Mengenal Jejak KH. Abdurrahman Wahid

Mengenal Jejak KH. Abdurrahman Wahid

Ma’had Aly – Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh fenomenal yang memiliki gaya unik dan khas, pemikiran dan sepak terjang semasa hidupnya sering kali menimbulkan kontroversi. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan nama panggilan Gus Dur. Sedangkan Gus adalah panggilan atau sapaan untuk kehormatan kepada putra Kyai yang sama dengan makna mas. Beliau lahir di Jombang, Jawa Timur tanggal 7 September 1940. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil yang berarti “Sang Penakluk” sebuah nama yang diambil oleh orang tuanya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Namun belakangan kata Addakhil tersebut tidak terkenal sehingga diganti dengan nama Wahid.

Beliau merupakan anak sulung dari enam saudara yang mana ayahnya sendiri ialah KH. Wahid Hasyim. Beliau merupakan dari keluarga terhormat, yang mana kakek beliau sendiri merupakan KH. Hasyim Asy’ari pencetus Nahdlatul Ulama (NU), sementara ibu beliau ialah Nyai Sholehah dari keluarga terhormat juga, yang mana kakek dari ibu beliau ialah KH. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya KH. Wahid Hasyim terlibat dalam gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada tahun 1949. Ibunya adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. 

Pada masa kecil beliau dididik oleh kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya ia diajari mengaji dan mempelajari Al-Qur’an. Dalam kurun waktu lima tahun saja beliau sudah lancar memahami Al-Quran dan kandungannya. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, selain sekolah di tempat formal beliau juga mengikuti les privat bahasa Belanda. Yang mana pada saat itu guru beliau bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar.

Sejak kecil beliau sudah berkenalan dengan dunia politik, manakala sang ayah ditunjuk menjadi Menteri Agama. Pada saat itu, banyak tamu ayahnya mengunjungi rumah beliau. Hal tersebut membuat pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Sejak masa kanak-kanak, ibunya sendiri telah ditandai berbagai isyarat bahwa beliau akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh dan tanggung jawab. Dalam kesehariannya, beliau mempunyai kegemaran sendiri yaitu membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, beliau rajin menyambangi perpustakaan umum di Jakarta. Bahkan beliau sangat didorong oleh gurunya untuk menguasai bahasa Inggris, sehingga dalam waktu kurun dua tahun saja beliau sendiri sudah menghabiskan beberapa buku bahasa Inggris. Diantaranya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. 

Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah. Pesantren tersebut diasuh oleh KH. Chudlori, sosok Kiai humanis. Dengan kyai inilah beliau diperkenalkan dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktIk-praktIk mistik. Bahkan di bawah bimbingan Kiai  Chudlori  ini pula, beliau mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini pula beliau sudah membawa buku-bukunya, yang membuat santri lain terheran-heran. Dalam kurun waktu dua tahun beliau menghabiskan belajar di Tegalrejo, beliau kembali ke Jombang dan kembali ke Tambak Beras. Saat itu beliau mendekati usia 20 tahun. Di pesantren milik pamannya, KH. Abdul Fatah, itu beliau menjadi ustadz dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar. Namun tidak terlalu lama beliau di sana dikarenakan kecewa harus mengulang pelajaran dan sistem pendidikannya sama seperti di Indonesia. 

Setelah belajar dari sana beliau bermaksud melanjutkan Studi di Eropa. Akan tetapi persyaratannya cukup ketat. Utamanya bahasa misalnya Hebrew, Yunani, atau latin dengan baik disamping bahasa Jerman tidak dapat terpenuhi akhirnya dilakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling dari universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya beliau menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Disana beliau mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya beliau kembali ke Indonesia setelah terilhami berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling study beliau berakhir pada tahun 1971, ketika beliau kembali ke Jawa dan memulai kehidupan baru yang sekaligus sebagai perjalanan awal karirnya

Setelah beliau pulang ke tanah air, beliau mulai meniti karir menjadi guru dan pada tahun 1971 beliau bergabung di fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng, Jombang. Terlepas dari itu, pada tahun yang sama beliau menjadi penulis, beliau kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut melalui pemikiran beliau mendapat perhatian yang layak. Jhon efendi seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa beliau adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya. Kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. tepat tiga tahun selanjutnya beliau mulai terlibat dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pertama di LP3ES bersama Dawam Raharjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian beliau mendirikan P3M yang dimotori LP3S.

