MAHADALYJAKARTA.COM – Pesantren Asshiddiqiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Alm, KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ pada Juli 1985. Pesantren yang memiliki pusat di Jakarta Barat ini telah berusia 38 tahun sejak di dirikan dan telah sukses melebarkan sayapnya di kancah persebaran dakwah di Indonesia.
Hanya dalam kurun 38 tahun, Asshiddiqiyah sudah memiliki 12 cabang yang tersebar di beberapa daerah: Kedoya- Jakarta, Batu Ceper- Tangerang, Cimalaya Wetan- Karawang, Cimalaya Kulon;- Karawang, Serpong- Tangerang, Cijeruk- Bogor, Musi Banyuasin- Sumsel, Way Kanan- Lampung, Gunung Sugih- Lampung, Cianjur- Jawa Barat.
Dalam mendidik santri-santrinya, Asshiddiqiyah memiliki trilogi pesantren, yaitu membentuk pribadi muslim yang berakhlak mulia, membangun kemampuan berbahasa Arab dan Inggris serta penguasaan ilmu pengetahuan umum dan agama. Dengan mengusung ketiga hal itu Asshiddiqiyah dalam praktiknya berusaha membentuk dan menyiapkan kader serta ulama Ahlussunnah wal Jamaah berwawasan global, mampu mentransformasikan ilmunya ke dalam masyarakat dengan tetap berperilaku dan berakhlak baik.
Sekilas Profil KH Noer Muhammad Iskandar
Kegemilangan Asshiddiqiyah dalam mendidik santri-santrinya dan terus mencetak penerus bangsa yang berkualitas tidak lepas dari peran KH. Noer Muhammad Iskandar.
Kiai Noer merupakan tokoh agama kelahiran Banyuwangi 5 Juli 1955. Ia lahir dari pasangan Kyai Iskandar dengan Nyai Rabiatun. Kiai Noer memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur untuk kemudian sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya.
Karenanya, ketepatan pengetahuan akan peta sosiologis daerah akan sangat menentukan efektif tidaknya dakwah yang disampaikan. Makin rendah pengetahuan seorang santri akan peta simbolik masyarakat kota, akan tipis kemungkinan baginya untuk diterima dalam kelompok sosial yang di hadapinya.
Melihat sosok Kyai Noer Muhammad Iskandar, kita bagai menyaksikan suatu fenomena “perpindahan kebudayaan atau migrasi kultural”. Gejala migrasi ini berlangsung intensif pada sejumlah anak pesantren yang lain. Kiai Noer bukan satu-satunya dalam hal ini. Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, anak pesantren yang usai menyelesaikan pendidikan di lembaga tradisional itu “menyeberangi” sekat kultur dan geografis yang memisahkan mereka yang tinggal di desa dari alam perkotaan dengan cara pindah atau merantau ke kota-kota.
Posisi seorang kyai, menurut Kiai Noer, persis seperti seorang sopir yang harus menjalankan mobil dengan lima gigi. Ia hanya menghitung secara pas kapan harus berjalan dengan gigi satu, dua, tiga, empat hingga lima. “Keterampilan untuk “pindah” secara cepat dari gigi satu ke gigi lain dituntut begitu rupa agar jalannya mobil tidak terhentak-hentak dan membuat penumpang di dalamnya mengalami kejutan simbolik,” dalih Kyai Noer saat ditemui seusai peluncuran bukunya Pergulatan Membangun Pondok Pesantren, di rumah makan Ayam Bakar Wong Solo, beberapa waktu lalu, didampingi istri tercintanya, Ibu siti Nur Jazilah.
Yang Unik dari tokoh ini adalah, ia mendirikan sebuah pesantren seperti dalam tradisi “intelektualisasi” santri-santri Jawa. Artinya, ia tidak saja berhadapan dengan publik atau audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang kongkret, yaitu para santrinya sendiri.
Dalam kasus tertentu, Kyai Noer Muhammad Iskandar ini juga terlibat dalam bimbingan haji bagi kalangan elit dan menengah. Orang-orang yang dibimbing tidak jarang adalah seorang artis atau tokoh tertentu yang sudah sejak lama membangun perkenalan pribadi dengannya.
Asshiddiqiyah dan Tantangan Modernisasi
Meski kebanyakan pesantren terlihat kuno dan tertinggal dalam mengikuti arus modernisasidunia, namun hal tersebut tidak berlaku bagi pesantren Asshiddiqiyah yang terus bertransformasi dan melakukan inovasi dalam menerapkan metode belajar-mengajar terhadap santri-santrinya. Menyelenggarakan pendidikan berbasis Islam juga tidak meninggalkan teknologi modern mulai dari pendidikan usia dini hingga lanjutan.
Bahkan hingga hari ini, alumni-alumni dari Asshiddiqiyah yang tergabung dalam IKLAS (Ikatan Alumni Asshiddiqiyah) terus berintegrasi dan berjejaring bekerjasama membangun, bahu-membahu dalam menciptakan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat. Meski baru berdiri tahun 2014, IKLAS sudah melibatkan dirinya dalam berbagai bidang seperti bidang kesehatan, kebudayaan, media dakwah, sosial, pendidikan, luar negeri, legalitas bagi santri dan Asshiddiqiyah khususnya.
Dengan alumninya yang terbilang sukses hingga turut aktif di kancah nasional dan tersebar dalam berbagai bidang, seperti enterpreneur, perniagaan, jurnalis, bahkan banyak yang terjun ke dunia politik hal itu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Alm, KH. Noer Muhammad Iskandar.
Hal tersebut pula yang menjadikan Asshiddiqiyah tetap eksis di tengah kepungan modernisasi bahkan hingga usianya yang baru berumur 38 tahun Asshiddiqiyah kini memiliki 12 cabang yang tersebar di daerah-daerah tertentu.
Semoga di usianya yang ke-38 tahun ini, Asshiddiqiyah tetap mampu mendidik dan mencetak kader-kader berpengetahuan agama dengan moral baik juga berwawasan dunia.
Kontributor: Alwi Jamalulel Ubab, Mahasantri Ma’had Aly Jakarta