MAHADALYJAKARTA.COM- “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62)
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Salman al-Farisi r.a. Ia merupakan seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang berasal dari Persia. Di antara para sahabat, ada yang bukan mantan musuh atau pernah memusuhi Rasulullah Saw. Dalam artian mereka memiliki riwayat sebagai pencari kebenaran. Salah satunya adalah Salman al-Farisi. Perjalanannya cukup panjang dan berliku sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw, yang akhirnya menyatakan diri masuk Islam. Sebenarnya sosok seperti apakah Salman al-Farisi itu? Bagaimanakah kisah perjalanan panjangnya? Lalu, bagaimana cara Salman dapat melewatinya hingga akhirnya berhasil menemukan kebenaran sejati?
Salman al-Farisi lahir di Ji Ram Hurmuz (Isfahan, Persia) yaitu negeri yang begitu kaya dan penuh dengan berbagai keindahan alamnya. Salman terlahir dari keluarga beragama Majusi (sebuah kepercayaan yang menggunakan api sebagai sesembahannya). Ayahnya adalah kepala desa Ji, seorang ahli petani yang mengerti tentang persoalan tanah, sehingga memiliki banyak sawah, ladang, dan perkebunan yang subur dan makmur. Ayah Salman begitu menyayanginya sehingga ia memingit dirinya di rumah seperti seorang gadis, supaya Salman tidak terpengaruh oleh dunia luar.
Salman mengerjakan kewajibannya dengan tekun sehingga ia dipercaya sebagai penjaga api, di mana dalam kepercayaan Majusi, api tersebut harus selalu menyala dan tidak boleh padam meski hanya sekejap. Kobaran dan suara api harus selalu ia perhatikan. Namun meski demikian, Salman merasa ada yang kurang dari agama yang dianutnya.
Perjalanan Salman
Perubahan hidup Salman terjadi ketika ia diberi tugas oleh ayahnya. Pada suatu hari, ayahnya sangat disibukkan oleh pekerjaan sehingga ia tidak bisa pergi ke ladang. Lalu, ayah Salman memerintahkan Salman menggantikan dirinya untuk mengurus ladang tersebut. Salman pun menjalankan tugas tersebut. Ketika sedang di perjalanan ia melewati sebuah gereja. Di sana ia mendengar orang sedang melakukan ibadah. Ia penasaran, ia pun masuk untuk melihat sesuatu yang sedang dikerjakan di dalam. Ia melihat orang-orang khusyuk dalam beribadah, hal itu menjadikan hatinya tenang. Dalam hatinya bergeming bahwa agama Nasrani itu lebih baik dari agama yang ia anut. Kemudian, ia bertanya kepada salah seorang di antara mereka, “dari manakah agama itu berasal?” orang itu pun menjawab, bahwasanya agama ini berasal dari negeri Syam. Setelah mengetahui hal tersebut, Salman ingin menemukan sesuatu yang membuat dirinya tenang dan nyaman. Tak terasa ternyata ia diam di sana hingga menjelang sore. Salman pun pulang ke rumah dengan wajah yang begitu gelisah sehingga membuat ayahnya khawatir dan bertanya-tanya. Ia menceritakan apa yang ia alami dan juga ketertarikannya akan agama Nasrani. Dengan tegas ayahnya menolak keinginanannya dan menjelaskan kepada Salman bahwa agama itu tidak ada kebaikan juga tidak ada agama yang benar selain apa yang mereka anut. Namun, Salman bersikeras teguh akan pendiriannya itu. Ayahnya pun mengancam dan merantai kedua kakinya serta memenjarakan dirinya, karena dikhawatirkan ia akan meninggalkan agama Majusi. Namun, yang dilakukan oleh ayahnya itu tidak membuat Salman putus asa dalam mencari tahu agama Nasrani. Salman pun menugaskan seseorang agar memberitahukannya jika ada orang-orang dari Syam. Tak lama kemudian orang itu memberi tahu Salman bahwa ada sekelompok pedagang dari Syam. Tanpa rasa takut pada ayahnya, Salman segera melepas rantai yang melingkar pada kakinya. Ia segera pergi menemui para pedagang itu. Ia meminta tolong kepada mereka agar mereka membawanya ke negeri Syam dan mereka menyetujuinya.