Pada tahun 1979, beliau pindah ke Jakarta melanjutkan karir. Mula-mula beliau merintis pesantren Ciganjur, sementara tahun selanjutnya beliau dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU. Semenjak itu beliau serius menekuni masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai lintas agama, suku dan disiplin. Beliau sangat senang bergelut dengan dunia tersebut sehingga melalui pemikirannya banyak dianggap menyimpang atau lebih dikenal dengan kata ke-nyeleneh-an dalam kapasitas tokoh agama sekaligus pengurus PBNU. Selanjutnya pada tahun 1084 beliau terpilih sebagai ketua umum PBNU pada muktamar ke 27 di Situbondo. Sehingga beliau menduduki ketua umum sampai tiga kali sampai pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 1999 beliau melepas jabatan ketua umum tersebut dan menjadi Presiden republik indonesia ke-4. Namun, jabatan tersebut hanya dalam kurun 19 bulan saja, karena beliau dijatuhkan lawan politiknya. Meskipun demikian sikap ke-nyeleneh-an nya tidak hilang, sehingga banyak dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.

Itulah gambaran betapa rumitnya perjalanan beliau dalam meniti kehidupannya, bertemu berbagai macam orang yang hidup latar belakang ideologi, budaya, kepentingan,  strata sosial, dan paling jelas pemikiran beliau dengan orang paling berbeda. Beliau meniti kehidupan lebih kompleks, memulai dari hal yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis, dan sekuler. Beliau mengalami budaya Timur yang santun, tertutup penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka modern dan liberal. Beliau merupakan orang besar, ini bukan berarti karena beliau pernah memangku presiden di negeri ini, karena pada kenyataannya beliau pernah mengungkapkan bahwasanya tidak terlalu penting memangku jabatan tersebut. tapi beliau lebih mengedepankan peran-peran sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang pernah beliau torehkan yang membekas hingga saat ini. Terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahkan orang-orang non muslim mencatat bahwasanya beliau sebagai simbol toleransi. Beliau sangat gigih memperjuangkan nilai-nilai toleransi. Hambatan besar dari kelompok ekstrim tidak mampu menghambat langkah untuk menghargai keberagaman, bahkan beliau berusaha merawat dan menumbuhkan sikap toleransi dimuka bumi ini. Bahkan pergaulan beliau begitu luas, di kalangan agamawan, beliau dianggap sebagai Ulama yang terkemuka dan patut dicontohi. Dikalangan aktivis demokrasi beliau sebagai ketua forum demokrasi, di kalangan intelektual, beliau dikenal sebagai intelektual papan atas dan masih banyak lagi.

Akhir kata, setelah mengarungi kehidupan dunia dari tahap ke tahap hingga akhir hayatnya beliau menutup usia umur 69 tahun pada tanggal 30 Desember 2009. Akan tetapi beliau sudah menghadap sang ilahi, semua perjuangan, karir, pengorbanannya tidak akan terlupakan.

Referensi:

Lie Hua. 2020. Biografi Gus Dur. Yogyakarta: IRCiSoD Press.

Barton, Greg. 2002. Abdurrahman Wahid; Muslim Demokrat, Presiden Indonesia. Singapura: Pers UNSW,

Hamid, Muhamad. 2010. Gus Dur Bapak Pluralisme dan Guru bangsa. Yogyakarta: Galangpress.

Salehudin, Ahmad. 2019. Abdurrahman Wahid. Yogyakarta; Basabasi.

Zada, Khamami dkk. 2003. Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka

Kontributor: Ucok Sigit Sutrajat, Semester III

Leave a Reply