Gigihnya Ratu Kalinyamat Melawan Penjajahan Portugis

Gigihnya Ratu Kalinyamat Melawan Penjajahan Portugis

Selain dikenal dengan sebutan Kota Ukir, Jepara juga dikenal dengan sosok pejuang wanita penentang penjajahan Portugis. Dia adalah Ratu Kalinyamat; penguasa Jepara, perempuan kaya raya dan memiliki kekuasaan yang besar keturunan Sri Sultan Demak. Namun sebelum jauh ke pembahasan tentang perjuangannya melawan Portugis, alangkah baiknya kita mulai menceritakannya dari gejolak politik dan kehancuran Kesultanan Demak sebelum akhirnya Ratu Kalinyamat menjadi Ratu yang memiliki hak otonom atas daerah Kalinyamat.      

Ekspansi Demak di bawah kekuasaan Sultan Trenggana dilakukan ke daerah-daerah Jawa Timur, daerah-daerah bekas vasal Kerajaan Majapahit. Pada 1527 M Tuban ditaklukkan oleh Demak, salah satu negara vasal Majapahit yang penguasanya telah masuk Islam. Setelah itu secara berturut turut ditundukkan pula Wirasari pada 1528 M, Gegelang (Madiun) tahun 1529 M, Medang Kamulan (Blora) tahun 1530 M, Surabaya tahun 1531 M, dan Pasuruan tahun 1535 M. Lamongan, Blitar, Wirasaba, ketiganya ditaklukkan pada antara tahun 1541-1542 M. Gunung Penanggungan sebagai benteng elit religius Hindu-Jawa tahun 1543 M, Mamenang (Kediri) tahun 1549 M, Sengguruh (Malang) pada 1545 M. Sebagai sasaran akhir adalah Panarukan dan Blambangan. Menurut satu tradisi disebut bahwa pada tahun 1546 M Blambangan ditaklukkan, sedang tradisi lain mengatakan bahwa pada tahun itu Sultan Trenggana gugur dalam pertempuran ketika menyerbu Panarukan. Dapat dikatakan bahwa pada pertengahan abad XVI Demak telah menguasai seluruh Jawa. Bagian pedalaman Kerajaan Majapahit hampir semua telah menjadi daerah takluknya sedang di bagian barat sebagian daerah Pajajaran telah berada di bawah pengaruhnya. Meskipun secara tidak mutlak, Cirebon juga ada di bawah pengaruhnya. Pelabuhan-pelabuhan penting yang telah berada di bawah pengaruh Demak ialah Tuban, Jepara, Sidayu, Kotakembar, Jaratan, dan Gresik. Tidak jauh dari kedua tempat terakhir ini terdapat tempat kediaman Sunan Giri yang mempunyai pengaruh keagamaan hingga ke daerah Maluku, yaitu ke Temate dan Hitu di Ambon.

Setelah Sultan Trenggana wafat, ia digantikan oleh Pangeran Prawata yang kemudian bergelar Sunan Prawata. Ia adalah putra pertama Sultan Trenggana yang pemah membunuh Pangeran Sekar. Waktu Pangeran Sekar meninggal, Arya Penangsang, masih berusia sangat muda. Sepeninggal Sultan Trenggana pada 1546 M, Arya Penangsang beranggapan bahwa ia juga mempunyai hak atas tahta Kerajaan Demak. Oleh karena itu, setelah Sunan Prawata naik tahta, Arya Penangsang harus menghadapi Sunan Prawata dan keturunan/keluarga Sultan Trenggana. Ia berusaha menumpas habis keluarga Sultan Trenggana. Hal ini mengakibatkan terjadinya intrik di kalangan keluarga Kesultanan Demak. Oleh karena itu masa pemerintahan Sultan Prawata hanya berlangsung sangat singkat dari tahun 1546 hingga 1549 M. 

Sementara itu dalam Babad Tanah Djawi disebutkan bahwa yang berhak menggantikan Adipati Unus adalah Pangeran Sekar Seda Lepen. Namun ia dibunuh oleh Sunan Prawata, putera sulung Pangeran Trenggana. Pembunuhan ini bertujuan agar kelak ayahnya dapat menjadi sultan di Demak. Tujuan ini akhirnya memang menjadi kenyataan. Setelah mengetahui akan persoalan terbunuhnya ayahnya, Raden Kikin (Pangeran Sekar Seda Lepen), Arya Penangsang merencanakan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Arya Penangsang menyuruh Rangkut. Sesudah kemangkatan Sunan Prawata, Arya Penangsang bermaksud untuk menguasai Demak. Karena masih ada dua pesaing yang merupakan menantu Sultan Trenggana, yakni Pangeran Kalinyamat dan Adipati Hadiwijaya, Arya Penangsang ingin membunuh keduanya.  

