Menelusuri Jejak Hidup KH. Munawir Krapyak

Menelusuri Jejak Hidup KH. Munawir Krapyak

Ma’had Aly – Daerah Krapyak semula terkenal sebagai daerah yang cukup rawan dengan kejahatan serta jauh dari nilai-nilai keislaman. Selain itu, sebelum kedatangan KH. Munawir, Krapyak termasuk daerah yang masih banyak ditemukan semak-semak dan belantara yang menjadikannya semakin terlihat kurang menyenangkan. Orang yang menganut agama Islampun masih minoritas dan didominasi oleh kaum abangan. Namun demikian, seiring dengan berdirinya pesantren Krapyak yang dirintis oleh KH. Muhammad Munawir, membuat masyarakatnya dapat lebih mengenal Islam sebagai agama yang lurus. Lantunan ayat al-Qur’an juga selalu terdengar bahkan hingga sepeninggalnya kiai ahli al-Qur’an ini. Bagaimanakah perjalanan hidupnya?

Nama lengkapnya KH. Muhammad Munawir (1870-1942 M). Adalah putra dari seorang kiai yang bernama KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari. Lahir dan dibesarkan di kampung Kauman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ibundanya bernama Khadijah. Ia mendapatkan pendidikan pertamanya langsung dari ayah yang merupakan seorang kiai juga. Karena ia sendiri nantinya menjadi seorang kiai penerus sang ayah yang telah menguasai berbagai fan ilmu. Namun demikian, KH. Muhammad Munawir lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai ahli spesialis al-Qur’an saja, terutama pada abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai ahli qiraat karena menjadi orang pertama di Nusantara yang menguasai qiraat sab’ah. Bakat dan keahlian KH. Muhammad Munawir sudah mulai tampak semenjak usia dini. Ia tergolong putra yang cerdas dan memiliki hafalan yang kuat terbukti dengan kecepatannya dalam mempelajari surat-surat pendek. Kemudian, atas dasar inilah ayahnya mendorong dan memotivasi KH. Munawir muda untuk fokus menghafalkan al-Qur’an. Konon, dalam rangka mendorong bakat anaknya, KH. Abdullah Rosyad memberikan hadiah berupa uang sebesar 150 rupiah setiap kali Munawir muda berhasil menghatamkan al-Qur’an.

Dikutip dari buku Intelektualisme pesantren, bahwa pada usianya yang masih kanak-kanak, KH. Munawir sudah dititipkan di sebuah pesantren daerah Bangkalan, yang diasuh langsung oleh KH. Maksum. Di pesantren tersebut, bakat kefasihan KH. Munawir dalam menghafal dan membaca al-Qur’annya sudah mulai nampak. Atas dasar inilah, pengasuh pesantren tersebut memercayakan KH. Munawir muda untuk menjadi imam shalat, sementara umurnya masih 10 tahun.

Berikut beberapa ulama terkemuka yang menjadi guru KH. Munawir:

  1. Abdullah Kanggotan Bantul
  2. Soleh Darat Semarang
  3. Abdu Al-Rahman Watucongkol Magelang
  4. Kholil Bangkalan Madura.

Pengembaraan di Kota Suci

Selesainya belajar kepada beberapa guru di Jawa dan Madura, tahun 1888 M KH. Munawir memutuskan untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke kota Makkah dan Madinah. Di sana ia bertemu dengan guru-guru dari berbagai belahan dunia, sehingga berhasil menghatamkan al-Qur’an lengkap dengan penguasaan ilmu qiraah sab’ah-nya.

Berikut beberapa ulama yang menjadi guru KH. Munawir selama di kota suci:

  1. Syekh Abdullah Sanqoro
  2. Syekh Sarbani
  3. Syekh Mukri
  4. Syekh Ibrahim Huzaimi
  5. Syekh Musthafa.

Setelah hampir mencapai 21 tahun menimba ilmu di tanah haram, akhirnya ia putuskan untuk kembali ke kediamannya di Kauman, Yogyakarta.

  1. Muhammad Munawir Krapyak memiliki lima orang istri dengan urutan sebagai berikut:
  2. Nyai RA. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  3. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  4. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  5. Nyai Rumiyah (Jombang Jawa Timur)
  6. Nyai Khadijah (Kanggotan Yogyakarta)

Mahaguru Pesantren Al-Qur’an

Sepulang dari kota suci, KH. Munawir Krapyak mula-mula mengadakan pengajian al-Qur’an dengan mengadakan majlis kecil-kecilan di Kauman. Tepat di surau miliknya yang sekarang menjadi gedung Nasyiatul Aisyiyah Yogyakarta. Lalu, pada 1910 M karena beberapa sebab serta atas saran KH. Saidseorang pengasuh pesantren Gedongan kota Cirebonia hijrah ke daerah Krapyak dan mulai mengajarkan ilmu yang dimilikinya sembari membangun masjid. Pesantren Krapyak yang didirikan oleh KH. Munawir ini memang bukanlah pesantren al-Qur’an pertama yang ada di Indonesia. Konon, pada kisaran tahun 1970 telah berdiri pesantren al-Qur’an di Wanarejo milik Kiai Imam Suhodo, Pesantren Mangkang, Pesantren Salatiang Purworejo dan lain-lain.

