Mush’ab bin Umair: Sahabat Rasul Yang Merelakan Harta Hingga Nyawanya Demi Islam

Mush’ab bin Umair: Sahabat Rasul Yang Merelakan Harta Hingga Nyawanya Demi Islam

MAHADALYJAKARTA.COM- Pada awal mula munculnya agama Islam, kebanyakan orang-orang yang mengikut Rasulullah SAW berasal dari kaum yang lemah dan miskin. Akan tetapi, berbeda dengan Mush’ab bin Umair, ia merupakan seorang pemuda tampan rupawan yang berasal dari keluarga yang bergelimang harta. Mush’ab bin Umair atau yang bernama lengkap Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdul ad-Dar masih memiliki jalur garis keturunan yang sama dengan Nabi Muhammad Saw yaitu dari jalur Quraisy bin Kilab. 

Mush’ab juga merupakan salah satu keturunan bangsawan Quraisy yang memiliki pengaruh besar di wilayah Jazirah Arab. Ayahnya bernama Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf dan ibunya Khunas binti Malik. Saat menginjak dewasa ia selalu menjadi buah bibir para gadis-gadis kota Mekah karena wajahnya yang rupawan dan juga sangat disegani di kalangan penduduk Mekah.

Mush’ab yang dipersiapkan kelak menjadi tokoh yang berpengaruh di Bani Abdul ad-Dar dididik oleh orang tuanya menjadi salah satu orang yang berperan penting dalam politik dan berpengaruh di kalangan bangsa Arab. Popularitasnya tidak sedikit pun menjadikannya  sombong dan angkuh. Ia memanfaatkan hal itu sebagai peluang untuk belajar dan berlatih dengan mengikuti pertemuan para pembesar kaum Quraisy. Di sana ia menyaksikan beragam argumen dan perdebatan para tokoh Quraisy. 

Pada suatu hari, para pembesar Quraisy mengadakan perkumpulan membahas tentang agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mush’ab tidak menyia-nyiakan perkumpulan tersebut, ia turut hadir untuk mendengarkan diskusi mereka. Sejak saat Itu, ia mulai penasaran dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sampai suatu hari, ia mendengar kabar bahwa Muhammad dan pengikutnya berkumpul di tempat yang jauh dari ancaman dan gangguan orang Quraisy, yaitu di bukit Shafa di rumah Al Arqam Bin Abi al-Arqam. Ia bermaksud untuk mengunjungi tempat perkumpulan tersebut. Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Muhammad, Mush’ab merasa kagum dan menyatakan keislamannya. 

Di awal keislamannya, ia mencoba menyembunyikan hal itu dari ibunya, karena ia yakin tidak akan diizinkan untuk pindah ke agama tersebut. Akan tetapi meski ditutupi dengan sedemikian rupa, rahasianya itu tetap saja terbongkar. Hal itu terjadi ketika Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam dan melakukan salat. Maka, seketika itu juga ia berlari untuk memberitahu apa yang ia lihat kepada Khunas, ibunda Mush’ab yang memancing kemarahan ibunya. 

Mush’ab kemudian dikurung oleh ibunya di dalam sebuah ruangan. Tetapi, ia berhasil keluar dan ikut hijrah ke negeri Habasyah bersama pengikut Nabi Muhammad SAW. Setelah pulang dari Habasyah, ibunya masih berusaha untuk mengeluarkan Mush’ab dari agama itu dengan merencanakan penangkapan terhadap buah hatinya itu. Mush’ab pun bersumpah tidak akan segan membunuh orang yang membantu ibunya menjalankan misi itu.  Mengetahui kesungguhan putranya, ibunya pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali membiarkan putranya memeluk agama Islam. 

Mush’ab meninggalkan semua kesenangan yang melimpah yang selama ini ia nikmati dan memilih hidup miskin demi memeluk agama Islam.  Suatu ketika Mush’ab menjumpai kaum muslimin yang sedang mengelilingi Rasulullah SAW. Melihat kondisi Mush’ab yang mengenakan jubah yang penuh dengan tambalan membuat para sahabat tidak kuasa menahan air mata mereka karena merasa haru dan prihatin. Karena teringat Mush’ab yang memakai jubah mewah layaknya seperti bunga di taman segar dan harum semerbak sebelum memeluk agama Islam. 

