Tantangan Pesantren di Ibu Kota dan Peranan Pesantren Asshiddiqiyah

Tantangan Pesantren di Ibu Kota dan Peranan Pesantren Asshiddiqiyah

MAHADALYJAKARTA.COM – Membangun pesantren di tengah ibu kota tentu bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi mulai dari kelompok masyarakat yang heterogen dan bersifat modern, serta minimnya nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pengalamannya selama di kota, Abah Noer sangat merasakan perbedaan atau diskriminasi terhadap pesantren. Di kalangan masyarakat pondok pesantren hanyalah satu komunitas yang aneh yang hanya bergelut dalam kata “berkat” tidak lebih. Jika pun ada acara yang mengharuskan mengundang para santri mereka hanya akan dijadikan sebagai pembaca doa atau ayat al-Qur’an.

Pesantren diangap tidak mampu mengikuti perkembangan zaman sehingga mereka selalu dipinggirkan. Mendapat perlakuan yang demikian beberapa pesantren mencoba bertransformasi untuk tetap memenuhi kebutuhan masyarakat dan merespon perkembangan zaman, salah satunya yang dilakukan pesantren Asshiddiqiyah. Dengan tetap memegang prinsip al-muhafdzah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi yang masih baik sekaligus mengadopsi hal-hal baru yang jauh lebih baik, Asshiddiqiyah mencoba berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan santri yang paham agama (tafaqquh fi ad-din) dan tidak menutup diri terhadap kehidupan modren.

Obsesi pembangunan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah adalah sebuah upaya untuk membangun kembali citra pesantren yang telah hilang. Pesantren yang dulunya menjadi tonggak tergapainya kemerdekaan, menjadi jawaban dari dekadensi moral, dan menjadi benteng pertahanan agama Islam, kini berubah menjadi sebuah sebuah lembaga yang tidak mampu dijadikan bekal untuk menyelami kehidupan modren. Mindset tersebut harus diluruskan. Asshiddiqiyah lahir dengan format salaf-modren (tetap menjalankan nilai-nilai salaf yang menjadi ciri khas pesantren dan tetap mengikuti perkembangan zaman) sebagai jawaban dari tantangan tersebut. (Idris, 2009, hal. 92).

Di bidang pendidikan salaf, Asshiddiqiyah tetap menjaga budaya pesantren yaitu mengkaji kitab kuning mulai dari kitab Tasawuf, Tafsir al-Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu. Sorof, Akhlak dan lainnya. Harapannya santri menjadi insan yang tafaqquh fi ad-din (orang yang benar-benar paham agama). Bahkan untuk membentuk spritual santri di Asshiddiqiyah sendiri tahajud dan istigosah menjadi rutinitas wajib. Semua santri tanpa terkecuali harus ikut dalam pelaksanaannya karena benteng pertahanan Asshiddiqiyah sendiri ada pada tahajjud, puasa dawud dan wiridnya. Disadari atau tidak rutinitas ini dengan sendirinya telah membentuk kedisiplinin, sebagai watak seorang pemimpin dalam tubuh santri.

Disamping itu Abah juga memasukkan sekolah ke dalam pesantren dengan ragam pendidikannya. Di bidang formal lembaga ini mengikuti ketentuan kurikulum yang sudah ada. Di samping itu mereka juga mengikuti kelas tambahan seperti Pencak Silat, Hadrah, Tari, Badminton, Akustik, Palang Merah Remaja (PMR), Basket, dan Marawis. Pendidikan yang beragam ini berguna untuk melatih bakat dan minat santri. Karena bagi Abah Noer santri tidak harus menjadi kiai, santri bisa masuk dalam bidang apa saja baik di bidang politik, ekonomi, kesehatan, bisnis, dan lainnya. Sehingga keberadaan santri dapat diperhitungkan, tidak diremehkan atau bahkan dikucilkan.

Perkembangan teknologi dan informasi benar-benar telah mengubah gaya hidup masyarakat. Tak jarang kemajuan ini salah digunakan oleh masyarakat khususnya para pemuda. Waktu yang mereka habiskan lebih banyak bersama Assh, akibatnya tak sedikit informasi yang salah mereka tanggap, beragam budaya luar mereka adopsi tanpa memilah dan memilih mana yang sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya dekadensi moral pun terjadi. Pesantren menjadi jawaban khususnya bagi orangtua yang broken home (keluarga yang tak utuh) atau workaholic (orangtua yang sibuk dengan pekerjaanya) dalam kasus ini.

