayahnya yakni Abdul Muthalib. Selain mewariskan sifat-sifat tersebut, Abdul Muthalib juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada Abu Thalib untuk mengasuh Rasulullah SAW. Abdul Muthalib mempercayai Abu Thalib karena beliau paman yang paling dekat dengan Rasulullah SAW karena merupakan saudara kandung dari ayahnya yakni Abdullah. 

Rasulullah SAW dirawat oleh Abu Thalib ketika berumur 8 tahun. Bersama beliau Rasulullah SAW tumbuh menjadi pemuda yang jujur dan pandai berdagang. Beliau mengasuh dan merawat Rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya, bahkan beliau mendahulukan kepentingan Rasulullah SAW daripada kepentingannya sendiri. Kemanapun Rasulullah SAW pergi beliau selalu mengikuti dan melindunginya. 

Ketika Rasulullah SAW berumur 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya ke negara Syam untuk berdagang. Ketika rombongan Abu Thalib sampai di suatu tempat yang bernama Bushra, mereka disambut oleh Bahira nama aslinya adalah Jurjis yang merupakan pendeta terkenal di tempat itu. Sang pendeta menyambut rombongan Abu Thalib dengan penyambutan yang meriah, padahal sebelumnya ia tak pernah melakukan hal seperti itu pada rombongan lain. Kemudian ia berjalan menyusuri rombongan tersebut dan berhenti di dekat Rasulullah SAW sambil memegang tangannya dan berkata “Inilah penghulu alam semesta, inilah utusan Rabb alam semesta, dia diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta ini.” Abu Thalib beserta para rombongan bertanya kepadanya “Bagaimana anda tau akan hal itu?” Dia pun menjawab “Sesungguhnya ketika kalian muncul dan naik dari bebukitan, tidak satupun dari bebatuan atau pepohonan melainkan bersujud terhadapnya, dan keduanya tidak akan bersujud kecuali terhadap seorang nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya dari tanda kenabian yang berada di bagian bawah tulang rawan pundaknya yang berbentuk seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui hal tersebut dari kitab suci kami.”

Setelah perbincangan itu sang pendeta menjamu rombongan tersebut secara istimewa. Kemudian ia memerintahkan Abu Thalib untuk membawa Rasulullah SAW pulang ke Makkah karena ia khawatir orang Romawi dan Yahudi akan menangkap Rasulullah SAW. Abu Thalib menyanggupi perintah tersebut dan langsung mengirim Rasulullah SAW ke Makkah bersama sebagian anaknya.

Diceritakan dari Amr bin Said bahwa Abu Thalib berkata “Aku sedang di Dzul Majaz bersama keponakanku, lalu aku merasa kehausan dan aku mengadu padanya sambil berkata wahai keponakanku aku haus, padahal aku melihatnya tidak mempunyai apa-apa kecuali sama-sama merasa kelaparan. Lalu Rasulullah SAW menggeser pinggulnya kemudian turun dari tunggangan dan bertanya padaku wahai pamanku apakah engkau haus? Aku pun menjawab iya. Setelah itu ia menekan tumitnya ke tanah dan tiba tiba muncul air, lalu ia berkata minumlah wahai pamanku, dan aku pun meminumnya.” Disebutkan dalam kitab Bidayatus Suul Fii Tafdhilir Rasul poin ke-11 bahwa air yang keluar dari Rasulullah SAW itu lebih utama daripada air yang terpancar dari batu Nabi Musa. 

…………..فَكَانَتْ مُعْجِزَاتُهُ بِانْفِجَارِالْمَاءِ مِنْ بَيْنِ اَصَابِعِهِ اَبْلَغُ مِنْ اِنْفِجَارِالْحَجَرِلِمُوْسَى

Baca Juga:

Lima Tahapan Pertemuan Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS

 

Pada saat Rasulullah SAW menginjak usia 20 tahun, ia mendatangi Abu Thalib sambil berkata “Wahai pamanku aku bermimpi didatangi oleh sosok laki-laki yang diikuti oleh dua temannya, mereka memandangiku dan berkata ini dia orangnya tapi masih belum waktunya.” Abu Thalib mendengarkan dengan seksama dan menanggapi bahwa itu tidak berarti apa-apa. Keesokan harinya Rasulullah SAW mendatangi Abu Thalib lagi dan kembali menceritakan mimpinya “Wahai pamanku orang yang pernah aku ceritakan kemarin mendatangiku lagi lalu mereka memasukkan tangannya ke dalam perutku hingga aku benar-benar merasakan dinginnya.” Karena Rasulullah SAW mengalami mimpi yang sama sebanyak dua kali, Abu Thalib pun membawanya pergi untuk menemui ahli kitab dengan tujuan mengobati Rasulullah SAW dan menanyakan perihal mimpi tersebut. 