Secara politis, setelah terbunuhnya Arya Penangsang, Kesultanan Demak yang pernah mengalami masa kejayaan dibawah Sultan Trenggana akhirnya mengalami kehancuran. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pajang. Hadiwijaya dilantik menjadi Sultan Pajang oleh Sunan Giri. Hadiwijaya tetap membiarkan kekuasaan Ratu Kalinyamat dan tidak mengusik janjinya untuk mendapatkan hadiah daerah Jepara dan Pati setelah berhasil membunuh Arya Penangsang, karena ia sangat menghormati kakak iparya. Atas izin Ratu Kalinyamat, Hadiwijaya memindahkan alat-alat dan pusaka Kerajaan Demak ke Pajang.  

Ratu Kalinyamat: Asmara, Tahta, dan Dendam    

Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Mendapatkan nama Ratu Kalinyamat sesudah  Retna Kencana menjadi raja di wilayah kalinyamat sebelum dinikahi dan sesudah kematian Pangeran Hadiri, Wintang, Thoyib, atau Pangeran Kalinyamat di tangan Arya Penangsang dan anak buahnya pada tahun 1549 M. Sementara, Pangeran Hadiri semasa berkuasa di Mantingan dan berlanjut di Kalinyamat hanya menjabat sebagai bawahan Kesultanan Demak sejak masa pemerintahan Sultan Trenggana hingga pemerintahan Sunan Prawata. 

Berpijak dari analisis para sejarawan, perkawinan antara Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadiri cenderung disebabkan kesamaan kepentingan politis antara Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Aceh Darussalam. Di mana, kedua kerajaan Islam tersebut telah menentang imperialisme Portugis yang bercokol di Malaka. 

Sekalipun lebih berdasarkan kepentingan politik, rasa cinta Ratu Kalinyamat pada Pangeran Hadiri sangat besar. Terbukti ketika Pangeran Hadiri yang menyertainya menghadap ke Sunan Kudus untuk meminta pertanggungjawaban atas pembunuhan Sunan Prawata oleh Rangkud hingga mengalami kematian di tangan Arya Penangsang itu, Ratu Kalinyamat bertekad untuk balas dendam. Ratu Kalinyamat tidak akan menghentikan tapa wuda asinjang rikma-nya sebelum Arya Penangsang tewas. Menurut salah satu sumber, Ratu Kalinyamat bertapa brata tidak di satu tempat, melainkan berpindah-pindah dari Galang Mantingan, Danarasa, hingga Danaraja.

Dinyatakan bahwa munculnya dendam Ratu Kalinyamat bukan lantaran sekedar terbunuhnya Sunan Prawata, kakaknya, di tangan Rangkud melalui keris Kiai Bethok, melainkan pula karena tewasnya Pangeran Hadiri di tangan Arya Penangsang. Karena dendamnya pada Arya Penangsang dan cintanya pada Pangeran Hadiri, Ratu Kalinyamat rela bertapa brata. Dalam sumpahnya, Ratu Kalinyamat akan mengabdi kepada seorang ksatria yang mampu membunuh Arya Penangsang. 

Mendengar sumpah Ratu Kalinyamat, Adipati Hadiwijaya dari Kadipaten Pajang yang berkunjung ke Gunung Danaraja bersedia membunuh Arya Penangsang. Sepulang dari Danaraja, Adipati Hadiwijaya mengumumkan sayembara bahwa siapa saja yang mampu membunuh Arya Penangsang akan mendapat hadiah tanah Pati dan Mentaok yang merupakan wilayah kekuasaan Kalinyamat. Dengan demikian, bila ada pendapat bahwa Pati dan Mentaok merupakan bagian wilayah dari Pajang adalah salah besar. 

Dengan mendapat dukungan dari Juru Mrentani; Pemanahan, Penjawi, dan Danang Sutawijaya mengikuti sayembara yang diumumkan oleh Adipati Hadiwijaya. Melaui siasat Juru Mrentani, Danag Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang di tepi sungai Bengawan Sore. Berkat keberhasilannya itu, Pemanahan mendapatkan hadiah berupa tanah Mentaok yang kelak kelak dikenal dengan Mataram. Seentara, Penjawi mendapatkan hadiah berupa tanah Pati.  

Sesudah Arya Penagsang tewas, Ratu Kalinyamat mengakhiri tapa bratanya. Sebagaimana sumpahnya, Ratu Kalinyamat yang semula berstatus sebagai permaisuri Pangeran Hadiri kemudian menjadi raja yang mendapatkan hak otonom dari Adipati Hadiwijaya; saudara iparnya yang kemudian menobatkan diri sebagai raja di Pajang atas restu Sunan Giri pada tahun 1549 M. 

