Mengenal Lebih Dekat Sosok Kontroversial Indonesia; ‘Abdurrahman Ad-Dakhil’

Mengenal Lebih Dekat Sosok Kontroversial Indonesia; ‘Abdurrahman Ad-Dakhil’

“Ada empat misteri Tuhan di dunia ini; yaitu jodoh, rezeki, umur, dan ….. Gus Dur.”

MAHADALYJAKARTA.COM – Kata-kata di atas merupakan salah satu ungkapan yang menyindir sikap Gus Dur yang sulit ditebak. Tokoh yang terkenal penuh dengan kontroversi, sederhana tapi rumit, banyak dipuji sekaligus dibenci, dan tentunya pejuang dalam sejarah nusantara yang berdedikasi tinggi terhadap pembelaan pada kaum minoritas dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Dan yang tak kalah menarik dari sosok yang memiliki nama kecil Abdurrahman Ad-Dakhil ini adalah kemampuannya dalam mengemas setiap gagasan dan pemikiran dalam situasi yang harmonis, humoris dengan lontaran jenakanya, santai dan seringkali membuat banyak orang tergelitik. Hal ini menjadikan ciri khas bagi seorang Gus Dur yang memiliki gaya hidup sederhana di masyarakat kelas bawah dan pinggiran.

Gus Dur lahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah dan memiliki nama kecil yakni Abdurrahman Ad-Dakhil yang berarti ‘Sang Penakluk’. Sebuah nama yang diambil ayahnya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Kepada Thariq bin Ziyad lah KH. Wahid Hasyim menyandarkan harapan-harapannya kepada sang putra melalui salah satu penakluk Andalusia itu, di mana ia mampu menaklukan ketakutan dirinya dan seluruh pasukannya. Akan tetapi, belakangan nama ‘Ad-Dakhil’ tidak cukup dikenal, sehingga diganti nama dengan Abdurrahman Wahid.

Dari nama itulah, cucu dari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama itu mengoptimalkan impian masa kecilnya sebagai seorang penakluk. Mulai dari masa kecil yang mengharukan, di mana ia ditinggal ayahnya sejak umur 13 tahun. Sehingga sebagai anak tertua ia mau tak mau harus menjaga sang ibu dan adik-adiknya. Namun, berkat didikan orang tuanya yang sangat luar biasa mampu mencetak pribadi Gus Dur menjadi sosok yang tangguh. Ia tegar setegar batu karang. Ia kokoh, meski badai kerap menerjang. Da ia kuat sekuat garuda. Walaupun kala itu, ia selalu bertanya-tanya. Jika Thariq bin Ziyad mampu menaklukan Andalusia, Ken Arok mampu menaklukan Tunggul Ametung, Raden Wijaya mampu menaklukan  Jayakatwang dan Gajah Mada mampu menaklukan Nusantara dengan sumpah palapanya. Lalu, apa yang bisa seorang Abdurrahman taklukan?

Sebagaimana sejarah mencatat, semasa hidupnya tokoh yang sangat menyukai permainan sepak bola itu telah melambungkan citra Indonesia di arena Internasional karena pandangan dan pikirannya yang terbuka. Bahkan pada tahun 1994, Gus Dur diangkat menjadi Presiden Konferensi Agama dan Perdamaian Dunia atau World Conference of Religion and Peace (WCRP). Posisi ini membuktikan bahwa di balik sosoknya yang sederhana itu tersimpan potensi kepemimpinan yang diakui dunia. Perjuangannya tentang Indonesia yang pluralistik, damai, demokratis, dan menghargai hak asasi bukanlah basa-basi, tetapi bersifat total. Perhatian Gus Dur terhadap kepentingan bangsa sangatlah besar. Sampai-sampai membuat dunia Internasional memiliki perhatian yang besar terhadap Gus Dur.

Selain itu, pada tahun 1999 tokoh aktivis NU itu berhasil menduduki kursi presiden RI yang ke-4. Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden kala itu menuai banyak sekali kontroversi dan sangat di luar dugaan. Karena pada saat itu, Megawati dan BJ. Habibie merupakan dua kandidat terkuat. Bahkan para pendukungnya terkenal sangat fanatik terhadap kubu mereka. namun siapa sangka, Abdurrahman Wahid yang pada saat itu hampir buta dan baru sembuh dari stroke parah, terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sebagian berpendapat bahwa ketika Gus Dur menjadi presiden, hal itu merupakan puncak pencapaian politik kaum santri. Bahkan Gus Dur disebut sebagai santri pertama yang menjabat sebagai presiden. Sebagaimana ditulis oleh KH. Zainal Arifin Thoha dalam bukunya yang berjudul Jagadnya Gus Dur, beliau mengisahkan tentang pengakuan seorang santri yang merasa ketika Gus Dur menjadi presiden ia merasa bahwa waktu itulah ia ikut memiliki negeri ini. Dengan kata lain, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur seperti menghidupkan rasa nasionalisme, memunculkan inspirasi, dan semangat kebangsaan di kalangan para santri. Namun, kesempatan untuk memimpin negeri ini tak sampai waktu dua tahun. Ia dijatuhkan dan dimakzulkan dengan tuduhan-tuduhan yang sangat memalukan dan kontroversial yang sebenarnya tidak ada buktinya sama sekali. Niat hati ingin menyelamatkan negeri ini dengan mengeluarkan dekrit pada saat itu. Namun, dekrit yang dikeluarkan  Gus Dur malah dianggap lelucon dan candaan. Sejarah mencatat betapa dekrit tak selamanya bisa mempan melawan parlemen. Mereka tak mengerti bahwa dekrit yang mereka anggap sebagai lelucon sangat mempengaruhi integritas negeri ini.

