Menguak Rahasia Arsitektur Masjid Agung Demak: Ziarah yang Menceritakan Sejarah

Menguak Rahasia Arsitektur Masjid Agung Demak: Ziarah yang Menceritakan Sejarah

MAHADALYJAKARTA.COMMasjid Agung Demak termasuk ke dalam jajaran masjid tertua di Indonesia, berdiri megah sebagai simbol awal penyebaran Islam di tanah Jawa (Sugeng: 2016). Didirikan oleh Raden Patah dan dibantu Walisongo pada abad ke 15 M, perihal tahun pembangunan Masjid Agung Demak masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, berdekatan dengan alun-alun Demak, sehingga masjid ini mudah untuk ditemukan. Masjid ini masih kokoh hingga kini, meskipun kerajaan Islam Demak telah runtuh dan jejak sejarahnya sulit ditemukan. Masjid ini mencerminkan perjalanan spiritual dan sosial masyarakat pada masa itu. Pengaruh walisongo sebagai tokoh yang berperan penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, semakin memperkuat nilai spiritual dan historis masjid ini (Aizid n.d.). 

Menurut cerita tradisi yang berkembang di masyarakat, masjid ini dibangun dalam waktu satu malam atas perintah Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak. Meskipun waktu penyelesaiannya yang singkat sangat sulit diterima oleh akal sehat, namun, semua catatan sejarah mengungkapkan hal yang sama. Ketika dihubungkan dengan kesaktian orang zaman dahulu, terutama para wali, sangatlah tidak mustahil melakukan hal tersebut dengan segenap kesaktiannya, sehingga menambah keunikan masjid ini dan menjadikannya daya tarik yang istimewa (Sabiq n.d.).

Keberadaan masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya di mana para ulama dan tokoh masyarakat berkumpul untuk membahas isu-isu keagamaan dan sosial, karena itulah Kabupaten Demak dijuluki sebagai Kota Wali. Hingga saat ini masjid ini masih aktif dan ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk beribadah, berziarah, maupun sekadar berkunjung saja (Qodriana 2007). Mayoritas masyarakat tertarik untuk berkunjung ke Masjid Agung Demak ini disebabkan niali nilai sejarah dan keindahan bangunannya yang megah, anggun, dan kharismatik walaupun dibangun dengan gaya tradisional dan sederhana. 

Masjid Agung Demak merupakan contoh menarik dari akulturasi budaya, mengintegrasikan berbagai elemen arsitektur dari budaya yang berkembang pada masa itu (Purwanto, 2014). Masjid ini mengadopsi gaya arsitektur tradisional Jawa kuno pada masa kerajaan Hindu, yang dipadukan dengan unsur-unsur Islam. Hal tersebut terlihat dari atapnya yang tidak berbentuk kubah, melainkan limasan bertingkat, ciri khas bangunan tradisional Jawa yang mencerminkan budaya lokal sebelum kedatangan Islam. Ornamen yang digunakan pada masjid ini juga sederhana namun penuh makna, mencerminkan estetika Islam (Andika Saputra, t.t.). Selain itu, struktur bangunan ini terbuat dari bahan-bahan lokal seperti kayu jati dan batu, yang menunjukkan keterikatan masyarakat dengan lingkungan sekitar mereka.

Salah satu elemen paling mencolok dari Masjid Agung Demak adalah tiang utama, yang dikenal sebagai soko guru. Tiang ini dibangun oleh Walisongo; tiang di bagian barat daya dibuat oleh Sunan Gunung Jati, barat laut oleh Sunan Bonang, tenggara oleh Sunan Ampel, dan timur laut oleh Sunan Kalijaga. Tiang ini terbuat dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu, dikenal sebagai saka tatal (Usmani, t.t.). Masjid ini memiliki dua bangunan utama yang saling berkaitan, yaitu bangunan induk berbentuk joglo, yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, dan serambi.

Pada bagian induk, terdapat empat tiang utama soko guru serta atap berbentuk tumpang tiga yang menyerupai piramida atau meru, mencerminkan warisan budaya arsitektur pra-Islam di tanah Jawa. Beberapa pihak menganggapnya sebagai peninggalan hubungan politik antara penguasa Muslim di Jawa, yang menggambarkan interaksi antara orang Jawa dan Tionghoa (Waluyo, 2013). Atap tajug yang bertumpuk menyerupai pagoda mewakili struktur Buddhis, tetapi tetap diterima oleh masyarakat karena memadukan unsur agama dan arsitektur sebelumnya.