Masa Kejayaan dan Upaya Melawan Portugis 

Semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1550-1579), Kalinyamat mengalami masa kejayaan. Pada saat itu, Ratu Kalinyamat tidak hanya memerhatikan sektor ekonomi, politik, kebudayaan, dan hubungan internasional, melainkan pula sektor pertahanan dan keamanan yang ditandai dengan memperkuat armada perangnya. 

Karena memiliki armada perang yang sangat kuat, Ratu Kalinyamat  bersedia memberikan bantuan pasukan pada kesultanan Johor, orang-orang Haitu, dan Kesultanan Aceh Darussalam di dalam melawan Portugis yang markasnya tidak hanya di Malaka, namun pula di beberapa wilayah Nusantara. Tidak berbeda dengan para pendahulunya, serangan yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat terhadap Portugis di Malaka dikabarkan tidak membawa hasil. Akan tetapi, Ratu Kalinyamat pantas dicatat di dalam buku sejarah Nusantara sebagai wanita perkasa yang dibanggakan oleh masyarakat Jepara khususnya, serta masyarakat Indonesia pada umumnya. 

Pada 1550 M, Raja Johor mengirimkan surat kepada Ratu Kalinyamat yang isinya memberikan anjuran kepada Ratu untuk melakukan perang jihad terhadap orang Portugis di Malaka, yang waktu itu sedang lengah dan menderita berbagai kekurangan. Ratu Kalinyamat menyetujui ajakan itu dengan mengirimkan armada laut yang tangguh pada tahun 1551. Dari 200 kapal persekutuan Muslim, 40 kapal berasal dari Jepara yang mengangkut 4.000 sampai 5.000 prajurit bersenjata. Mereka dipimpin oleh seorang yang bergelar adipati, seorang panglima yang sangat berani. Mereka menyerang dari arah utara, dan berhasil merebut daerah orang pribumi di Malaka, Serangan balasan dari pihak Portugis cukup hebat, sehingga pasukan sekutu Melayu harus mundur. Sementara itu, pasukan dari Jawa (Jepara) tetap bertahan. Mereka baru mundur ketika seorang panglima perangnya gugur. Ketika mereka melihat pemimpinnya gugur, pasukan Jawa segera melarikan diri ke pantai dan berusaha naik kapal sehingga pertempuran dilanjutkan di darat dan di laut. Dalam pertempuran ini 2.000 prajurit Jawa gugur dan sebagian besar perbekalan yang terdiri atas meriam, senapan, mesiu, bahkan makanan, dan lain sebagainya hilang atau jatuh ke tangan musuh. Markas perkemahan mereka juga dibakar. Kondisi pasukan Jepara semakin lemah, karena tiba-tiba angin badai datang, sehingga dua buah kapal Jawa yang bermuatan penuh terdampar di pantai dan menjadi mangsa orang Portugis. Akhirnya, tidak sampai separuh dari jumlah kapal dan prajurit Jepara dapat kembali di Jepara. 

Walaupun pemah mengalami kekalahan dalam pertempuran, Ratu Kalinyamat masih tetap berkuasa dan terus berusaha melakukan serangan lagi terhadap Portugis di Malaka. Pada tahun 1573 M Ratu Kalinyamat sekali lagi mendapat ajakan dari Sultan Aceh, Ali Riayat Syah untuk menggempur Malaka. Sekalipun Ratu Kalinyamat sangat bersemangat untuk berjuang melawan orang Portugis, tetapi armada dari Jepara tidak dapat datang tepat waktu. Ketika armada Aceh telah menyerang Malaka, ternyata armada Jepara belum datang. Keterlambatan yang tidak disengaja itu sangat menguntungkan pihak Portugis. Seandainya pasukan Aceh dan Jepara (Jawa) pada waktu itu dapat menyerang bersama-sama, Malaka tidak dapat dielakkan dari kehancuran   

Armada dari Jepara baru tiba di Malaka pada bulan Oktober 1574. Pada waktu itu armada Jepara berjumlah 300 kapal layar, 80 buah kapal di antaranya berukuran besar, masing-masing berbobot 400 ton. Awak kapalnya terdiri atas 15.000 prajurit pilihan, dan juga terdapat banyak sekali perbekalan, meriam, dan mesiu. Panglima armada dengan gelar Quilidamao, yang mungkin merupakan lafal Portugis untuk menyebut Kiai Demang atau Laksamana. Armada Jepara itu memulai serangan dengan salvo tembakan yang seolah-olah hendak membelah bumi. 

Referensi: 

Sudibyo, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Balai Pustaka. 

Kartodircijo, Sartono. 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartodircijo, Sartono.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emperium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia.

Graaf, H.J. de.1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Pers.

Achmad, Sri Wintala. 2020. Melacak Gerakan Perlawanan dan Laku Spiritualitas Ratu Kalinyamat. Yogyakarta: Penerbit Araska.   

Kontributor: Ahmad Dhani, Semester IV 

Leave a Reply