Di balik sosok Gus Dur yang inspiratif dan dikenal sebagai pejuang kesetaraan hak di antara suku, ras, serta agama di Indonesia, ia juga merupakan sosok yang jenaka dan sering melontarkan guyonan dan candaan. Ia adalah sosok yang humoris. Di mana humor-humor yang sering dilontarkan merupakan salah satu metode untuk menjaga kewarasan di tengah pahitnya realita. Kadang juga guyon dan humor ini digunakan sebagai alat untuk melontarkan kritik dan sindiran terhadap pemerintah. Mungkin karena hal ini pula, hal serius yang kurang masuk akal di telinga orang-orang yang terlontar dari mulut Gus Dur terkadang dianggap hanyalah sebuah lelucon semata.

Ada suatu kisah, ketika Gus Dur dimintai pendapat tentang makna lucu, maka jawaban yang diberikan adalah sebuah peristiwa yang tidak logis. Tapi, peristiwa yang tak logis itu bukan berarti tidak percaya nalar. Seperti keputusan pemakzulannya, Gus Dur sampai kapan pun akan tetap menganggapnya sebagai hal yang tak logis. Ketidaklogisan peristiwa itu bukan sekedar tidak memiliki dasar, tapi juga dipenuhi berbagai kepentingan. Maka, sikap yang paling tidak merepotkan menurut Gus Dur dalam menanggapi masalah ini adalah dengan tertawa. Gus Dur menganggap peristiwa tersebut sebagai ludruk atau dagelan terbesar dalam sejarah negeri dan bangsa ini. Bahkan, jika pepatah Jawa menyatakan bahwa urip iku mung mampir ngombe, tapi lain halnya dengan Gus Dur, ia lebih setuju bahwa urip iku mung mampir ngguyu. Seperti itulah gambaran seorang Gus Dur yang terlihat sangat santai dan tidak grasak-grusuk dalam menyikapi berbagai masalah dalam hidupnya.

Dipuji oleh sebagian orang, dicela oleh yang lain. Hal itu sudah menjadi suatu hal yang sangat biasa di kehidupan seorang Gus Dur. Gaya pemerintahan Gus Dur yang berubah-ubah dan sosoknya yang slengek-an memicu berbagai kritik dan kesalahpahaman di kalangan pengamat dalam dan luar negeri. Bahkan kita tak asing dengan kata-kata ‘gitu aja kok repot’ ketika ia menanggapi persoalan-persoalan yang terkadang dianggap krusial bagi sebagian orang. Walaupun seperti itu Gus Dur tetap memiliki karakter unik yang berpengaruh sangat besar di negeri ini. Semangatnya dalam mengkampanyekan demokratisasi, inklusivisme, pluralisme dan toleransi patut diacungi jempol. Energinya yang tak pernah habis untuk tetap memperjuangkan dan menjaga kebersamaan dalam kehidupan yang plural, layak kita catat dalam sejarah Indonesia raya ini.

Dari sini kita bisa melihat, betapa Gus Dur mampu menaklukan dirinya sendiri. Ia mampu menaklukan ego dan nafsunya. Ia tak pernah peduli dengan gunjingan dan celaan orang terhadap dirinya. Ia tak pernah menanggapi  ketika semua orang menganggapnya orang yang aneh karena pemikirannya yang terkadang melenceng dan tak masuk akal. Yang ia pikirkan hanyalah perjuangan untuk bangsa ini. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana seorang yang buta dan memiliki keterbatasan fisik mampu menjadi pengaruh bagi orang lain dan bermanfaat untuk umat. 

“Pahlawan bukanlah orang-orang yang namanya tercatat dalam buku-buku sejarah. Karena sejarah bisa direkayasa. Pahlawan sejati adalah sikap pribadi yang ditulis secara langsung dalam sikap dan laku hidup kita sendiri.”

Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Terj. Lie Hua, Yogyakarta: LKS Yogyakarta, 2008.

Abdullah Wang, Mata Penakluk: Manaqib Abdurrahman Wahid, Jakarta: Expose, 2015.

Tim Narasi, 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta: Narasi, 2005.

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Al Zastrouw, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan?, Jakarta: Erlangga, 1999.

Faiz Miftahul Huda, Gus Dur dalam Bingkai Novel Peci Miring, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Indhra Musthofa, Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Gus Dur, Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana MAlik Ibrahim Malang.

Kontributor: Winda Khoerun Nisa, Semester VI

Leave a Reply