Atap tajug bertumpuk tiga ini melambangkan akidah Islam: Islam, iman, dan ihsan. Bagian atap yang semakin kecil ke atas menggambarkan hubungan ketuhanan dan nilai-nilai ibadah. Di puncak atapnya terdapat mustaka yang merepresentasikan kesatuan Islam, iman, dan ihsan dalam keesaan Allah SWT.

Serambi masjid, ruang terbuka dengan atap berbentuk limas, ditopang oleh delapan tiang yang disebut saka Majapahit. Bangunan tambahan ini dibuat pada masa Adipati Yunus, Sultan Demak kedua, pada tahun 1520. Di dalamnya terdapat benda purbakala, hadiah dari Prabu Brawijaya V, Raden Kertabumi, serta 28 saka penanggap. Kedua atap ini menjadi ciri khas arsitektur Masjid Agung Demak dan menjadi prototipe bagi masjid-masjid lain yang dibangun setelahnya (Ashadi, 2002).

Masjid Agung Demak memiliki lima pintu yang melambangkan rukun Islam, dengan Pintu Bledeg sebagai pintu utamanya, serta enam jendela yang merepresentasikan rukun iman. Masjid ini juga memiliki ruangan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan, termasuk pawastren, yaitu tempat shalat jamaah wanita. Di dalam pawastren terdapat ukiran motif Majapahit, termasuk lambang Kerajaan Majapahit berupa hiasan segi delapan yang dikenal sebagai Surya Majapahit, yang melambangkan Kerajaan Demak Bintoro.

Pintu utama masjid yang disebut Pintu Bledeg (Pintu Petir) dibuat oleh Ki Ageng Solo. Pintu yang terbuat dari kayu jati ini konon memiliki kesaktian untuk menangkal petir dan berfungsi sebagai penangkal petir (Kanzunnudin et al., 2023). Pintu ini dapat diakses dari serambi masjid dan dihiasi ukiran dua kepala naga serta tulisan condro sengkolo, yang menunjukkan tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi. Saat ini, Pintu Bledeg disimpan di Museum Masjid Agung Demak sebagai situs sejarah dan dilindungi dengan kaca pelindung.

Di tengah dinding kiblat masjid terdapat mihrab yang mengarah ke kiblat. Sunan Kalijaga berperan penting dalam penentuan arah kiblat tersebut. Mihrab ini dikelilingi panel-panel kayu berukiran geometris dan floral yang indah, serta dihiasi lampu gantung kaca yang berkilauan. Di dalamnya terdapat gambar bulus (kura-kura) yang dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat Jawa yang masih memeluk agama Hindu-Buddha, karena binatang ini dihormati oleh mereka. Istilah “bulus” berasal dari kata “bu” (masuk) dan “lus” (halus), yang mengandung makna bahwa seseorang harus memasuki masjid dengan sifat mulia, menghindari syirik, iri, dan dengki.

Gambar bulus tersebut juga melambangkan condro sengkolo yang berbunyi “sariro sunyi kiblating Gusti”, menandakan tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. Rincian gambar ini mencerminkan angka 1401, dengan kepala melambangkan angka 1, empat kaki melambangkan angka 4, badan melambangkan angka 0, dan ekor melambangkan angka 1, yang menandakan tahun pendirian Masjid Agung Demak.

Di samping mihrab terdapat mimbar untuk khutbah dan maksurah, yaitu bangunan kecil untuk shalat raja atau gubernur, yang bertuliskan dalam bahasa Arab, “memuliakan keesaan Allah SWT” (Haris, 2016). Makmurah ini dibangun oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat pada tahun 1287 H. Selain itu, terdapat kolam wudu pertama yang dibangun saat masjid ini berdiri, terletak di depan masjid. Kolam ini berfungsi sebagai tempat wudu bagi para wali dan jamaah. Saat ini, kolam tersebut menjadi situs sejarah yang dikelilingi pagar besi.

Tradisi kirab pusaka dan aneka tumpeng yang diarak menuju makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, juga menjadi bagian dari sejarah masjid ini. Tradisi ini merupakan bagian dari ziarah kubur, atau yang dalam bahasa Jawa disebut ngalap berkah. Dalam tradisi ini, para peziarah berdoa dan berdzikir untuk mendoakan arwah para Sultan Demak beserta keluarganya, sekaligus memohon doa pribadi kepada Allah SWT (Pataruka, 2018). Mereka berharap mendapatkan berkah, rezeki melimpah, ketenangan hati, serta pengampunan dosa.

