Sikap Umar bin Abdul Aziz terhadap Khawarij, Syi’ah, dan Qadariyah

Sikap Umar bin Abdul Aziz terhadap Khawarij, Syi’ah, dan Qadariyah

Ma’had Aly – Pertama  : Khawarij

Kelompok Khawarij lahir pada tahun 37 H setelah terjadinya perang Shiffin dan persetujuan dari Ali untuk menerima keputusan dua hakim dan ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah.  Dan disini ada beberapa poin mengenai keyakinan mereka yang berseberangan :

  1. Mengkafirkan Ali bin Abi Thalib , Ustman bin Affan, serta dua hakim, Abu Musa al-Asyar’i dan Amr bin Ash .
  2. Membelot dari kepemimpinan seorang imam yang berbuat dosa.
  3. Mengkafirkan seorang muslim yang berbuat dosa besar dan akan disiksa di dalam neraka untuk selama-lamanya (seperti orang kafir pada umumnya). [1]

Hal ini yang menjadi poin utama keyakinan kelompok Khawarij, tidak ada perbedaan di antara mereka mengenai ketiga poin tersebut. Kelompok Khawarij masih meneruskan perlawanan mereka ketika kepemimpinan diambil alih orang oleh bani Umayyah, terkadang mereka dapat bergerak dengan leluasa dan terkadang mereka diperangi oleh pasukan kekhalifahan sehingga pergerakannya menjadi sempit. Lalu saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah barulah terjadi percakapan dan perdebatan terhadap keyakinan mereka, kemudian sesekali ia juga menggunakan kekuatannya ketika diperlukan.

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang tidak suka perdebatan dalam hal yang tak terpuji, karena ia selalu memegang teguh bahwa perdebatan haruslah dilakukan dengan cara yang baik. Ia pernah berkata : “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai tujuan untuk berdebat maka ia akan sering berubah-ubah pandangannya.”

Umar bin Abdul Aziz selalu melarang adanya pertikaian yang berkelanjutan, dan ia juga selalu menyarankan perdebatan dengan cara yang baik. Banyak riwayat yang menerangkan tentang sikap Umar bin Abdul Aziz atas perkataannya sendiri dalam menghadapi kelompok Khawarij atau perdebatannya, ia sering mengeluarkan hujjah dan dalil yang dapat mematahkan pendapat mereka serta menjelaskan pendapat yang benar dan seharusnya diikuti. Semua itu akan ia lakukan hanya dilandasi kecintaannya terhadap sunnah dan mengikuti ajaran yang didapatnya dari para ulama salaf. [2]

Dari riwayat tersebut dapat disimpulkan bagaimana sikap Umar bin Abdul Aziz terhadap Khawarij walaupun mereka tetap memutuskan untuk keluar dari kepemimpinannya sebagai khalifah yang benar namun ia tidak langsung membinasakan mereka, ia menuliskan surat terlebih dahulu dan memberi peringatan kepada mereka agar tidak keluar dari jamaah kaum muslimin. Allah swt memerintahkan agar seluruh kaum muslimin bersatu dan melarang mereka untuk berpecah belah, mereka diperintahkan untuk tetap berada di dalam jamaah kaum muslimin dan dilarang untuk keluar darinya. Allah swt. juga menetapkan bahwa ijma’ (kesepakatan) dari kaum muslimin dapat menjadi hujjah, apabila mereka bersepakat pada satu pemimpin maka pemimpin tersebut harus dipatuhi dan tidak boleh keluar dari kepemimpinannya kecuali ia memerintahkan pada suatu kemaksiatan atau adanya benih-benih kekufuran pada dirinya.[3]

Kedua : Syi’ah

Dalam arti terminologi kata syi’ah adalah sebutan untuk semua orang yang mengistimewakan Ali bin Abi Thalib di atas para khalifah yang sebelumnya yang beranggapan bahwa ahlul bait (keluarga Nabi saw.) itu lebih berhak menyandang jabatan khalifah.[4]

Kelompok syiah sendiri memiliki banyak pecahan, beberapa di antaranya ada yang dikategorikan sesat, mereka telah keluar dari ajaran Islam, namun beberapa lainnya tidak ekstrem. Pecahan yang paling menonjol diantara kelompok Syiah antara lain: Kisaniyah, Sabaiyah, dan Imamiyah.

