MAHADALYJAKARTA.COM – Dia adalah Simak bin Kharasyah atau yang lebih di kenal dengan sebutan Abu Dujanah. Merupakan salah satu sahabat nabi yang hidupnya serba kekurangan. Namun, di balik hidupnya yang memperhatinkan itu, Abu Dujanah juga memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam berperang. Abu Dujanah juga merupakan generasi pertama yang memeluk agama Islam dari kabilah Khazraj kalangan Anshar.
Abu Dujanah juga pernah ikut dalam Ghazwah Khaibar (Perang Khaibar). Pada peperangan tersebut, Abu Dujanah berhasil memenangkan pertarungan melawan Harith bin Abu Zainab. Tidak hanya itu, Abu Dujanah juga pernah berpartisipasi dalam Perang Uhud sampai Perang Yamamah (memerangi nabi palsu) yaitu Musailamah Al-Kazzab dan berhasil membunuhnya pada tahun 632 Masehi.
Pada saat Perang Uhud, tepatnya hari Sabtu, setelah tujuh malam di bulan Syawal atau selang 32 bulan setelah hijrah, Rasulullah saw. keluar bersama 1000 pasukan. Setibanya mereka di sebuah daerah antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama sepertiga pasukan yang sebagian besar adalah pengikutnya melakukan pembelotan dan memilih untuk memisahkan diri dan kembali pulang ke Madinah sembari berkata, “Beliau (Nabi) tidak menuruti pendapatku dan lebih memilih pendapat anak ingusan dan orang yang tidak berpengalaman. Bukankah ini sama saja dengan bunuh diri?”
Namun, hal tersebut tidak membuat Rasulullah saw. dan pasukan muslim mengurungkan niatnya berperang karena jumlah pasukan yang tidak sebanding dengan pasukan Kafir Quraisy berjumlah kurang lebih 3000 pasukan. Rasulullah saw. pun bersabda yang artinya:
“Tidak patut bagi seorang nabi yang telah mengenakan baju perang untuk menanggalkannya kembali sebelum berperang.” (HR. Imam Ahmad).
Sebelum perang berkecamuk, pasukan muslim bersiaga pada posnya masing-masing untuk memerangi pasukan Kafir Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah saw. menggenggam sebilah pedang dan berseru, “Siapakah yang sanggup memenuhi hak pedang ini?!” mendengar akan hal itu Abu Dujanah bergegas ke depan sembari bertanya, “Apa hak pedang itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Hak-hak dari pedang tersebut adalah menyayat dan membunuh kaum musyrikin hingga pedang tersebut bengkok.” Abu Dujanah pun berkata, “Aku sanggup memenuhinya.” Kemudian Rasulullah saw. menyerahkan pedang itu ke tangan Abu Dujanah.
Setelah menerima pedang itu, dia mengeluarkan sehelai kain merah yang diikatkan di kepalanya. Hal ini merupakan kebiasaannya yang menandakan dia siap berperang sampai mati, kemudian berjalan dengan congkak dan angkuh mengelilingi barisan. Melihat tingkah Abu Dujanah, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh! Cara berjalan seperti itu dimurkai Allah kecuali di tempat seperti ini (medan perang).”
Saat itu Abu Dujanah berhasil beranjak maju ke jantung pertahanan musuh hingga mencapai posisi Hindun, istri Abu Sufyan. Abu Dujanah mendapati Hindun tengah memberi semangat kepada pasukan Kafir Quraisy. Namun, Abu Dujanah tidak mau menggunakan pedang Rasulullah saw. untuk menyayat tubuh Hindun karena seorang perempuan.
Dalam peperangan itu, Abu Dujanah bertemu dengan pasukan musuh yang badannya sangat kekar dan kuat sehingga terjadilah duel sengit di antara keduanya. Abu Dujanah hampir terkena tebas oleh musuh tersebut, tetapi Abu Dujanah berhasil menangkisnya dan membuat pedang musuh tersebut tertancap pada perisai Abu Dujanah. Tidak berpikir lama, Abu Dujanah langsung mengambil kesempatan untuk menebas musuh dengan pedang yang diberikan Rasulullah saw. sehingga menyebabkan tubuh dari musuh tersebut terbelah menjadi dua bagian.