Masjid ini juga menjadi tempat peziarah menikmati peninggalan sejarah, termasuk kompleks makam di belakang masjid, tempat peristirahatan terakhir para Sultan Demak dan pengabdinya. Di area makam Kasepuhan terdapat makam Raden Patah, Pati Unus, Adipati Terung, dan Sendo Lepen. Di makam Kaneman terdapat makam Raden Trenggono dan Sunan Prawoto, serta di sisi barat makam ini terdapat makam Adipati Arya Penangsang, Pangeran Arya Jipang, dan Pangeran Jaran Panoleh.

Hingga saat ini, Masjid Agung Demak tetap digunakan sebagaimana masjid pada umumnya. Selain sebagai tempat shalat lima waktu, masjid ini juga menyelenggarakan pengajian rutin setiap malam Jumat, takjilan, mujahadah, shalat Tarawih, shalat Idulfitri, dan Iduladha, serta berbagai kegiatan keagamaan lainnya.

Ziarah ke Masjid Agung Demak bukan sekadar kunjungan fisik, melainkan perjalanan spiritual yang membawa kita menelusuri jejak agung peradaban Islam di Nusantara (Faizah, 2020). Setiap sudut masjid ini menyimpan pesan sejarah yang mendalam, mengajak kita merenungkan kebijaksanaan dan perjuangan para pendahulu yang telah meletakkan fondasi nilai-nilai luhur.

Melalui peninggalannya, Masjid Agung Demak menjadi pengingat akan warisan leluhur yang tidak hanya perlu dikenang, tetapi juga dihormati dan dijaga. Sejarah yang terpatri di dalamnya mengajarkan kita untuk menghormati masa lalu sebagai pelajaran hidup yang abadi. Menghargai sejarah berarti menghargai jati diri, dan Masjid Agung Demak mengajak kita untuk senantiasa mengingat nilai-nilai luhur sebagai pijakan dalam membangun masa depan.

Referensi:

Aizid, Rizem. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press.

Andika Saputra, Nur Rahmawati. Arsitektur Masjid: Dimensi Idealitas dan Realitas. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Ashadi. 2002. “MASJID AGUNG DEMAK SEBAGAI PROTOTIPE MASJID NUSANTARA: FILOSOFI ARSITEKTUR.” NALAR I(1).

Faizah, Fitri Nur. 2020. “Manajemen Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata Ziarah Pada Makam Raden Fatah Demak. Undergraduate Thesis, IAIN KUDUS.” http://repository.iainkudus.ac.id/3973/ (1).

Haris, Tawalinuddin. 2016. “Prasasti Huruf Arab Koleksi Museum Masjid Agung Demak.” Jurnal Lektur Keagamaan 14(1). doi:10.31291/jlk.v14i1.477.

Kanzunnudin, Mohammad, Pendidikan Guru, Sekolah Dasar, Universitas Muria Kudus, Pendidikan Guru, Sekolah Dasar, Universitas Muria Kudus, et al. 2023. “Analisis Nilai Budaya Terhadap Cerita Rakyat ‘Lawang Bledheg’ Di Masjid Agung Demak.” Jurnal Pendas … 5(1).

Pataruka, Marwoto. 2018. “’NGALAB BERKAH’ PADA RUANG RITUAL TRADISI DAN RELIGI MASJID AGUNG DEMAK.” Jurnal Arsitektur ZONASI 1(2). doi:10.17509/jaz.v1i2.12394.

Purwanto. 2014. “PERANAN KEBERADAAN MASJID AGUNG DEMAK DALAM PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT KELURAHAN BINTORO KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang | 02(1).

Qodriana, Layla. 2007. Universitas Negeri Semarang Masjid Agung Demak Sebagai Tempat Wisata Keagaman.

Sabiq, Fairuz. Sunan Kalijaga Dan Mitos Masjid Agung Demak. indramayu, jawa barat: Penerbit Adab.

Sugeng. 2016. “Legenda Masjid Agung Demak.” Jurirakyat.net.

Ulung, Gagas. Wisata Ziarah: 90 Destinasi Wisata Ziarah & Sejarah Di Jogja, Solo. Magelang, Semarang, Cirebon. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Usmani, Rofi’. Jejak Jejak Islam: Kamus Sejarah Dan Peradaban Islam Dari Masa Ke Masa. Sleman yogyakarta: Penerbit Bunyan ( PT Bentang Pustaka).

Waluyo, Eddy Hadi. 2013. “Akulturasi Budaya Cina Pada Arsitektur Masjid Kuno Di Jawa Tengah.” Jurnal Desain 1(01).

Kontributor: Dalva Aulia, Semester III

Editor: Siti Yayu Magtufah

Leave a Reply