MAHADALYJAKARTA.COM – Di dalam Al-Qur’an banyak sekali kisah-kisah yang menceritakan orang-orang terdahulu terutama para nabi dan rasul, baik yang disebutkan namanya dalam lafad Al-Qur’an ataupun hanya sepenggal kisahnya saja. Nabi Khidir AS ialah salah satu nabi yang di dalam Al-Qur’an disebutkan kisahnya karena berkaitan dengan kisah Nabi Musa AS. Akan tetapi namanya tidak disebut dengan jelas. Walaupun demikian, Kisah Nabi Khidir AS sangat menarik dibahas karena sebagaimana dalam Al- Qur’an dijelaskan bahwa sosoknya menjadi salah satu tokoh sentral dari perjalanan kisah Nabi Musa AS. Selain itu, banyak riwayat menyebutkan bahwa Nabi Khidir AS adalah sosok yang abadi atau hidup hingga hari ini. Penjelasan mengenai kisah Nabi Khidir AS ini merupakan sarana untuk memperkaya ilmu pengetahuan tentang kisah para nabi dan rasul. Jika berbicara tentang nabi dan rasul maka bukan hanya menceritakan kisah 25 nabi dan rasul saja, karena masih banyak nabi-nabi yang belum kita ketahui, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an ataupun tidak.
Nabi Khidir AS merupakan Nabi yang didalam Al-Qur’an disebutkan bertemu dengan Nabi Musa AS. Dalam kisahnya diceritakan bahwa Nabi Musa AS melakukan perjalanan untuk mencari Nabi Khidir AS. Dalam kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi sebagaimana yang dikutip oleh A. Halil Thahir dan Ahmad Mughni Khoiruddin, rangkaian kejadian pertemuan Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS dibagi menjadi 5 tahap yaitu:
1. Perjalanan Nabi Musa bersama Pemuda sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Kahfi: 60-64.
وَاِذۡ قَالَ مُوۡسٰى لِفَتٰٮهُ لَاۤ اَبۡرَحُ حَتّٰۤى اَبۡلُغَ مَجۡمَعَ الۡبَحۡرَيۡنِ اَوۡ اَمۡضِىَ حُقُبًا
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. (QS. al-Kahfi: 60).
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya”. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa Musa yang disebut dalam ayat ini adalah Musa bin ‘Imran. Nabi bagi Bani Israil yang mempunyai mukjizat-mukjizat yang nyata dan syariat yang terang. Pemuda yang menemani Nabi Musa dalam perjalanannya adalah Yusa’ bin Nun bin Afrasim bin Yusuf. Dia menjadi pelayan Musa dan belajar kepada beliau. “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan”. Dalam ayat ini, Allah Swt menerangkan betapa gigihnya tekad Nabi Musa untuk sampai ke tempat bertemunya dua laut. Berapa tahun dan sampai kapanpun perjalanan itu harus ditempuh, tidak menjadi soal baginya asal tempat itu ditemukan dan yang dicari didapatkan. Nabi Musa begitu gigih karena beliau mendapat teguran dan perintah dari Allah Swt. “Atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Kata huquba digunakan untuk menyatakan masa satu abad atau 80 tahun. Itu menunjukkan tentang cita-cita yang kuat, bukan keterangan waktu secara khusus. Firman Allah Swt dalam QS. al-Kahfi : 61
فَلَمَّا بَلَغَا مَجۡمَعَ بَيۡنِهِمَا نَسِيَا حُوۡتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيۡلَهٗ فِى الۡبَحۡرِ سَرَبًا
Artinya : Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (QS. al-Kahfi: 61).
Allah Swt menyuruh Nabi Musa AS agar menemui orang itu dengan membawa seekor ikan dalam keranjang, dimana saja ikan itu lepas dan hilang di situlah orang itu ditemukan. Qatadah dan lain-lain mengatakan bahwa kedua laut tersebut adalah laut Persia yang berada di sebelah timurnya dan laut Rum yang berada di sebelah baratnya. Menurut Muhammad Ibnu Ka’ab al-Qurazhi yang dimaksud dengan tempat itu ialah yang berada di Thanjah. Ketika mereka sampai ke tempat bertemunya dua buah laut itu, berhentilah mereka dan beristirahatlah di dekat sebuah mata air bernama “mata air Hayat” di tempat itulah seekor ikan laut yang dibawa oleh Yusa’ untuk bekal perjalanan mereka, tiba-tiba bergerak dan melompat mengambil jalannya ke dalam air laut itu. Firman Allah Swt dalam QS. al-Kahfi : 62-61
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتٰٮهُ اٰتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدۡ لَقِيۡنَا مِنۡ سَفَرِنَا هٰذَا نَصَبًا
قَالَ اَرَءَيۡتَ اِذۡ اَوَيۡنَاۤ اِلَى الصَّخۡرَةِ فَاِنِّىۡ نَسِيۡتُ الۡحُوۡتَ وَ مَاۤ اَنۡسٰٮنِيۡهُ اِلَّا الشَّيۡطٰنُ اَنۡ اَذۡكُرَهٗ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيۡلَهٗ فِىۡ الۡبَحۡرِ ۖعَجَبًا
قَالَ ذٰ لِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِ ۖ فَارۡتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًا
Artinya : Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syetan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. al-Kahfi: 62-64).