Sesampainya di Syam ia bertanya pada para pedagang itu tentang siapa yang paling alim dalam ajaran Nasrani, mereka memberitahu bahwa orang yang paling alim adalah uskup gereja. Setelah mengetahui itu, Salman segera bergegas mencari uskup tersebut. Sesampainya di gereja ia menemui uskup itu dan bercerita tentang apa yang ia alami dan menyatakan akan ketertarikannya terhadap agama Nasrani. Uskup itu pun menerima kehadirannya dan menjadikan ia sebagai pengikutnya. Hanya saja apa yang dikatakan para pedagang itu salah ternyata, uskup ini bukanlah orang yang baik melainkan orang jahat. Ia selalu memerintahkan jemaahnya untuk mengumpulkan sedekah. Akan tetapi, bukannya memberikan sedekah itu pada orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan, harta itu malah ia simpan untuk dirinya sendiri. Tak lama kemudian uskup itu meninggal, lalu Salman menceritakan apa yang ia ketahui tentang uskup itu kepada jemaah. Bukannya diterima, jemaah itu malah bertanya dari mana dia tahu mengenai hal ini. Salman berkata pada mereka bahwa ia melihatnya dan ia akan menunjukkan buktinya kepada mereka. Salman mengajak para jemaah untuk mengikutinya ke tempat penyimpanan. Sesampainya di sana Salman membuka kamar tersebut. Ternyata apa yang dikatakan Salman memang benar, mereka menemukan tujuh guci yang dipenuhi emas dan dirham. Mereka begitu kesal sehingga mereka tidak menguburkan jasad uskup itu, melainkan mereka menyalib dan melemparinya dengan batu.
Tak lama setelah meninggalnya uskup tadi, akhirnya ada seorang pemuda yang diangkat menggantikannya. Ia adalah seseorang yang begitu rajin, siang malam ia gunakan untuk beribadah. Salman merasa senang karena sebelumnya tak pernah ia temukan orang sepertinya. Sebelum orang itu meninggal ia berwasiat kepada Salman untuk menemui uskup yang ada di Mosul, karena ia tidak menemukan seseorang yang masih melaksanakan ajaran Nasrani sama seperti apa yang ia lakukan, ia juga mempercayai uskup Mosul itu untuk mengajari Salman.
Salman pun pergi ke Mosul untuk mencari uskup yang diceritakan pemuda itu. Sesampainya di Mosul ia menemuinya. Lalu ia menceritakan maksudnya datang ke Mosul, uskup itu menerimanya dan menyuruhnya tinggal di sana. Selama di sana ia merasa senang karena apa yang dikatakan pemuda dari Syam itu memang benar, ia benar-benar seseorang yang khusyuk dalam beribadah. Namun tak lama dari itu, Salman meminta wasiat kepadanya karena ia tahu bahwa pada hakikatnya manusia akan meninggal. Lalu uskup itu menyuruh Salman untuk menemuinya yang ada di Nashibin. Tak lama kemudian uskup Mosul pun meninggal. Setelah itu, dengan penuh semangat dan rasa penasaran ia pergi ke Nashibin untuk mencari uskup yang diceritakan uskup Mosul. Sesampainya di Nashibin ia bertemu dengan uskup itu, lalu ia menceritakan semuanya. Uskup Nashibin pun memerintahkan untuk menetap dan tinggal bersamanya. Selama di sana Salman beribadah dan belajar dengan benar. Sampai akhirnya ia berpikir pasti hal yang sama akan terjadi pada uskup Nashibin. Lalu, ia meminta wasiat kepada uskup Nashibin. Ia bertanya, “kepada siapa uskup itu akan menitipkannya lagi?” Uskup Nashibin pun menjawabnya bahwa ia tidak mengenal siapapun yang masih mengerjakan apa yang mereka kerjakan kecuali seseorang dari Amuriyah (yaitu suatu kota yang ada di Roma). Tak lama setelah itu, uskup Nashibin pun meninggal. Tanpa rasa menyerah Salman pun bersemangat untuk pergi ke Amuriyah. Sesampainya di sana, ia menceritakan maksud kedatangannya. Lalu uskup itu menerimanya dan menyuruhnya tinggal bersamanya.
Berbeda dengan uskup-uskup sebelumnya, di Amuriyah Salman tidak hanya beribadah dan diajarkan mengenai agama Nasrani saja, ia juga diajarkan cara bekerja dan mengelola usaha. Berkat bimbingan uskup tersebut dan ketekunan Salman, akhirnya ia memiliki sapi dan kambing yang banyak. Salman adalah seseorang yang cerdas, setelah itu ia pun meminta wasiat kepada uskup itu karena ia tahu bahwa uskup itu pasti akan meninggalkannya seperti uskup-uskup sebelumnya. Ia berkata pada uskup itu bahwa sesungguhnya ia tahu tentang perjalanan Salman dan pada siapa ia akan menitipkan Salman. Uskup itu berkata bahwa ia tidak mengenal siapa pun yang masih melakukan ibadah Nasrani dengan benar. Namun, uskup itu berkata bahwa di zaman ini telah diutus seorang nabi yang membawa agama Nabi Ibrahim a.s. Ia lahir di daerah Arab, lalu berhijrah ke daerah yang tanahnya terletak di antara dua bukit berbatu hitam juga banyak perkebunan kurma, serta terdapat tanda-tanda kenabian padanya di antaranya jika diberi sedekah ia tidak akan memakannya, namun ketika diberi hadiah ia memakannya, di punggungnya terdapat tanda-tanda kenabian. Tak lama kemudian uskup itu pun meninggal.
