Sejarah Leluhur dan Keluarga Besar Tjondronegoro
Diponegoro jatuh! Kompeni berjaya kembali di Nusantara bersama kolonialisme dan imperialisme. Leluhur tambah miskin dalam masa penjajahan. Cultuur steelsel[1] dikatakannya bukan rencana jahat.
“Hayo kerja! Kerja keras buat kompeni, kalian orang-orang pemalas! Hayo kerja, biar jiwamu bergerak sedikit!”
Dan dengan demikian sempurnalah seperlima tanah rakyat harus ditanami makanan surga para Kompeni. Tebu, kopi, nila, kayu manis, lada sampai kapas. Semua itu harus diikhlaskan untuk diboyong ke negeri kincir angin. Dengan modal, tenaga, biaya angkut, pajak bumi, kekorupsian pegawai dan segala hal lainnya ditanggung oleh Pribumi. Inilah yang namanya bukan rencana jahat dalam kaca mata Kompeni. Penindasan manusia kepada manusia di Hindia Belanda.
Pasca cultuur steelsel tiada, kapitalisme berjaya. Itu sama saja bagi Hindia Belanda. Timah, minyak bumi, kina dan teh bukan milik pribumi. Bahkan, keseluruhan tanah Andalas[2] berubah menjadi kandang buruh dan pekerja yang diangkuti dari tanah Jawa.
Tahun 1850, di Demak dan Grobogan yang sedang terjangkit kelaparan. Tapi setelah Ario Tjondronegoro diangkat menjadi bupati di daerah itu, bencana tersebut lenyap. Mungkin berkat kebijaksanaannya. Tahun 1866, ia meninggal dunia.
Jabatannya kemudian digantikan oleh Pangeran Ario Hadiningrat, paman Kartini. Ia mempunyai seorang putra, Achmad Djajadiningrat yang kemudian menjadi Bupati Serang. Paman Kartini ini turut membela rakyat. Salah satu caranya, ia menulis nota berjudul ‘Sebab-sebab Kemunduran Prestise Amtenar[3] Pribumi Serta Bagaimana Jalan untuk Meningkatkannya Kembali’. Bukannya penghargaan yang diraih, tapi kesulitan yang ia dapat dari hasil perjuangannya itu.
Sedang ayah Kartini, Raden Mas Adipati Sosroningrat adalah Bupati Jepara. Semasa masih menjadi asisten wedana[4] onderdistrik[5] Mayong, Kabupaten Jepara, ia bertemu seorang gadis. Ngasirah namanya, anak dari buruh pabrik gula bernama Modirono. Ia lalu menikahi gadis itu. Hingga lahir Sosrokartono, kemudian Kartini. Sedang sebelumnya, ia telah memiliki empat orang anak yang ibunya masih diperistri. Jadilah Kartini merupakan seorang putri bangsawan.
Masa Kelahiran, Berkanak-Kanak, Sekolah, Terpingit, Kebebasan yang Kembali
21 April 1879 Tahun Masehi bertepatan dengan 28 Rabiul Awal 1808 Tahun Jawa, di Mayong lahirlah jabang bayi Kartini. Ketika itu ayahnya masih menjadi asisten wedana. Ia dilahirkan di rumah keasistenwedanaan. Nyatalah bahwa ia bukan seorang jelata. Iapun melewati upacara cukur rambut, turun bumi dan upacara-upacara Jawa lainnya.
Ia kemudian diasuh oleh seorang bernama Rami. Sedangkan tentang ibunya, tidak jelas kabarnya. Apakah masih tinggal di rumah keasistenwedanaan atau pergi? Setelah itu diketahui, Kartini memiliki enam orang adik, saat ayahnya telah diangkat menjadi Bupati Jepara. Tentunya, adik-adik tersebut dilahirkan dari ibu yang baru, bukan ibu tua atau ibunya sendiri. Begitulah kefeodalismean[6] pribumi kala itu.
Di masa penjajahan Belanda yang bersanding dengan feodalisme pribumi, orang akan segan mengemukakan perihal wanita biasa, jelata. Selain kemungkinan buta huruf, hanya kecantikannya yang dapat diunggulkan untuk menjadi istri atau selir seorang bangsawan. Pun begitu tentang ibu kandung Kartini. Bukan karena tidak berani atau malu, ia tak pernah menyebut kisah ibu dalam surat-suratnya. Tapi, ia ingin menjaga nama baik ayah yang sangat dicintainya.