Dalam perang ini menyuguhkan pemandangan yang mengagumkan, betapa besar pengorbanan para sahabat yang berada di sekitar Rasulullah saw. Mereka semua mengorbankan nyawa demi melindungi Rasulullah saw. hingga banyak di antara mereka yang gugur sebagai mujahid. Salah satunya adalah Abu Dujanah yang menjadikan dirinya sebagai Tameng Hidup bagi Rasulullah saw. Meski belasan anak panah menghujani punggungnya, semua itu tidak terasa karena rasa cintanya terhadap Rasulallah saw. yang amat dalam. Dia tetap bertahan dan tidak bergeming sedikit pun sehingga dalam peperangan ini Abu Dujanah hampir terbunuh karena luka yang di deritanya.
Saat itulah mata Rasulullah saw. meratapi Abu Dujanah yang berjuang mati-matian untuk melindungi diri Rasulullah saw. sehingga darah mengucur hampir menutupi seluruh sendi tubuh Abu Dujanah. Melihat akan hal itu, Rasulullah saw. bersabda dengan lantang, “Wahai Abu Dujanah! Saya membebaskan engkau dari baiat. Biarkan Ali saja yang bersamaku, sebab Ali dari Aku dan Aku dari Ali.”
Mendengar seruan Rasulullah saw. Abu Dujanah bukannya senang dan lega akibat terlepas dari belenggu baiatnya, melainkan dia menangis sedih seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ke mana saya hendak pergi? Haruskah aku pergi ke rumah yang pada akhirnya akan runtuh? Haruskah aku pergi kepada istri yang nantinya akan mati? Perlukah saya pergi lari kepada harta dan kekayaan yang pada gilirannya juga akan musnah? Haruskah saya lari dari maut yang suatu saat pasti akan tiba?”
Ketika Rasulullah saw. melihat air mata bercucuran membasahi pipi Abu Dujanah, beliau kemudian mengizinkan Abu Dujanah untuk berperang melawan Kafir Quraisy bersama dengan Rasulullah saw. Abu Dujanah dan Ali akhirnya berjuang bersama dan tetap berada di sisi Rasulullah melawan dahsyatnya serangan yang dilakukan oleh kaum Kafir Quraisy. Dalam peperangan ini kaum muslim kalah dan banyak para sahabat yang gugur dan menjadi syahid dan hanya tersisa beberapa sahabat yang di antaranya adalah Ali dan Abu Dujanah.
Seperti yang telah di sebutkan di atas, bahwasanya Abu Dujanah banyak berkiprah di berbagai peperangan. Selain Perang Uhud, Abu Dujanah ikut serta dalam Perang Yamamah yaitu memerangi nabi palsu yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Pada saat itu, Abu Dujanah menderita luka yang sangat parah sehingga menyebabkan Abu Dujanah wafat pada tahun 12 Hijriah/633 Masehi. Allahuma firlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu.(//)
REFERENSI:
Abdurrahman, Muhammad. (2016). Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia, Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Mubarokfuri, Shafiyurrahman. (2013). Al-Rahik Al-Makhtum. Riyadh: Montada Al-Taqhofa.
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. (1996). Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah. Damaskus: Darul Fikr.
Ash-Shallabi, Muhammad. (2014). As-Sirah An-Nabawiyyah (Saleh, Faesal., Khaer, Misbakhul., dan Pemi, Abdi, Penerjemah). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Gulen, Muhammad Fathullah. (2012). An-Nur A-Khalid Muhammad Mkhfirat Al-Insaniyyah (Saefudin, Fuad, Penerjemah). Jakarta: Republika.
Ilahi, Fadhl. (2012). Hubbun Nabi shallallahu alaihi wa sallam wa alaamaatuhu (Asy’ari, Lc, Nurhasan Penerjemah). Arab Saudi: Divisi Percetakan dan Riset Ilmiah Departemen Agama Kerajaan Arab Saudi.
Kontributor: Samsil Aminullah, Semester VI
Penyunting Bahasa: Isa Saburai