Selang beberapa tahun setelah hijrah yang ke-2 setelah bai’at dan musim haji berakhir, Nabi Muhammad SAW menunjuk Mush’ab menjadi duta ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada kaum Anshar. Di Madinah, Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zararah. Mereka menyebarkan Islam tanpa kenal lelah. Mush’ab  mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk Madinah. Hingga pada suatu hari Mush’ab berinisiatif untuk mendirikan salat Jum’at di Madinah dan disetujui oleh Rasulullah SAW. Sehingga tercatat dalam sejarah, salat Jum’at pertama umat Islam dilaksanakan di Madinah bersama Mush’ab bin Umair.

Pada misi dakwah tersebut, mereka masuk ke perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar yang pada saat itu dipimpin oleh Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Haidar. Sa’ad menyuruh Usaid untuk menghadang Mush’ab dan As’ad yang hendak menyebarkan agama Islam. Usaid dengan membawa tombak berkata kepada Mush’ab dan As’ad, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Apa kalian bermaksud untuk membodohi kaum kami yang lemah? Tinggalkan kaum kami jika kalian masih menyayangi nyawa kalian.” 

Dengan kelembutan hati Mush’ab berkata, “Maukah kamu duduk sebentar bersama kami lalu mendengarkan perkataanku? Engkau boleh menerimanya jika suka dan boleh mengusir kami jika tidak suka.” Dengan kata-kata lembut Mush’ab, Usaid menjadi luluh dan berkata, “Baiklah.” Setelah mendengarkan semua perkataan Mush’ab, Usaid pun kembali berkata, “Alangkah indahnya ajaran ini, apa yang harus dilakukan untuk masuk ke ajaran ini?” Dan Mush’ab pun menjawab, “Pergilah kamu mandi dan bersihkan pakaianmu dan baca dua kalimat syahadat dan salatlah dua rakaat.” Usai melaksanakan semua itu Usaid pun berkata, “Aku memiliki pengikut yang banyak. Jika aku mengikuti kalian, pasti mereka semua akan mengikuti kalian juga dan aku akan mengirim Sa’ad kepada kalian juga.” Sehingga seluruh penduduk itu masuk islam kecuali satu orang yang bernama Al-Ushairim. Karena kemampuannya yang mampu meluluhkan hati orang-orang musyrik, Mush’ab pun diberi julukan Al-Khair.

Demikianlah, duta pertama yang diutus Nabi Muhammad SAW itu meraih hasil yang gemilang. Hari demi hari tahun demi tahun berlalu hingga masanya Rasulullah SAW dan para sahabat hijrah ke Madinah. Di satu sisi, orang Quraisy semakin larut dalam kebencian. Mereka semakin mempersiapkan rencana batil untuk mengejar para pengikut Muhammad SAW. Perang badar pun terjadi hingga membuat orang-orang Quraisy kehilangan akal sehat dan selalu berusaha menuntut balas dendam karena tidak menerima atas kekalahan mereka, hingga terus berlanjut sampai pada perang Uhud.

Di perang Uhud Rasulullah SAW memilih Mush’ab sebagai pemegang bendera Islam. Pertempuran sengit berkobar dan perang yang terjadi begitu dahsyat. Namun, para pasukan panah melanggar perintah Rasulullah dengan meninggalkan bukit karena melihat kaum musyrikin yang mundur dengan kekalahan. Mereka tertipu daya dengan siasat orang kafir. Perbuatan mereka itu segera mengubah keadaan sehingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan. Kaum muslimin dikejutkan oleh serangan balik pasukan berkuda kaum Quraisy yang mengepung dari atas bukit secara mendadak. Lalu, tombak dan pedang pun mulai membantai kaum muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan kaum muslimin yang porak-poranda, musuh pun mulai menunjukkan serangan ke arah Rasulullah SAW dengan maksud menghantamnya.

Mush’ab yang menyadari situasi gawat itu segera mengangkat bendera setinggi tingginya dan bertakbir sekeras kerasnya, lalu maju. Taktik itu dilakukan untuk menarik perhatian para musuh kepadanya supaya mereka melupakan Rasulullah Saw. Mush’ab bergerak dan berperang seorang diri bagaikan satuan pasukan besar dan banyak. Sebelah tangannya memegang bendera dengan penuh hormat sementara satu tangan lagi  menebaskan pedangnya dengan gagah berani. Namun, apalah daya musuh pun semakin banyak. Mereka mengepung Mush’ab dan hendak melangkahi jasadnya hingga bisa mendapatkan Rasulullah SAW.