Pengkhianatan besar kemudian dilakukan putri-putri Ario Sosroningrat terhadap adat negerinya. Kartini mengikuti kakak-kakaknya, mulai belajar di Sekolah Rendah Belanda. Hanya itu yang ada di kotanya saat itu. Mereka bersekolah bersama anak-anak Eropa. Anak-anak perempuan duduk di depan, sedang laki-laki di belakang. Kelas belajar mereka memang satu, tapi diskriminasi tetap ada. Kulit sawo matang pribumi yang melekat padanya, lengkap menjadi duka citanya selama menggali ilmu di sekolah.
Perasaannya tersiksa oleh cita-cita dan kesempatan belajarnya. Ada pertanyaan yang selalu berdengung di kupingnya.
“Kau mau jadi apa kelak?” Ia berpikir dan berpikir. Namun semangatnya tetap tegas, “Kami berhak untuk tidak bodoh.”
Namun, hanya itulah kebebasan yang didapatkannya dari sang ayah yang berpendidikan Eropa. Ia menyebutnya sebagai pujaan hati. Ia, ayahnya itu mengira bahwa secumil pendidikan Eropa yang ia berikan itu cukup bagi Kartini. Padahal tidak, Kartini butuh lebih dari sekedar Jepara.
Memeluk Jepara
Jepara, tempat kecil, damai dan suci bagi Kartini. Betapapun terkekangnya Kartini di tanah Jepara, baginya kampung halamannya ini merupakan tempatnya untuk bersumbangsih mengurangi penderitaan rakyatnya. Jepara dan Kartini adalah dua nama masyhur dan dihormati sebagai babak modern bangsa Indonesia.
Kartini Berpribumi
Dalam suratnya, Kartini menghujat;
Nafsu apakah yang paling keras di dunia ini? Kepelitan, cinta ataukah benci? Tak ada dari ketiga-tiganya. Yang paling keras adalah nafsu seorang amtenar yang satu untuk menggemplang rekan amtenar yang lain dengan penggadanya yang tebal.
Di sinilah Kartini berpendapat bahwa pemerintahan harus lebih banyak direbut oleh pribumi terpelajar. Bahwa untuk membangun negeri dibutuhkan rakyat yang cerdas untuk menghalau penjajah. Dalam mewujudkan hal ini, salah satu perjuangan Kartini adalah penguasaan bahasa Belanda. Bahasa Belanda kala itu menjadi indikator kecerdasan seorang pribumi. Penjajah berusaha sebisa mungkin agar pribumi tak mengerti bahasa Belanda.
Dalam suratnya ia pernah bersitegang dengan seorang Belanda karena kemahirannya berbahasa;
“Seorang pribumi tak boleh mengetahui bahasa Belanda!” Terheran-heran aku tatap pembicara itu. Segera kemudian aku tersadar dari keherananku, dan sebuah senyum ejekan menggeletar pada ujung-ujung bibirku. Tuan itu menjadi merah padam, bergumam dan pandangnya menggerayangi sepatunya. Setidak-tidaknya kesanalah perhatiannya dialihkan.
Sikap Kartini yang menjunjung bahasa Belanda itu bisa saja menimbulkan salah paham. Sikapnya itu seolah-olah menolak bahasa Melayu. Ia berpendapat bahwa bahasa Belanda lebih faaliah[7] di masanya sebagai alat perjuangan. Tentang bahasa Melayu sendiri dan Jawa ia sendiri justru ingin mendapatkan akta (pengakuan). Penolakan terhadap bahasa Melayu Babu kala itu karena berisikan suasana politik sebagai manifestasi penghinaan terhadap pribumi Jawa. Hal ini juga merupakan penolakan Belanda terhadap keterpelajaran pribumi Jawa.
Perjuangan di lapangan bahasa ini merupakan pantulan dari demokrasi terhadap feodal Jawa. Juga terhadap Belanda yang tanpa malu-malu mengganti posisi feodal Jawa. Dalam perjuangan ini terbentuklah ‘tiga serangkai versi wanita’. Mereka adalah Raden Ajeng Kartini, Raden Ajeng Roekmini dan Raden Ajeng Kardinah.
Bersama sang kakak kesayangan, Sosrokartono dan Nota milik pamannya, Hadiningrat, lahirlah kemudian ‘politik ethik kolonial’ di awal abad 20. Ungkapnya dalam surat;
Baik buruknya suatu bangsa, tak ada yang dapat menghukumnya, mengadilinya, memperbaiki dan memahami daripada putra bangsanya sendiri.
Eduard Douwes Dekker dengan bukunya Minniebrieven dan Max Havelar begitu memotivasinya untuk berjuang. Terlebih kalimatnya, berupa ‘tugas manusia adalah menjadi manusia’. Namun, pengagungan Kartini terhadap intelektualitas Eropa bukan karena tidak ada intelektualitas di Timur. Tapi keadaan negerinya kala itu sedang dikuasai oleh intelek-intelek Eropa. Inilah bagian dalam mengangkat derajat bangsa dari kehinaan, suku apapun itu. Perjuangan di tanah Nusantara yang lain dilakukan juga oleh Agus Salim dan Abdul Rivai dalam waktu yang bersamaan.
Dalam pandangan Kartini, dengan meratanya pendidikan dan kemajuan, maka penjajahan tentu juga lenyap. Maka pribumi dan Belanda tidak lagi hidup dalam satu dunia, sebagai hamba dan tuan. Tetapi keduanya dapat hidup sebagai sesama, saudara, setingkat dan setaraf.
Eropa Terjajaki Oleh Kartini
Pengertian dalam kalbu Kartini, bahwa kekuatan suatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar atau kecilnya jumlah penduduk. Apalagi luas atau sempitnya suatu negeri. Tetapi, negeri yang kuat terletak dalam nilainya menguasai ilmu pengetahuan.
Sampai masa hidup Kartini, belum ada negeri feodal di Asia yang tak terpatahkan kemerdekannya oleh Eropa. Hal ini tentu membuat pribumi begitu memimpikan Eropa sebagai pemberi kekuatan ilmu pengetahuan. Netherland, bagi Kartini bukanlah negeri surga, sebagaimana halnya seluruh Eropa. Peradaban Barat itu memiliki dua bagian, yang sesungguhnya dan yang formal atau palsu.
Dengan jalan mengawinkan berbagai jenis tumbuhan atau hewan, orang bisa mendapatkan jenis yang dipermulia. Begitupun peradaban adat rakyat. Kalau yang baik pada rakyat satu dicampurkan dengan baik pada rakyat yang lain, maka akan timbul adat kebiasaan yang lebih baik. Itulah cara pandang Kartini dalam menyerap ilmu pengetahuan Eropa.
Dengan menggunakan asas kebebasan, setiap orang berhadap-hadapan dengan orang lain adalah sebagai sesamanya. Manusia itu bukan sebagai tuan dan hamba. Asas inilah yang menjadi dasar Kartini dalam berjuang. Namun, ‘bebas’ bagi Kartini tidak pernah berarti bebas berbuat sekehendak hatinya. Maksudnya adalah kebebasan jiwa, karena jiwa yang menuntut perjuangan itu tidak patut dibebani ikatan-ikatan yang tidak mengandung suatu guna.
Seniwati Mendarah Daging
Dalam seni puisinya, begitu tampak Kartini adalah seniwati yang telah mendarah daging. Dalam suratnya kepada Estelle Zeehandeelaar, tertanggal 06 Nopember 1899;
Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukandan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia.
Pada Stella, panggilan akrabnya, Kartini telah berkata, “Kau tahu sendiri bahwa memainkan pena selalu menarik hatiku, dan aku ingin percaya, bahwa aku mempunyai bakat itu, sebagaimana kau selalu meyakinkan kepadaku.”
Kecintaannya pada puisi pun tercurah dalam suratnya;
Pikiran adalah puisi, pelaksananya seni! Tapi, mana bisa ada seni tanpa puisi? segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi.
Kiprah kepengarangan Kartini semakin lama semakin masyhur. Semua itu ia bangun dengan kesakitan dan air mata. Pers, sebagai jalannya berjuang telah terbatasi oleh ketidakrestuan sang ayah. Sang ayah tak ingin putrinya semakin dihujat oleh orang yang menentang perjuangannya. Sebegitu cintanya sang ayah hingga tak ingin sang putri terluka dalam perjuangannya. Padahal bagi Kartini, bagaimanapun hebatnya pemikiran dan perjuangan itu, jika tanpa pers daerah juangnya tetap terbatas.
Door Duisternis tot Licht merupakan himpunan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh Mr. J.H. Abendanon pada tahun 1911. Oleh Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda kala itu, kumpulan surat-surat Kartini tersebut diterbitkan di Semarang, Surabaya dan Den Haag. Karena berbahasa Belanda, maka hanya golongan priyayi dan orang Belandalah yang bisa membacanya.