Umar bin Abdul Aziz sering melontarkan pendapatnya tentang kelompok Syiah, terutama pecahan-pecahan yang telah tersesat dan keluar dari koridor Islam. Umar pernah berkata : “Aku tahu bagaimana membedakan shaleh atau tidaknya seseorang dari bani Hasyim, yaitu melihat kecintaannya terhadap Kutsyir[5], apabila ia mencintainya maka ia telah terkontaminasi keimanannya, namun apabila ia membencinya maka ia adalah orang yang saleh.” Alasan dari pendapatku ini tidak lain karena Kutsyir termasuk kelompok Khasyabi[6] yang mempercayai adanya reinkarnasi.

Ketiga : Qadariyah

Setelah munculnya beberapa kelompok pertama pada tahun 37 sampai 40 H, di antaranya Khawarij dan Syiah, keadaan sedikit mereda hingga tahun 62 H, setelah tahun tersebut bermunculan benih-benih Qadariyah yang dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhany. Dan pembicaraan tentang takdir ini makin lama makin berkembang seiring berjalannya waktu, seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah: “Bid’ah itu pada awalnya hanya sejengkal tangan saja, namun semakin lama dan semakin banyak yang mengikuti bid’ah itu terus berkembang hingga berhasta-hasta, bermil-mil dan berkilo-kilo.’’[7]

Kemunculan kelompok ini ditandai dengan banyaknya pendapat Ma’bad al-Juhany dan pengikutnya yang tersebar tahun 80 Hijriah, kemudian dilanjutkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi dan para pengikutnya pada 105 Hijriah. Inti dari pendapat mereka adalah bahwasanya Allah swt. tidak menetapkan takdir untuk perbuatan hamba-Nya dan tidak pula menuliskannya, semua perbuatan makhluk terpisah dengan ketetapan dan ilmu Allah yang azali. Pendapat inilah yang mengawali munculnya kelompok Qadariyah pada tahun 63 H.

Dari itu maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengikut Qadariyah di awal kemunculannya adalah mereka yang mengingkari Ilmu Allah yang azali, mereka meyakini bahwa Allah swt. tidak menetapkan takdir untuk perbuatan hamba-Nya sebelum dilakukan, ia juga tidak mengetahui perbuatan itu akan dilakukan, apalagi menuliskannya pada lauh mahfudz.

Adapun inti dari pendapat kelompok Qadariyah pada periode pertama dapat disimpulkan menjadi dua:

  • Setiap perbuatan manusia tidak terkait dengan kehendak Allah. Dan mereka yakin bahwa Allah tidak menakdirkanya dan tidak mengetahuinya kecuali setelah perbuatan itu dilakukan.
  • Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menakdirkan melalui tulisan (di lauh mahfudz) dan tidak juga menakdirkan perbuatan melalui apapun di masa azali (lampau, sebelum diciptakannya manusia)[8]

Namun tidak dapat disangkal, bahwa keridhaan terhadap ketetapan Allah swt. adalah salah satu penyempurnaan keimanan terhadap qadha dan qadar, dan keridhaan itu adalah bukti kepercayaan seorang hamba terhadap apa yang diberikan oleh Tuhannya, ia tidak akan menyesal dengan apa yang telah terjadi, dan ia juga tidak terlalu bergembira dengan apa yang akan diberikan pada dirinya, semua disikapi dengan kesenangan hatinya terhadap segala apa yang telah ditetapkan Allah swt. kepadanya.[9]

 

[1] Wasthiyah Ahlis- Sunnah Baina Al-Firaq, hlm.291.

[2] Al-Aatsar Al Waridah’an Umar bin Abdul Aziz  fi Al-Akidah (2/693).

[3] Al-Atsar Al- Waridah’an Umar bin Abdul Aziz fi Al- Akidah (2/695).

[4] Maqaalaat Al-Islamiyiin, hlm.65, Al-Aatsar Al-Waridah’an Umar bin Abdul Aziz fi Al-Akidah (2/727).

[5]  Tarikh Al-Islam, yang dinukil dalam Al-Aatsar Al-Waridah’an Umar bin Abdul Aziz fi Al-Akidah (2/728).

[6] Khasyabi adalah salah satu pecahan dari kelompok Syiah. Penyebutan tersebut diambil dari ucapan mereka yang mengatakan : “Kami tidak akan berperang dengan menggunakan pedang kecuali bersama imam yang maksum.” Dan mereka memutuskan untuk berperang dengan menggunakan khasyab (kayu), lih : kitab minhaaj as-sunnah (1/36).

[7] Al-Fataawaa (8/452).

[8]  Al-Qadariyah wa Al-Murji’ah, hlm. 30.

[9] Al-Aatsar Al-Waridah’an Umar bin Abdul Aziz fi Al-Akidah (1/538).

Oleh: Meirita Purnamasari, Semester VI

Leave a Reply