‘Ariyah dan Qardh

‘Ariyah dan Qardh

Kita sebagai makhluk sosial sudah pasti mengenal yang namanya pinjam meminjam dan utang piutang. Sudah barang tentu, kita sendiri sering bermuamalah yang seperti ini. Kegiatan ini, seperti pinjam meminjam dari anak SD juga sudah ada yang pernah melakukannya. Seperti meminjam pulpen, meminjam buku, dan barang lainnya. Tapi masih banyak orang tidak tahu istilah dalam Islam tentang pinjam meminjam dan utang piutang. Seperti yang kita lihat, di antara keduanya seperti tidak ada perbedaan antara arti utang piutang dengan pinjam meminjam.

Tapi, sebenarnya dalam istilah dan pengertiannya dari keduanya itu sangat berbeda. Dalam kitab-kitab fikih seperti kitab Yaqut an-Nafis, Fath al-Qarib dan yang lainnya, dikatakan bahwa istilah yang cocok untuk akad pinjam meminjam sering disebut ‘ariyah, sedangkan istilah yang cocok disematkan untuk akad utang piutang adalah qardh.

‘Ariyah merupakan kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan dengan cuma-cuma dalam artian lain gratis.

Pengertian ‘ariyah secara bahasa yang termaktub dalam kitab lain seperti dalam kitab Fath al-Mu’in dan kitab Fath al-Qarib berasal dari kata عَارَ yang artinya sesuatu yang pergi dan datang kembali dengan cepat, bukan dari kata العَار yang artinya cacat. Sedangkan menurut istilah pengertian ariyah adalah akad yang memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu yang halal, dan saat pengembalian barang masih tetap utuh. Sedangkan pengertian qardh adalah memberikan kepemilikan sesuatu dan jika sudah saatnya dikembalikan, itu disebut sebagai gantian.

Masalah hukum pinjam meminjam (‘ariyah), mayoritas para ulama fikih mengatakan sunnah. Dikatakan sunnah karena mengacu pada potongan ayat dari QS. al-Ma’idah: 2, artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong menolong kalian dalam perbuatan dosa.”

Sedangkan dalam hukum utang piutang (qardh) hukumnya wajib jika keadaan terdesak. Ini mengacu pada potongan ayat QS. Al-Baqarah: 245 yang artinya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahi hartanya di jalan Allah maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.

Selain di dalam al-Qur’an, hadis yang diriwatkan oleh Ibnu Majjah juga menyebutkan bahwa siapa yang memberi pinjaman kepada sesamanya, maka akan diganti dengan ganti dua kali lipat dari apa yang dipinjamkannya. “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka itu seperti sedekah dua kali” (H.R Ibnu Majah).

Adapun rukun dari ‘ariyah di antaranya sebagai berikut :

  1. Mu’ir (orang yang meminjamkan)
  2. Musta’ir (orang yang diberi pinjaman)
  3. Mu’aar (barang yang dipinjamkan)
  4. Shigat (Ijab qabul)

Rukun dari ‘ariyah ini seperti simpel sekali. Tetapi di balik rukun yang simple seperti ini juga terdapat syarat-syarat tersendiri baik bagi mu’ir, musta’ir, dan mu’ar. Di antara uraian syarat bagi mu’ir kami menemukan beberapa perbedaan seperti dalam kitab Yakut an-Nafis dan Fath al-Qarib, ada tiga syarat bagi mu’ir, sedangkan dalam buku Fiqih Islam karya H. Sulaiman Rasjid terdapat dua syarat bagi mu’ir. Adapun syarat bagi mu’ir di antaranya :

  1. Ikhtiyar (orang yang bebas memilih) bukanlah anak kecil, budak, maupun orang gila.
  2. Mampu mengalokasikan barangnya.
  3. Pemilik dari manfaat barang, yaitu barang tersebut manfaatnya benar-benar dimiliki oleh orang yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf dan sebagainya. Karena meminjamkan itu hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan zatnya suatu benda yang dipinjamkan, sehingga orang yang tidak memiliki manfaat barang tersebut hukumnya tidak sah meminjamkan suatu barang.

Adapun syarat bagi mu’ir yakni orang yang diberi pinjaman itu ada dua :

  • Dia orang yang sangat membutuhkan akan pinjaman.
  • Orang yang bebas khiyar.

Selain kedua orang yang berakad dalam ‘ariyah memilki syarat tertentu, begitu pula dengan barang yang akan dipinjamkan dalam muamalah ‘ariyah tersebut.

Di antara syarat bagi barang yang dipinjamkan (mu’ar) yaitu :

  1. Barang tersebut memiliki manfaat dan tidak bertentangan dengan syara’.
  2. Barang yang dipinjamkan tidak berkurang atau utuh saat dikembalikan, sehingga apabila terdapat kekurangan pada barang tersebut dan di luar izin orang yang meminjamkan, maka musta’ir harus mengganti barang tersebut atau memperbaiki kerusakan barang tersebut. Di antara macam pinjaman bisa terjadi pada rumah, tanah, hewan dan semua barang yang diketahui bendanya dan memiliki manfaat.

Sedangkan dalam kitab Yakut an-Nafis ada tambahannya di antaranya :

  1. Barang tersebut boleh dipinjamkan.
  2. Barang tersebut sesuai apa yang dibutuhkan oleh peminjam.

Rukun utang piutang atau qardh itu sama seperti rukun ‘ariyah yakni :

  1. Adanya dua orang yang berakad yakni muqarridh dan muqtarid
  2. Uang atau barang yang mau diutangi ma’qud alaih
  3. Adanya ijab qobul atau shigot

Dalam hal utang piutang agama Islam menyuruh umatnya agar semaksimal mungkin untuk menghindari kegiatan ini, jika ia masih mampu membeli atau tidak dalam keadaan keadaan terdesak. Karena utang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Anggapan ini terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menggambarkan betapa beratnya tanggung jawab dalam utang piutang. Adapun isi hadits tersebut ialah akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.

Karena keumuman sering kali kita memberikan utang kepada orang lain tanpa tahu untuk apa harta yang kita pinjamkan kepadanya, maka dari itu ada syarat untuk utang piutang piutang itu menjadi amal shalih di antaranya.:

  • Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya.
  • Pemberi utang tidak mengungkit-ungkit dan menyakiti penerima utang.
  • Pemberi piutang berniat mendekatkan diri kepada Allah swt.
  • Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat bagi pemberi utang.

Kesimpulannya antara qardh dan ‘ariyah itu merupakan hal yang berbeda, seperti yang ditulis di atas. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan dan pesaman tersendiri. Adapun dari segi persamaan antara  ‘ariyah  dan qardh ialah memiliki manfaat dan waktunya dikembalikan kepada pemiliknya. Sedangkan perbedaan antara ‘ariyah dan qardh terletak pada barang itu sendiri. Jika pada ‘ariyah barang yang dipinjamkan tidak diganti atau ditukar dengan barang baru, sedangkan dalam qardh barang itu diganti atau ditukar dengan artian hanya nilai atau sifat yang tetap.

 

Referensi 

Al- Malibari, Zainudin bin Abdul Aziz. 2005.Kitab Fathul Mu’in Jilid Tiga. Lebanon: Darul Fikr

Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindro Badung

As-Satiri, Ahmad Ibnu Umar . Kitab Yaqutun Nafis. Jakarta : Darul Hikmah

Syekh Muhammad bin Qosim. Kitab Fathul Qorib. Jakarta : Pustaka Islamiyah

 

Oleh : Erna, Semester VI

Leave a Reply