Pada tahun 1923, buku ini telah mengalami empat kali cetak ulang. Di dalam buku tersebut terdapat 105 surat. Surat-surat tersebut berupa nukilan dari catatan harian, sebuah sajak dan nota yang ditujukan kepada pemerintah Netherland. Namun, surat-surat tersebut tak kunjung sampai pada tujuannya. Sedangka kerangka isinya hanya dibatasi pada persoalan pendidikan, pengajaran, kewanitaan dan moralitas saja. Surat-surat inilah yang membuat ia terkenal di masa setelah ia meninggal.
Tujuan dari surat-surat Kartini itu, antara lain:
- Estelle Zeehandeelaar, 14 surat
- M.C.E. Ovink Soer, 8 surat
- Tuan dan Nyonya Prof.Dr.G.K. Anton di Jerman, 3 surat
- G.G. de Booij-Boissevain, 5 surat
- H.H. van Kol, 3 surat
- Nelly van Kol, 7 surat
- R.M. Abendanon-Mandri, 49 surat
- J.H. Abendanon dan Nyonya, 5 surat
- C. Abendanon (putra Mr. Abendanon), 6 surat.
Buku ini juga diterbitkan di berbagai negara dengan berbagai bahasa. Di Syuriah, buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Aleyech Touk. Buku ini juga diterjemahkan kedalam bahasa Perancis, Spanyol, Tionghoa, dan Rusia.
Buku ini merupakan dokumen sejarah peralihan dari penjajahan kuno ke arah imperialisme modern. Penjajahan ini bukan hanya hendak menguasai dan menghisap kekayaan alam serta tenaga manusia saja, tapi juga batin manusia. Tanpa kekuatan fisik, penjajahan ini dilakukan lewat undang-undang dan penyempurnaan siste pemerasan dengan mengerahkan ahli-ahli dan para sarjana di bidangnya masing-masing.
Kemudian, oleh usaha Baginda Abdoellah Dahlan dan Baginda Zainoedin Rasad buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Armijn Pane sebagai penerjemah, buku ini kemudian berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Penerbitnya kala itu adalah Commissie voor de Volkslectuur pada masa pimpinan Dr. D.A. Rinkes, sekarang bernama Balai Pustaka.
Judul itu dipilih, Mr. Abendanon dari kutipan lagu yang dinyanyikan seorang wanita tua kepada Kartini.
Berpuasalah seharmal dan sementara itu jaga terus di dalam kesunyian
Habis malam terbitlah terang
Habis badai datanglah damai
Habis juang sampailah menang
Habis duka tibalah suka
Namun, terjemahan Melayu ini lebih banyak berisi ratap tangis dan keputusasaan, bukan perjuangan Kartini. Inilah komposisi yang kemungkinan merupakan kebijakan Hindia Belanda kala itu. Yang kemudian di tahun 30-an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.
Jiwa sukma Sang Putri
Berbagai paham agama melintasi seluk beluk kehidupan Putri Jawa ini. Iapun yakin, kebenaran sejati datangnya dari Yang Maha Menguasai. Dialah cinta yang sesungguhnya. Itulah jiwa Sang Putri. Keteguhan iman Islamnya berbarengan dengan pengertian yang lembut dimana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan agama-agama lain.
Baginya, cinta itu muncul bagi siapa saja. Cintanya yang muncul begitu hebat kepada rakyatnya bersumber dari kebencian terhadap sesuatu. Sesuatu itu adalah egoisme. Musuh terbesar dalam hidupnya adalah egoisme manusia. Ya, itulah egoisme sebagai antipoda[8] cinta.
*Ini adalah buku satu dan dua Panggil Aku Kartini Saja. Sedangkan buku tiga dan empat telah lenyap tak berbekas pada era Orde Baru. Semoga, lenyapnya buku tak mengurangi ilmu yang tersampaikan perihal perjuangan Kartini – sekecup rindu dari peringkas buku ini untuk Ibu Negeri.
Judul Buku : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2015 (Cetakan ke 11)
Jumlah Halaman : 308 Halaman
Ukuran Buku : 15 x 22,5 cm
ISBN : 978-979-3802-05-7
Diresume oleh Laila Fauziyah, semester V
[1] Sistem tanam paksa.
[2] Sumatera.
[3] Pejabat.
[4] Pembantu pimpinan wilayah daerah Tingkat II (Kabupaten), pembantu Bupati.
[5] Daerah kecamatan.
[6] Feodalisme: sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada bangsawan.
[7] Kodrat.
[8] Sesuatu yang berlawanan.