MAHADALYJAKARTA.COM – Puasa merupakan ibadah yang Allah Swt. tetapkan sebagai kewajiban bagi umat Nabi Muhammad Saw., dimulai sejak tahun ke-2 Hijriah. Perintah tersebut, mulai diberlakukan ketika turunnya pedoman dari Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 183,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ١٨٣
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menilik makna yang terkandung dalam ayat di atas, Syekh Muhammad al-Thahir bin Muhammad at-Tunisi (w. 1393H) dalam kitab tafsirnya, At-Tahrir wa At-Tanwir menjabarkan bahwa lafadz ‘kutiba’ dalam ayat tersebut mengindikasikan suatu perintah kewajiban.
Kemudian, melanjutkan pembedahaan makna dalam ayat tadi, Syekh Muhammad al-Thahir menjelaskan maksud dari ‘Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa’, bahwa umat-umat sebelum nabi Muhammad Saw., dari kalangan orang-orang Yahudi, pernah diwajibkan berpuasa oleh Allah Swt.,
وَكَانَ لِلْيَهُودِ صَوْمٌ فَرَضَهُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَهُوَ صَوْمُ الْيَوْمِ الْعَاشِرِ مِنَ الشَّهْرِ السَّابِعِ مِنْ سَنَتِهِمْ وَهُوَ الشَّهْرُ الْمُسَمَّى عِنْدَهُمْ (تِسْرِي) يَبْتَدِئُ الصَّوْمُ مِنْ غُرُوبِ الْيَوْمِ التَّاسِعِ إِلَى غُرُوبِ الْيَوْمِ الْعَاشِرِ وَهُوَ يَوْمُ كَفَّارَةِ الْخَطَايَا وَيُسَمُّونَهُ (كَبُّورَ) ثُمَّ إِنَّ أَحْبَارَهُمْ شَرَعُوا صَوْمَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ أُخْرَى وَهِيَ الْأَيَّامُ الْأُوَلُ مِنَ الْأَشْهُرِ الرَّابِعِ وَالْخَامِسِ وَالسَّابِعِ وَالْعَاشِرِ مِنْ سَنَتِهِمْ تِذْكَارًا لِوَقَائِعِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَصَوْمَ يَوْمِ (بُورِيمْ) تِذْكَارًا لِنَجَاتِهِمْ مِنْ غَصْبِ مَلِكِ الْأَعَاجِمِ (أَحْشُويُرُوشَ) فِي وَاقِعَةِ (اسْتِيرَ) وَعِنْدَهُمْ صَوْمُ التَّطَوُّعِ، وَفِي الْحَدِيثِ: «أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا» ، أَمَّا النَّصَارَى فَلَيْسَ فِي شَرِيعَتِهِمْ نَصٌّ عَلَى تَشْرِيعِ صَوْمٍ زَائِدٍ عَلَى مَا فِي التَّوْرَاةِ فَكَانُوا يَتَّبِعُونَ صَوْمَ الْيَهُود
Artinya: “Terdapat puasa bagi orang-orang Yahudi yang telah Allah wajibkan atas mereka. Yakni puasa pada hari kesepuluh dalam bulan ketujuh di kalender mereka, nama bulan tersebut adalah Tisri. Durasi puasa itu dimulai sejak tenggelamnya matahari di hari kesembilan sampai tenggelamnya matahari di hari kesepuluh. Dinamakan sebagai hari penghapusan dosa. Orang Yahudi menyebutnya Kabbura. Kemudian, para pendeta mereka, mensyari’atkan puasa empat masa di waktu yang lain. Yakni, hari-hari awal di bulan keempat, kelima, ketujuh dan kesepuluh pada kalender mereka, sebagai peringatan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Baitul Maqdis. Selanjutnya, puasa di hari lain, mereka menyebutnya Buriem, sebagai peringatan atas keselamatan mereka terhadap perampasan raja asing, Ahsyur. Mereka juga, puasa tathawwu’ (sukarela/tambahan). Sebagaimana di dalam hadits dijelaskan, “Puasa yang paling Allah senangi adalah puasa nabi Daud, yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa sehari.” Adapun orang Nashrani, dalam syari’at mereka, tidak ada nash puasa tambahan (tathawwu’) atas apa yang ada di dalam Taurat. Hanya saja mereka mengikuti puasanya orang Yahudi. (Muhammad al-Thahir bin Muhammad at-Tunisi, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Daruttunisia, jilid 2, hal. 157)
Selain itu juga, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya umat terdahulu mengerjakan puasa Asyura’ (hari kesepuluh pada bulan Muharram),
عن ابن عباس قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المدينة، واليهود تصوم عاشوراء، فقالوا: هذا يوم ظهر فيه موسى على فرعون، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: (أنتم أحق بموسى منهم، فصوموا)
Artinya: Dari Ibnu Abbas Ra., ia mengatakan, bahwa nabi Muhammad saw. ketika datang ke kota Madinah, beliau mendapati orang Yahudi sedang puasa Asyura’, lalu orang-orang Yahudi berkata, “Hari ini adalah hari diselamatkannya nabi Musa As. dari kejaran Fir’aun.” Kemudian nabi Muhammad berkata kepada para sahabatnya, “Kalianlah yang seharusnya lebih berhak daripada mereka. Maka berpuasalah.” (HR. Bukhari no. 4403)
Selanjutnya, umat Nashrani juga melaksanakan puasa Asyura’ sebagaimana yang dilakukan oleh umat Yahudi. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhamad saw., yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Ghatafan bin Tharif,
حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ الْمُرِّيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ، قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: Telah bercerita kepadaku Isma’il bin Umayyah, bahwasanya ia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif al-Muriya mengatakan, aku mendengar Abdullah bin Abbas Ra. berkata, suatu ketika Rasulullah Saw. berpuasa pada hari Asyura’, kemudian memerintahkan untuk melaksanakan puasa pada hari itu. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya hari Asyura’ itu adalah hari yang dimuliakan oleh umat Yahudi dan Nasrani.” Lantas, Rasulullah Saw. menjawab, “Jika tiba tahun depan, insya’Allah kita berpuasa, mulai dari hari kesembilan (di bulan Muharram).” Ibnu Abbas mengatakan, “belum datang tahun selanjutnya, Rasulullah Saw. wafat.” (HR. Muslim no. 1134)
Pada zaman Jahiliyah, sebelum pengangkatan Nabi Muhammad Saw. menjadi seorang rasul, terdapat ibadah puasa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Aisyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ،، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ هُوَ الْفَرِيضَةُ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Artinya: Dari Aisyah ra., bahwasanya ia berkata, “Hari Asyura’ adalah masa orang Quraisy berpuasa di zaman Jahiliyah. Rasulullah Saw. juga berpuasa pada hari itu di zaman Jahiliyah. Suatu ketika sampai ke Madinah, Rasulullah Saw. berpuasa pada hari Asyura’, kemudian memerintahkan puasa pada hari tersebut. Namun setelah ditetapkannya puasa Ramadhan sebagai kewajiban, dan ditinggalkannya puasa Asyura’. Siapa saja yang berkehendak berpuasa di hari Asyura’, maka berpuasalah. Dan siapa saja yang berkehendak meninggalkannya, maka tinggalkanlah.” (HR. Abu Daud no. 2442)
Demikianlah, sekelumit ragam puasa umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad diwajibkan untuk berpuasa. Hal ini menunjukkan, betapa istimewanya ibadah puasa, sebagai sarana untuk menjadikan insan makhluk yang bertaqwa.
Penulis: Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta