Pulau Jawa dan Berbagai Kekayaan yang Ada di dalamnya

Pulau Jawa dan Berbagai Kekayaan yang Ada di dalamnya

Penamaan pulau Jawa, menurut T. S. Rafless memiliki banyak versi dan kurang jelas asal usulnya. Ada cerita yang beredar bahwa nama Jawa bermula tentang para pendatang pertama dari India yang menemukan sebuah biji-bijian baru yang kemudian diberi nama Jawawut, yang dikenal oleh penduduk pada awal masa itu. Maka, dapat disimpulkan sejak saat itulah awal mula pulau tersebut diberi nama Jawa. Masing-masing penduduk pada masa itu memiliki penyebutan tersendiri untuk pulau Jawa. Salah satunya yaitu Ibnu Bathuthah menyebut Jawa dengan Melayu Jawa. Selain itu, Jawa juga biasa disebut oleh penduduknya dengan nama Tana (tanah) Jawa atau biasa disebut Nusa (pulau) Jawa. Secara detail pulau Jawa memiliki populasi kurang lebih sebesar 146 juta jiwa.

Pulau Jawa merupakan pulau Strategis, dianggap demikian karena pulau Jawa merupakan titik sentral Nusantara. Meskipun secara geografis kepulauan Jawa tidak seluas pulau-pulau yang lain seperti pulau Kalimantan dan Sumatra, namun tetap saja pulau Jawa dianggap sebagai titik sentral Nusantara. Selain menjadi titik sentral, pulau Jawa juga dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan atau bahkan pusat peradaban. Bahkan menurut pendangan Niels Mulder, Jawa merupakan pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung halaman kelompok etnis paling besar dan paling mutakhir bagi penduduk Indonesia yang sangat beragam.

Pada mulanya pulau Jawa menyatu dengan pulau-pulau yang lainnya. Namun sekitar abad ke-5 M, terjadi gempa bumi yang memisahkan Tembini, sehingga pulau tersebut menjadi pulau tersendiri. Pada 1208 M, hal serupa terjadi dengan pulau Sumatra yang terpisah dari pulau Jawa dikarenakan sebuah gempa besar sehingga memisahkan kedua pulau. Setelah itu, Madura menurut sejarah yang ada dahulu bernama Hantara mengalami kejadian serupa pada tahun 1254 M dan pulau Bali pada tahun 1293 M. Dapat disimpulkan bahwasanya dahulu pulau Jawa, Tembini, Sumatra, Bali, dan Madura merupakan satu pulau. Namun seiring berjalannya waktu, seperti yang kita ketahui saat ini pulau Jawa hanya membentang seluas Jawa Barat hingga Jawa Timur saja.

Pulau Jawa sendiri memiliki kekayaan alam yang nyata, seperti halnya memiliki pertanian yang cukup bagus, tanahnya terkenal sangat subur begitupun diiringi petaninya yang sangat ulet. Sebuah karya Syekh Ali Thantawi yang berjudul “Indonesia” menyanjung Jawa dengan sebutan surga dunia. Pulau ini juga menjadi pulau yang memiliki populasi penduduk terpadat, maka tidak heran jika diadakannya program transmigrasi ke luar pulau Jawa. Siapapun yang melihat akan terpesona dengan berbagai kekayaan yang ada di pulau Jawa. Jawa juga memiliki kekayaan alam yang hijau, kaya dengan hayati dan juga penduduk yang terkenal sangat ramah. Bahkan Syekh Ali Thantawi menegaskan bahwa surga dunia bukanlah Syam, Swiss, atau Libanon akan tetapi Pulau Jawa. Secara umum orang-orang di Jawa memiliki sifat-sifat luhur, yang bisa dianggap sebagai watak yang dapat digunakan sebagai cikal bakal terbentuknya budaya dan peradaban Jawa, bahkan sifat-sifat tersebut juga menurut mereka selaras dengan nilai-nilai Islam, seperti sifat andhap ashor, wani ngalah, nerimo ing pandum.

Selain hal-hal tersebut etika orang Jawa berporos pada dua kata kunci, yaitu kerukunan dan keselarasan. Mereka terkenal sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk. Orang Jawa memiliki bahasa yang berstrata. Bahasa yang ada di pulau Jawa memiliki berbagai tingkatan bahasa, dengan menyesuaikan seseorang yang diajak bicara. Maka orang Jawa menganggap seseorang yang memakai bahasa ngoko itu termasuk perbuatan tidak sopan apalagi terhadap seseorang yang lebih tua atau orang yang lebih dihormati.