Asshiddiqiyah berusaha menjawab persoalan ini dengan tetap menanamkan akhlakul karimah salah satunya dengan pola kesederhanaan. Tidak ada pembedaan antara santri yang lahir dari keluarga kaya dengan keluarga sederhana semuanya sama. Mereka hidup dalam ketentuan pondok, mulai dari pakaian, makanan, dan kehidupan sehari-hari. (Idris, 2009, hal. 108). Waktu mereka dimanage dengan baik oleh pesantren mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Mereka tetap bisa mengakses informasi yang dibutuhkan, mengembangkan bakat dan minat melalui pelatihan ekstrakulikuler, dan mengikuti beragam perlombaan.

Sesekali santri juga mengikuti seminar-seminar dan acara di luar pondok untuk melatih pola pikir santri. Kini santri tidak hanya dijadikan sebagai pembaca doa dalam masyarakat apalagi masyarakat kota mereka (lulusan pesantren) kini mengisi pengajian-pengajian besar, menjadi politikus, pebisinis, dan posisi strategis lainnya. Santri juga tidak hanya berdakwah di kampungnya saja melainkan harus bisa berdakwah di luar negeri. Karenanya ada santri yang dikirim ke Amerika, Qatar, Mesir, dan lainnya. Penanaman bahasa inggris dan arab sangat berguna dalam hal ini.

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan oleh KH. Noer Muhammad SQ pada tanggal 1 Juli 1985 M. Pesantren ini berlokasi di Jalan Panjang, Kedoya Utara, Jakarta Barat. Bermula di atas sepetak tanah wakaf yang luasnya sekitar 2000 meter yang diwakafkan oleh keluarga H. Abdul Ghani kepada H. Rasyadi kemudian diwakafkan kembali kepada Kiai Noer. Saat itu pesantren masih dikelilingi rawa-rawa dengan bangunan yang masih sangat sederhana. Hanya ada bangunan permanen lantai tiga dan rumah-rumah triplek untuk kamar santri dan aula. Bahkan kediaman Abah pun waktu itu masih dari triplek. (Thahirin, 2021, hal. 2009)

Awal pembangun dimulai dari sebuah musala kecil dengan menggunakan triplek. Meskipun merintis dari nol Abah Noer tetap yakin bahwasanya ia mampu untuk membangun dan mengembangkan sebuah pesantren. Memang tak mudah, di awal pendiriannya Abah kerap mendapat perlakuan diskriminatif, bahkan sampai dituduh sebagai agen Syi’ah. Setelah membangun musala Abah mulai mengembangkan pondok Pesantren Assiddiqiyah dengan membuka SMP dan MA Manbaul ‘Ulum.

Nama Manbaul ‘Ulum diambil dari pondok pesantren ayah Abah di Sumber Beras, Banyuwangi Jawa Timur. Di awal berdirinya antusias masyarakat sangatlah minim. Akan tetapi lambat laun kepercayaan masyarakat mulai meningkat. Berawal dari tiga puluh santri putra dan putri kini Pesantren Assiddiqiyah menyebar di berbagai titik, jumlah santrinya pun mencapai ratusan bahkan ribuan. (Fathulhaj, 2017, hal. 29).

Di usianya yang ke-38 tahun, Asshiddiqiyah memiliki 12 cabang, diantaranya Asshiddiqiyah Pusat, Asshiddiqiyah II, Batu Ceper, Tangerang, Banten; Asshiddiqiyah III Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat; Asshiddiqiyah IV Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat; Asshiddiqiyah V di Jonggol, Bogor Jawa Barat; Asshiddiqiyah VI di Setu Kota, Tangerang Selatan, Banten; Asshiddiqiyah VII di Cijeruk, Bogor Jawa Barat; Asshiddiqiyah VIII di Tungkal Jaya, Musi Banyu Asin Sumatra Selatan; Asshiddiqiyah IX di Gunung Sugih, Lampung Tengah; Asshiddiqiyah X di Sukaresmi, Cianjur Jawa Barat; Asshidiqiyah XI di Gunung Labuhan, Way Kanan, Lampung; Asshidiqiyah XII di Jonggol, Bogor Jawa Barat.

Penulis: Robiah, Mahasantri Ma’had Aly Jakarta

Leave a Reply