Adapun karya tulis, kiai ilmu qiraah ini tidak sampai membukukan ilmu-ilmu yang telah dikuasainya. Akan tetapi ia lebih mengajarkan secara langsung mengenai metode-metode pembelajaran al-Qur’annya sehingga menjadi rujukan dihampir semua pesantren al-Qur’an di Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena telah banyak tersebar santri-santri yang berhasil mendirikan pesantren al-Qur’an sepeninggalnya. Di antaranya adalah KH. Arwani Kudus, KH. Badawi Kaliwungu, KH. Zuhri Nganjuk, KH. Suhaimi Bumiayu, KH. Anshar Bumiayu dan lainnya.

Adapun ciri khas yang paling menonjol dari metode pengajaran yang dikembangkan KH. Munawir adalah: pertama, membuat sertifikasi pembelajaran al-Qur’an menjadi beberapa tahap; binnadzhar (membaca langsung secara fasih dan tartil), bilghaib (menghafal dengan fasih dan tartil), dan kemudian menghafal qiraah sab’ah (menghapal tujuh macam bacaan); kedua, menekankan latihan fashahah dan murattal pada bacaaan-bacaan surat pendek. Proses tahapan ini harus ditempuh oleh setiap orang yang belajar al-Qur’an dengan cara berulang-ulang sebelum belajar al-Qur’an secara utuh.

Metode di atas telah dipraktekkan oleh murid-muridnya sehingga qiraah ini tetap lestari di Nusantara. Maka dengan begitu jasanya begitu besar. Lalu ditambah dengan adanya KH. Arwani Kudus (1905-1994 M) sebagai murid seniornya yang berhasil menuliskan “Buku Pintar” mempelajari dan menghafal al-Qur’an dalam tujuh jenis bacaan yang berjudul Faidhul Barakah menambah kebesaran jasa seorang ulama Nusantara ini. Ginanjar Sya’ban dalam Mahakarya Islam Nusantara menyatakan bahwa kitab Faidul Barakah ini terdiri dari tiga jilid dan terhitung sebagai kitab “ilmu qiraat sab’ah” yang langka di Nusantara. Bagaimanapun juga, KH. Arwani Amin merupakan salah satu murid KH. Munawir yang telah berhasil menjadi seorang ulama besar Nusantara yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Meski buku tersebut merupakan asli karya KH. Arwani Kudus, akan tetapi sedikit banyak di dalamnya berisi tatacara pengajaran qiraah sab’ah dengan standarisasi karya As-Syatibi yang diajarkan KH. Munawir Krapyak pada muridnya tersebut. Oleh karenanya sangatlah layak jika KH. Munawir Krapyak disebut sebagai mahaguru pesantren al-Qur’an.

Ahli Siraah Sab’ah Berpulang

Sebagaimana manusia pada umumnya, KH. Munawir Krapyak juga mengalami masa tua, merasakan sakit dan lelah. Selama enam belas hari ia merasakan sakit namun tetap dibawa badan mulianya melakukan aktifitas sebagaimana biasanya. Hingga tiga hari terakhir ia menyadari sakitnya semakin parah dan tidak dapat memejamkan matanya. Selama masa sakit, rumahnya selalu terdengar bacaan surat yasin setiap harinya sebanyak 41 kali. Sampai pada akhirnya KH. Munawir Krapyak menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya pada 11 Jumadhil Akhir 1360 H. / 1942 M. Namun demikian, seorang kiai yang sangat berjasa ini memberi beberapa wirid yang diijazahkan kepada siapa saja berupa doa yaitu:

  • Membaca surat al-Fatihah dan ketika sampai pada ayat ke lima dianjurkan membacanya diulang sebanyak 3, 7, 11, 21, atau 41 kali dengan disertai menyebutkan hajatnya masing-masing.
  • Mengkhatamkan surat Yasin sebanyak 41 kali.
  • Membaca shalawat nariyah/tafrijiyah sebanyak 4.444 kali.

Pengaruh dari keberadaan kiai satu ini, memang tidak diragukan lagi khususnya bagi perkembangan pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Kehadirannya mampu mewarnai pemikiran kiai-kiai yang hidup setelahnya, terbukti dengan amalan-amalan yang dipraktikkan kepada para santrinya, seperti pembacaan surat Yasin sebanyak 41 kali, lalu dilanjutkan dengan shalawat nariyah hingga saat ini. Hal ini berdampak pada menambahnya kharismatik serta kewibawaan, meskipun dirinya telah menghadap Allah swt., namun jasanya tetap dan akan selalu dikenang sebagai kebanggaan Indonesia karena merupakan termasuk orang yang pertama kali menguasai qiraah sab’ah pada zamannya.

Referensi

Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Bogor: Keira Publishing, 2017.

HS Mastuki, MI El-Saha, Intelektualisme Pesantren, seri 2, Jakarta: DIVA PUSTAKA, 2006.

Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, Tangerang: Pustaka Kompas, 2017.

Oleh : Ahmad Khoerul P., Semester V

This Post Has One Comment

  1. Davis Rylands

    I blog frequently and I seriously appreciate your content. This article has really peaked my interest. I am going to take a note of your site and keep checking for new details about once a week. I opted in for your RSS feed as well.

Leave a Reply to Davis Rylands Cancel reply