Dengan kedua peristiwa menakjubkan itu, diketahuilah tempat yang dijanjikan untuk bertemu dengan hamba yang saleh tersebut. Kemudian Musa menyadari ternyata tempat yang dijanjikan oleh Allah Swt untuk berjumpa dengan hamba yang saleh itu telah terlewati dan bahwa letaknya di sebuah batu. Maka, Musa bersama muridnya menelusuri kembali jejak perjalanan sebelumnya hingga mereka menemukannya. Tampaknya pertemuan itu merupakan rahasia antara Musa semata-mata dengan Tuhannya. Sehingga muridnya tidak tahu apa-apa tentang itu.
2. Pertemuan Nabi Musa dan Pemuda sekaligus permohonannya kepada Nabi Khidir sebagai Guru sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Kahfi: 65-70.
فَوَجَدَا عَبْدًۭا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَـٰهُ رَحْمَةًۭ مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًۭا
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًۭا
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًۭا
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ خُبْرًۭا
قَالَ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًۭا وَلَآ أَعْصِى لَكَ أَمْرًۭا
قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعْتَنِى فَلَا تَسْـَٔلْنِى عَن شَىْءٍ حَتَّىٰٓ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًۭا
Artinya : Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (65) Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (66) Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku (67) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (68) Musa berkata: “InsyaAllah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan apapun” (69) Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”(70). (QS. al-Kahfi : 65-70).
Nabi Musa dan muridnya segera kembali ke tempat mereka beristirahat tadi. Mereka menelusuri jalan-jalan yang telah dilalui hingga sampailah pada batu besar di majma‘ al-bahrain. Ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang menutupi kepalanya dengan sejenis kain. Nabi Musa mengucapkan salam kepadanya. Orang itu tidak lain adalah Nabi Khidir menjawab: “Sungguh dari mana kedamaian bisa muncul di negerimu?” Nabi Musa berkata: “Aku adalah Musa”. Nabi Khidir bertanya: “Musa dari Bani Israil?” Nabi Musa menjawab: “Ya benar, aku datang kepadamu agar kiranya engkau berkenan mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”. Nabi Khidir menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku” (QS. al-Kahfi: 67). Maksudnya: “Wahai Musa, sesungguhnya aku (Khidir) mempunyai ilmu yang diajarkan Allah kepadakbeu yang tidak diajarkan kepadamu. Engkau juga mempunyai ilmu yang diajarkan Allah kepadamu yang tidak aku ketahui”. Nabi Musa berkata: “InsyaAllah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan apapun” (QS. al-Kahfi: 69). Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al-Kahfi: 70).
3. Peristiwa Pelubangan Kapal sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Kahfi: 71-73.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا رَكِبَا فِى ٱلسَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا إِمْرًۭا
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًۭا
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِى بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِى مِنْ أَمْرِى عُسْرًۭا
Artinya : Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki kapal lalu Khidir melubanginya, Musa berkata: “Mengapa kamu melubangi kapal itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar” (71) Dia (Khidir) berkata: “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku’” (72) Musa berkata: “Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku” (73). (QS. al-Kahfi : 71-73).
Diriwayatkan dalam sebuah hadits Bukhari Muslim, semula mereka berdua (Nabi Musa dan Nabi Khidir) berjalan di pinggir laut, ketika ada kapal mereka menumpang tanpa membayar ongkos, karena para kapal sudah mengenal Nabi Khidir dan pembebasan ongkos itu sebagai penghormatan kepadanya. Sesampainya di atas kapal, Nabi Khidir mencungkil salah satu papan hingga menenggelamkan penumpangnya. Melihat kejadian itu, Nabi Musa berkata kepada Nabi Khidir : Mengapa kamu melubangi kapal itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (QS. al-Kahfi: 71).
Kemudian Nabi Musa mengambil kainnya untuk menutupi lubang itu. Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, hamba shaleh itu mengingatkan Musa dengan komitmen yang telah dinyatakan sejak awal. “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku’” (QS. al-Kahfi: 72). Musa cepat-cepat meminta agar dimaafkan atas kelupaannya. Dia memohon agar Khidir menerima udzurnya dan tidak membebani kesulitan dalam urusannya. Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku (QS. al-Kahfi : 73).
4. Peristiwa Pembunuhan Anak (Ghulam) sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Kahfi: 74-76.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا لَقِيَا غُلَـٰمًۭا فَقَتَلَهُۥ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًۭا زَكِيَّةًۢ بِغَيْرِ نَفْسٍۢ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًۭٔا نُّكْرًۭا
قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًۭا
قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَىْءٍۭ بَعْدَهَا فَلَا تُصَـٰحِبْنِى ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّى عُذْرًۭا
Artinya : Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (74) Khidir berkata: “Bukankah sudah ku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (75) Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu” (76). (QS. al-Kahfi : 74-76).