Pertemuan dengan Baginda Nabi Saw.
Setelah uskup Amuriyah meninggal, Salman menetap di sana cukup lama sampai suatu saat datanglah segerombolan pedagang yang berasal dari Arab. Ia pun menghampirinya dan berkata, ”tolong antarkan aku ke Arab, maka aku akan memberikan semua ternakku kepadamu,” pedagang itu menjawab, “baiklah.” Setelah itu, Salman memberikan semua ternaknya kepada mereka dan mereka membawaku ke Wadil Qura (sebuah tempat yang terletak di sebelah utara Yatsrib/Madinah, Arab). Sesampainya di Wadil Qura ternyata dia menjual Salman kepada seorang Yahudi. Tak lama bersamanya, Yahudi itu menjual Salman pada Yahudi yang lainnya. Yahudi itu berasal dari Bani Quraizhah (salah satu dari suku-suku Yahudi yang menetap di Wadil Qura sampai abad ke-7 M). Setelah itu, Salman pun dibawa ke Yatsrib, yang kelak dikenal dengan nama Madinah. Sesampainya di sana, Salman melihat tanda-tanda yang telah diceritakan oleh uskup Amuriyah yakni adanya tanah yang dipenuhi dengan perkebunan kurma yang terletak di antara dua bukit berbatu hitam. Salman merasa yakin bahwa tempat inilah tujuannya, muara dari penantiannya.
Selama di Yatsrib, Salman mengerjakan tugasnya sebagai seorang budak. Suatu hari, saat ia sedang memanjat pohon kurma. Ketika di atas pohon ia melihat seorang pemuda yang tengah dikerumuni oleh banyak orang, Salman penasaran dengan seseorang itu. Hingga suatu saat datang seseorang kepada majikannya. Ia memberitahu majikannya bahwa ada seorang pemuda yang mengaku nabi. Setelah mendengar itu, Salman yakin bahwa inilah seseorang yang ia cari. Secara diam-diam Salman menemui pemuda itu ia membawa makanan yang telah dikumpulkannya dari perkebunan untuk ia berikan kepada Nabi Saw. Ketika bertemu Nabi Saw., ia memberikan makanan itu kepada beliau sebagai sedekah. Nabi Saw pun menerimanya, namun beliau berikan kepada sahabatnya. Keesokan harinya, Salman menemui Nabi Saw. dengan membawa makanan lagi namun kali ini ia berikan sebagai hadiah. Maka Nabi Saw. menerimanya dan memakannya. Salman merasa yakin bahwa pemuda inilah yang dimaksud, tapi Salman masih ingin memeriksa satu tanda lagi yang belum ia pastikan apakah beliau benar-benar nabi yang ia maksud atau bukan. Keesokan harinya ada seorang sahabat Nabi Saw. yang meninggal. Kemudian beliau menghadiri pemakamannya, saat itu Salman mencari kesempatan untuk melihat tanda-tanda kenabian yang ada di punggung beliau. Nabi Saw. pun sadar akan gerak gerik Salman sehingga beliau melepas pakaiannya, setelah itu barulah terlihat cap kenabian. Salman merasa bahagia akhirnya apa yang ia cari kini diraihnya. Baginda Nabi Saw. pun memanggil Salman, ia menghampiri beliau lalu ia masuk Islam dan menceritakan perjalanan hidupnya yang lika-liku dalam mencari kebenaran yang hakiki.
Dari kisah Salman hikmah yang kita ambil bahwa carilah kebenaran dengan semaksimal mungkin, meski dalam pencarian banyak rintangan kita tidak boleh berputus asa, juga jangan pernah takut dalam menegakkan kebenaran. Selawat dan salam semoga tercurah kepada para nabi, keluarga juga sahabat beliau, dan orang-orang beriman yang mengikuti jejak mereka. Aamiin.
Referensi:
Al-Basya, Abdurrahman Raf’at, Sirah 65 Sahabat Rasulullah S.A.W, terj. Boby Herwibowo, Lc., Jakarta: Darul Adab Al-Islami, 2016.
Al-Maraghi, Abdullah Musthafa, Ulama Ushul Fiqih Sepanjang Masa, terj. K. H. Husein Muhammad, Bantul: CV. IRCiSOD, 2020.
Hisyam, Ibnu, Sirah Nabawiyah, terj. Ikhlas Hikmatiar, Jakarta: Qisthi Press, 2019.
Maksum, M. Syukron, Maulid Al-Barzanji, Jakarta: Media Pressindo, 2013.
Umairah, Abdurrahman, Tokoh-tokoh yang diabadikan Al-Qur’an, terj. M. Syihabuddin dan Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Ihsani Press, 2001.
Kontributor: Hasna Aziizah Shaomi, Semester II
Editor: Siti Yayu Magtufah