Selain itu ciri khas yang lain dari orang Jawa yaitu, sifat gotong royong atau saling membantu orang-orang yang ada disekitarnya. Hal ini banyak sekali ditemukan di pelosok-pelosok daerah Jawa, di mana sikap ini selalu terlihat di setiap sendi kehidupan. Pada mulanya tradisi gotong-royong dalam masyarakat Jawa adalah sebuah sistem bantuan dari kalangan luar keluarga dalam hal bercocok tanam. Namun seiring berjalannya waktu, gotong-royong ini merebak keberbagai aspek kehidupan dan menjadi suatu hal yang lumrah bagi masyarakat yang ada.

Budaya Jawa sendiri beraneka ragam, salah satu contoh tradisi, adat istiadat serta budaya yang ada di Jawa adalah sebuah do’a yang senantiasa menyertai sebuah upacara. Doa itu sendiri sering kali dirapalkan dalam bahasa khusus dan kuno, sehingga doa tersebut menyerupai sebuah mantra atau pesona. J. W. M. Bakker menguraikan bahwa tradisi dan adat istiadat Jawa sakral berasal dari agama asli Jawa. Maksud dari agama asli Jawa adalah kerohanian yang khas dari satuan bangsa atau suku bangsa Jawa, yang berasal dan dikembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak meniru dan menjiplak dari bangsa lain.

Pada zaman purbakala sudah terdapat kesatuan kebudayaan pada suatu wilayah yang sangat luas. Luasnya wilayah budaya tersebut, dimungkinkan karena adanya laut sebagai penghubung antara suatu daerah  dengan daerah yang lainnya. Dalam perkembangannya, bangsa Jawa bercampur menjadi banyak suku yang semula tersebar di negara-negara laut Tengah.

Menurut Neils Mulder, orang Jawa memiliki ciri khas. Ada yang menarik dari ciri khas tersebut salah satunya yaitu bahwa orang Jawa sangat sadar tentang apa arti kebudayaan bagi kehidupan sosialnya. Dalam hal ini yang sangat unik, bahwa budaya yang ada di tengah-tengah mereka tidak bisa menjauhkan mereka dari agamanya terutama agama Islam.

Agama Islam sangat erat kaitannya dengan peradaban di pulau Jawa. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada zaman dahulu daerah Jawa merupakan kepulauan dengan sistem pemerintahan yang berupa kerajaan Hindu-Budha. Secara umum kehidupan politik dan ekonomi kerajaan Hindu pada masa kedatangan orang-orang muslim telah mengalami kemunduran. Maka tidak mengherankan jika Islam lebih mudah masuk ke bumi Nusantara, terlebih dengan hadirnya Walisongo dalam menyiarkan agama Islam dengan ramah, sehingga mudah diterima oleh masyarakat luas. Peradaban masyarakat Jawa pun mulai berubah dengan hadirnya agama Islam di tengah masyarakat luas.

Orang Jawa sendiri dalam hal keagamaan mengelompokan mereka menjadi dua kelompok yaitu kelompok kejawen dan kelompok santri, yang dimaksud dengan kelompok kejawen adalah orang Jawa yang kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan tradisi-tradisi Jawa dan agama lama sebelum Islam. Sedangkan kelompok santri adalah kelompok yang memahami diri sebagai orang Islam dan berusaha hidup sesuai ajaran Islam.

Meskipun demikian, dengan berbagai ragam perbedaan adat, perbedaan kepercayaan, perbedaan paham yang ada, mereka senantiasa hidup berdampingan dan rukun. Dengan kekeluargaan yang kental, mereka saling menerima pendapat orang lain dan menjaga kerukunan satu sama lain, maka dari itu masyarakat yang ada dapat hidup dengan rukun dan damai. Menjunjung tinggi atau lebih menghargai persahabatan yang ada, sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Oleh sebab itu, ada pepatah Jawa “ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono,” yang artinya bahwa harga diri sesorang dari lidahnya (omongannya) dan harga badan dari pakaiannya.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa di bumi Nusantara ini, khususnya pulau Jawa memiliki kekayaan yang sangat melimpah. Keindahan dan  kedamaian terdapat di dalamnya. Pulau dengan ragam budaya yang menarik, kaya bahasa yang berstrata, dan keelokan alam yang ada menjadi pelengkap keindahan. Selain itu, kesopanan orang Jawa kepada satu sama lain dan sikap saling membantu juga tidak lepas dari keseharian mereka, sehingga hal tersebut tentunya menambah kedamaian pada penduduk yang ada di pulau Jawa.

 

REFERENSI

 Agus Sunyoto. Atlas Wali Songo, Depok: Pustaka IIMaN, 2016.

Zainal Abidin bin Syamsuddin, Fakta Baru Wali Songo, Jakarta Timur : Pustaka Imam Bonjol, 2018.

 

Oleh : Aulal Musyafiul Aliya Dewi, Semester III

Leave a Reply