Nabi Khidir dan Nabi Musa kembali melanjutkan perjalanan ke darat. Sampai di perkampungan, mereka berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain anak-anak kecil. Pada saat anak-anak kecil itu sudah letih bermain, dipanggillah salah seorang dari mereka oleh Nabi Khidir. Lalu di ajaklah anak tersebut ke suatu tempat yang jauh dan tidak dijangkau oleh anak-anak yang lain. Di sebuah tempat yang sepi itu, anak tersebut dibaringkan dan tidak disangka-sangka, seketika, tanpa rasa kasihan, Nabi Khidir membunuh anak tersebut. Sebagai nabi yang diutus Allah untuk memerangi kemungkaran, Nabi Musa tidak bisa berdiam diri melihat perbuatan Nabi Khidir yang dianggapnya keterlaluan dan melampaui batas. Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar (QS. al-Kahfi: 74) . Nabi Khidir menjawab, “Bukankah sudah ku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. al-Kahfi: 75). Nabi Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu” (QS. al-Kahfi: 76).
5. Penegakan Dinding yang Hampir Roboh sekaligus Perpisahan Nabi Musa dan Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Kahfi: 77- 78.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًۭا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًۭا
قَالَ هَـٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Artinya : Maka keduanya berjalan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk sutu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu, Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu” (77) Khidir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (78). (QS. al-Kahfi : 77-78).
Keduanya melanjutkan perjalanan hingga sampai pada penduduk suatu negeri. Mereka ingin beristirahat untuk sekedar melepas rasa lelah dan penat yang mereka rasakan akibat perjalanan yang teramat jauh. Keduanya berkeliling meminta dijamu oleh penduduk negeri tersebut, namun penduduk menolak. Di dalam negeri itu keduanya menjumpai rumah yang hampir roboh. Dengan segera Nabi Khidir menghampiri rumah tersebut dan memperbaikinya (menegakkannya) kembali sehingga rumah itu tampak kokoh dan bisa ditempati lagi. Melihat hal itu, Nabi Musa kembali dibuat terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu. “Negeri yang sangat bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan secara cuma-cuma atau gratis seperti yang engkau lakukan ini. Mereka telah menolak kita dan tidak bersedia memberi kita tempat untuk sekedar beristirahat. Bahkan, untuk memberi kita makan dan suguhan minum untuk kita yang lapar dan haus, mereka sangat enggan. Jikalau engkau mau, engkau bisa mendapat upah yang pantas atas pembangunan tembok itu” (QS. al-Kahfi:77). Mendengar perkataan Nabi Musa itu, akhirnya Nabi Khidir berkata kepadanya, “Wahai Musa, inilah saat untuk kita berpisah sesuai dengan janjimu yang terakhir. Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan aku (QS. al-Kahfi:78). Cukup sudah aku memberikanmu kesempatan dan maaf. Akan tetapi, sebelum kita berpisah, aku akan memberikan penjelasan serta alasan terhadap perbuatanku, yang mungkin dalam pandanganmu dianggap sebagai tindakan yang tidak wajar, menyalahi aturan, dan tidak terpuji”. Akhirnya Nabi Khidir mulai menceritakan kepada Nabi Musa seraya memberikan penjelasan untuk membongkar kemusykilan dan kebingungan yang Nabi Musa rasakan selama bersamanya.
Demikianlah 5 tahapan pertemuan Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS yang tercantum dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam QS. al-Kahfi ayat 60-78. Lain daripada itu, masih banyak kisah para nabi yang diabadikan dalam al-Qur’an, sehingga tidak cukup sampai di sini bagi kita dalam memperbanyak literatur tentang kisah-kisah orang shaleh yang bisa kita jadikan sebagai pedoman dan renungan untuk memperbaiki diri.
Referensi:
Al-Khotib Al-Bagdadi, Tarikh al-Anbiya, Beirut: DKI, 2004.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Diperkaya Dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu Kalam, Sastra, dan Psikologi Jilid 5, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi : Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup Para Nabi, sejak Adam AS. hingga Isa AS., terj. Saefullah MS, Jakarta : Qisthi Press, 2015
M. Luthfi Ghozali, Sejarah Ilmu Laduni (Perjalanan Nabi Musa AS Mencari Nabi Khidir AS), Semarang : Abshor, 2008.
A. Halil Thahir dan Ahmad Mughni Khoiruddin, Pesan Moral di Balik Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS. al-Kahfi (Studi atas Penafsiran al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib), QOF: Jurnal Studi al-Qur’an dan Tafsir, 2 (2020).
Ali Rahmat dan Fika Fitrotin Karomah, Strategi Menanamkan Pendidikan Karakter dalam Perspektif al-Qur’an (Telaah terhadap Ayat Qashah al-Qur’an), Kariman, 02 2020
Kontributor: Iing Mustaqim, Semester IV