Sesampainya Abu Thalib di tempat ahli kitab, ia pun menceritakan apa yang dialami Rasulullah SAW. Ahli kitab langsung mendekati Rasulullah SAW dan memandanginya, ia berkata pada Abu Thalib “Wahai Abu Thalib sesungguhnya pemuda ini adalah sebaik-baik tabib karena terdapat banyak tanda kenabian dalam dirinya, apabila orang Yahudi menemukannya mereka akan membunuhnya. Dan mimpi itu bukanlah gangguan dari setan tapi itu adalah An-Namus (malaikat) yang mengamati hati kenabian.” Setelah mendengar penuturan ahli kitab, Abu Thalib dan Rasulullah langsung kembali pulang. 

Ketika Rasulullah berumur 25 tahun, ia menceritakan pada Abu Thalib bahwa ia bertemu dengan Nafisah binti Umayyah tentang maksud Sayyidah Khadijah yang mengajaknya untuk berumah tangga. Setelah menceritakan hal itu, para keluarga segera bermusyawarah dan menentukan waktu yang akan disepakati oleh kedua belah pihak keluarga untuk melangsungkan pernikahan. Di hari lamaran, Abu Thalib mengantar Rasulullah SAW berangkat ke rumah Sayyidah Khadijah. Sesampainya di sana mereka disambut oleh paman Sayyidah Khadijah, Amr bin Asad. Kemudian Abu Thalib berdiri bersama Rasulullah SAW lalu menyampaikan secara resmi maksud kedatangan mereka. Perkataan Abu Thalib tersebut merupakan gerbang awal mulanya rumah tangga Rasulullah SAW bersama Sayyidah Khadijah. Setelah menikah Rasulullah SAW tinggal bersama Sayyidah Khadijah di rumahnya dan meninggalkan Abu Thalib.

Ketika Rasulullah SAW menerima wahyunya yang pertama, ia bercerita pada Abu Thalib dan mulai berdakwah secara sembunyi-sembunyi hingga terang-terangan. Dan ketika berita dakwah Rasulullah SAW sampai ke telinga kaum Quraisy, mereka pun mendatangi Abu Thalib dan berkata “Wahai Abu Thalib sesungguhnya engkau adalah orang yang kami tuakan, memiliki kemuliaan, dan kedudukan. Sungguh kami memintamu untuk mencegah keponakanmu untuk menghentikan dakwahnya. Dia mencela nenek moyang dan Tuhan kami, maka hentikanlah dia atau kami akan memeranginya.”

Ancaman dari orang Quraisy menggetarkan Abu Thalib yang membuatnya mendatangi Rasulullah SAW dan berkata “Wahai keponakanku sesungguhnya orang Quraisy telah mendatangiku mereka mengatakan ini itu, maka hentikanlah dakwahmu demi diriku dan dirimu sendiri dan janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang di luar kesanggupanku.” Kemudian Rasulullah SAW berkata “Wahai pamanku demi Allah SWT andaikan mereka sanggup meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan agama ini, aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah SWT memenangkan agama ini atau aku binasa karenanya.” Mendengar penuturan tersebut Abu Thalib menangis dan mendekati Rasulullah SAW dan berjanji bahwa akan mendukungnya dan tidak akan menyerahkannya pada siapapun. 

Kaum Quraisy melihat bahwa Rasulullah SAW tetap melanjutkan dakwahnya dan menyadari bahwa Abu Thalib tidak mendengarkan mereka. Mereka pun menemui Abu Thalib untuk kedua kalinya dengan membawa Umarah bin Walid bin Mughirah, pemuda Quraisy yang tampan dan gagah dengan tujuan menukarkannya dengan Rasulullah SAW.  Abu Thalib menolak mereka dan mengatakan bahwa ia tidak akan menukarkan keponakannya dengan apapun. 

Seiring berjalannya waktu ketakutan Abu Thalib semakin besar mengingat upaya kaum Quraisy yang berusaha mencelakai Rasulullah SAW. Pada suatu hari Abu Thalib mendatangi Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan Bani Abdul Manaf agar mereka bersedia untuk melindungi Rasulullah SAW dan bangkit membelanya. Mereka pun menyanggupi baik dari kalangan muslim maupun kalangan kafir sebagai bentuk perlindungan terhadap kerabat mereka. Akan tetapi salah satu dari mereka menolak dan memilih berada di pihak orang-orang Quraisy, dia adalah Abu Lahab.