Ibnu Sa’id menuturkan bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil Al-’Abdari menceritakan dari ayahnya, bahwa dalam perang Uhud, Mush’ab bin Umair tampil membawa bendera. Ketika kaum muslimin sudah kocar-kacir Mush’ab tetap berdiri tegak pada posisinya. Selanjutnya datanglah Ibnu Qomi’ah dengan menunggangi kuda. Ia menebas tangan kanan Mush’ab hingga putus. Mush’ab berkata, “Muhammad itu tiada lain adalah seorang Rasul yang telah dilalui oleh Rasul sebelumnya.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindungi diri. Musuh pun kembali menebas tangan kirinya hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, pangkal lengannya meraih ke dada sambil berkata, “Muhammad itu tiada lain adalah seorang Rasul, yang telah didahului oleh rasul sebelumnya.” Lalu, orang berkuda pun kembali menyerang dengan tombak dan menusuknya hingga panah itu patah, Mush’ab pun gugur di perang Uhud tersebut. Semua itu ia lakukan karena rasa cintanya yang  tiada tara kepada Rasulullah Saw. 

Setelah pertempuran itu berakhir, jasad Mush’ab yang gugur sebagai syuhada itu ditemukan dalam keadaan telungkup menyembunyikan wajahnya dengan berlumuran darah ke tanah. Seolah olah tubuh yang sudah kaku itu masih khawatir jika melihat Rasulullah tertimpa bencana. Rasulullah dan para sahabat memeriksa jasad para syuhada satu persatu.

Tatkala Rasulullah sampai pada tempat pembaringan Mush’ab, air mata Rasulullah pun mengalir deras penuh berkah. Khabbab bin Arat berkata, “kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah mengharap rida dari Allah SWT, sehingga jelaslah pahala disisi Allah bagi kami. Beberapa diantara kami yang meninggalkan dan belum sempat menikmati pahalanya di dunia, di antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang gugur dalam perang Uhud. Saat itu kami tidak mendapatkan selembar kain untuk mengkafani jasad Mush’ab selain selembar kain selimut. Jika kami letakkan kain itu di kepalanya, tampaklah kakinya. Sebaliknya ketika diletakkan di kaki, tersingkaplah kepalanya. Maka, Rasulullah pun berkata, letakkan kain itu di kepalanya dan tutup kakinya dengan idzkhir (tumbuhan berbau harum yang digunakan untuk penguburan)”.

Rasulullah berdiri di samping jasad Mush’ab dengan kedua mata yang pandangan diliputi cahaya kesetiaan dan kasih sayang. Beliau membacakan ayat:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ِرِجَالٌ صَدَقُوْامَاعَاهَدُوْاللهَ عَلَيْهِ…

Diantara  orang-orang mukmin tidak ada orang yang seperti apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (QS. Al ahzab.23)

Dengan pandangan iba Rasulullah melihat ke arah Burdah (kain) yang digunakan untuk membungkus jenazah Mush’ab seraya berkata, “Dahulu ketika di Mekah tidak ada seorang pun yang kulihat lebih halus pakaiannya dan lebih indah rambutnya selain engkau. Namun, sekarang engkau gugur dalam keadaan rambut yang kusut dan hanya dibalut selembar kain.”

Rasulullah SAW mendatangi jasad para syuhada yaitu sahabat Mush’ab yang gugur di medan pertempuran, lalu beliau bersabda: “Sungguh pada hari kiamat nanti, Rasulullah akan bersaksi, kalian adalah para syuhada di sisi Allah.” Setelah itu, beliau berpaling kepada para sahabat yang masih hidup yang berada di sekeliling beliau, Rasulullah bersabda: “Wahai para manusia, berziarahlah kalian kepada mereka, datangilah mereka, dan ucapan salam kepada mereka! Demi tuhan yang jiwaku ada di tangannya, tidaklah seorang muslim mengucapkan selamat kepada mereka hingga hari kiamat, kecuali mereka pasti menjawabnya.

Referensi :

Kholid, Kholid Muhammad. 2020. 60 Sirah Sahabat Rasulullah Saw. Terj. Muhil Dhofir. Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat.

Hamid, Abdul. 2023. Para Sahabat Nabi. Terj. Izzudin Karami dan Suharlan. Jakarta: Darul Haq.

Alfatih, Arifin. 2018. Misi Rahasia Mush’ab bin Umair. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.

Pranomo, Teguh. 2025. 100 Muslim paling berpengaruh dan terhebat sepanjang sejarah. Yogyakarta: Diva Press.

Al- Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman. 2001. Sirah Nabawiyah. Terj. Hanif Yahya. Jakarta: Darul Haq.

Al-Ishfahani, Abu Nu’aim. 2012. Hilyatul Auliya wa Thabaqoh al-Asfiya  jilid 1. Jakarta: pustaka Azzam.

Penulis: Rani Wahyuni (Semester II)

Editor: Winda K.N

Leave a Reply