Orang Quraisy melakukan pemboikotan secara menyeluruh pada Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan Bani Abdul Manaf karena semakin banyaknya orang yang masuk Islam. Mansur bin Ikrimah bin Amir bin Hasyim dari kalangan orang Quraisy menuliskan perjanjian dan kesepakatan untuk tidak akan pernah mengasihi mereka sampai mereka menyerahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh. Perjanjian tersebut digantungkan di dinding Ka’bah. Semua penduduk dari Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan Bani Abdul Manaf baik orang Islam atau kafir berhimpun di lembah Abu Thalib kecuali Abu Lahab. Peristiwa itu terjadi pada tahun ketujuh kenabian. 

Pemboikotan berlangsung selama 3 tahun penuh. Dan pada bulan Muharram tahun kesepuluh kenabian terjadi pembatalan perjanjian dan perobekan piagam hal ini terjadi karena sebagian orang Quraisy menentang dan tidak senang akan pemboikotan tersebut. Mereka yang tidak menyetujuinya berusaha untuk membatalkannya. Perjanjian tersebut dirobek oleh Muth’im bin Adi dari kalangan kafir Quraisy, ketika ia merobeknya ia menemukan bahwa tulisan yang ada di lembaran tersebut sudah dimakan oleh rayap dan hanya menyisakan lafadz Bismillah dan yang mengandung nama Allah SWT. 

Setelah pemboikotan yang cukup lama, Abu Thalib jatuh sakit dan semakin hari sakitnya semakin parah. Kemudian pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian ia menghembuskan nafas terakhirnya, yakni 6 bulan setelah meninggalkan lembah tempat pemboikotan dan ada yang berpendapat bahwa Abu Thalib wafat pada bulan Ramadhan, 3 bulan sebelum wafatnya Sayyidah Khadijah. Saat itu Abu Thalib berusia 80 tahun lebih.

Disebutkan dari Musayyab dalam kitab As-Sahih bahwa ketika Abu Thalib mendekati ajalnya, Rasulullah SAW mendatanginya dan pada saat bersamaan di sampingnya juga ada Abu Jahal. Rasulullah SAW berbisik di telinga Abu Thalib “Wahai pamanku ucapkanlah lailahaillallah satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah kelak dihadapan Allah SWT.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menyela ucapan Rasulullah SAW, dan berkata “Wahai Abu Thalib apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muthalib?” Keduanya terus mendesak Abu Thalib, hingga akhir kalimat yang diucapkan Abu Thalib adalah aku masih tetap dalam agama Abdul Muthalib.

Setelah Abu Thalib mengucapkan kalimat terakhirnya Rasulullah SAW pun bersabda “Sungguh aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang untuk melakukannya.” Kemudian turunlah surat At-Taubah ayat 113. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۤ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْۤا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya) setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni Neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 113)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman dalam surat Al-Qashash ayat 56:

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah SWT memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash 28: Ayat 56)

Penjagaan dan perlindungan yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah SAW sangatlah ketat. Beliau merupakan benteng dakwah Islam dan tempat berlindung dari orang-orang yang hendak menyakiti Rasulullah SAW dan orang Islam lainnya. Tetapi sayangnya Beliau tetap berada dalam agama nenek moyangnya sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Disebutkan dari Abbas bin Abdul Muthalib dalam kitab As-Sahih dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Pamanmu sangatlah menyayangimu dia telah melindungi dan mengorbankan apapun demi menjagamu lantas apa yang akan menjadi balasan untuknya?” Rasulullah SAW pun bersabda “Dia berada di neraka yang paling dangkal, andaikan bukan karena aku niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti sehingga dia berada di neraka yang paling dangkal yang hanya sebatas tumitnya saja.

Referensi:

Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, Terj. Muhammad Rum, Azhari Hatim, Abdullah Komaruddin, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019.

Ibnul Jauzi, Al-Wafa’, Terj. Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2016.

Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum, Terj. Suchail Suyuti, Depok: Gema Insani, 2018.

Misran dan Armansyah, Para Penentang Muhammad SAW, Bandung: Safina, 2018.

Rizem Aizid, Dua Pedang Pembela Nabi SAW, Yogyakarta: Noktah, 2022.

Kontributor: Nurika Amiroh Nubailah, Semester II

Leave a Reply