Muhammad bin Sirin; Sosok Tabi’in Wira’i dan Pakar Tafsir Mimpi

Muhammad bin Sirin; Sosok Tabi’in Wira’i dan Pakar Tafsir Mimpi

Muhammad bin Sirin al-Anshari Abu Bakar bin Umrah al-Bashri atau biasa dikenal dengan Ibnu Sirin, termasuk salah seorang tujuh tabi’in yang terpercaya sekaligus seorang yang ahli dalam menafsirkan mimpi sebagai suatu anugerah yang diberikan Allah SWT kepadanya. Ibnu Sirin dilahirkan dua tahun sebelum pemerintahan khalifah Umar bin Khattab berakhir. Ayahnya adalah seorang tawanan yang berasal dari ‘Ain at-Tamr yaitu tawanan Khalid bin Walid, yang kemudian menjadi hamba sahaya Anas bin Malik. 

Dalam kesehariannya, Ibnu Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas; menuntut ilmu, beribadah dan berdagang. Sebelum subuh sampai waktu duha, dia berada di masjid al-Bashra. Di sana dia belajar dan mengajarkan tentang berbagai pengetahuan Islam. Setelah duha hingga sore hari, dia berdagang di pasar. Ketika berdagang dia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan dzikrullah, amar ma’ruf dan nahi mungkar. Malam hari, dia dikhususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT, tangisannya terdengar ketika berdoa, terdengar sampai ke dinding-dinding rumah tetangga.

Semenjak kecil, Ibnu Sirin telah banyak belajar tentang Islam yang diselenggarakan di masjid Rasulullah Saw, sehingga dia banyak mendengar periwayatan dan belajar dari para sahabat yang mulia ridhwanullahi ‘alaihim, diantaranya: Zaid bin Haritsah al-Anshari, Anas bin Malik, ‘Umran bin al-Husain, Abu Hurairah, Abdullah bin az-Zubair, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar. Dia mempelajari kitab Allah SWT dan sunnah rasul-Nya dari mereka semua.

Berapa tahun kemudian, Ibnu Sirin tumbuh menjadi seorang pemuda yang dipenuhi dengan semangat yang menggelora terhadap ilmu dan belajar. Lalu dia pindah ke Basrah bersama keluarganya. Pada saat itu Basrah merupakan kota Islam yang baru saja dibuka serta menjadi pusat ilmu dan militer bagi kaum muslim. Dia menyambut seluruh utusan yang datang berbondong-bondong kepada agama Islam dari berbagai negara yang telah ditaklukkan, seperti Persia dan Irak.  

Ibnu Sirin pun memulai kembali perjalanan ilmiahnya di Basrah, di mana masjidnya penuh dengan para ulama dan para syekh dari kalangan tokoh-tokoh Islam yang terkemuka. Maka dia pun menimba ilmu dari mereka sehingga menjadi seorang ahli ilmu yang memiliki kedudukan penting. Dari masjid, ilmu, ibadah, kekhusyukan dan ketekunannya terhadap kitab Allah SWT yang mulia ini, sampai kepada usaha dengan segala aspeknya untuk menjemput rezekinya.  

Ibnu Sirin senantiasa mengamalkan firman Allah SWT : 

وَقَضَى  رَبُّكَ أَلاَّ  تَعبُدُوا إلاَّ إِيّاهُ وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا  اَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَ قُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمَا   

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra:23) 

Hafshah binti Sirin mengatakan tentang hubungan antara Muhammad bin Sirin dengan ibunya, Shafiyyah, “Ibunya Muhammad adalah orang Hijaz dan dia sangat suka dengan cat warna. Sedangkan Muhammad, apabila membeli baju untuk ibunya maka dia membeli yang paling lembut kainnya. Jika hari raya tiba, dia mencelup beberapa baju (memberi warna) untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat dia meninggikan suara di hadapan ibunya, dan apabila dia berbicara kepada ibunya seakan-akan dia yang sedang mendengarkannya.” Tentang hubungannya dengan ibunya, salah seorang yang hidup sezaman dengannya berkata, “Sungguh, jika Muhammad sedang berada di sisi ibunya, kalau ada orang yang tidak mengenalnya melihat dia saat itu, pasti orang itu menyangka bahwa dia sedang sakit karena begitu lemah suaranya di sisi ibunya.”

Ibnu Sirin bekerja dalam bidang perniagaan untuk mencari nafkah serta mencukupi kehidupan bagi dirinya dan juga keluarganya. Jadi, dia adalah seorang hamba yang taat beribadah serta rajin melaksanakan puasa dan mendirikan salat, juga seorang pedagang yang jujur. Kejujurannya dipersaksikan oleh orang-orang yang hidup sezaman dengannya, sifat wara’ nya juga ketakutan terhadap Allah SWT.

Dalam menggeluti dunia perdagangan, dia sangat berhati-hati. Dia khawatir terjebak pada masalah haram. Apa yang dilakukannya sering membuat orang heran. Suatu ketika, ada seseorang yang menagih utang padanya sebanyak dua dirham. Sedangkan dia sendiri tidak merasa berutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan permintaannya, karena dia mempunyai bukti, selembar kertas perjanjian utang yang tertera di atasnya tanda tangan Ibnu Sirin. Dia pun meminta Ibnu Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika hendak bersumpah banyak orang yang merasa heran mengapa dia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Ibnu Sirin bertanya, “Kenapa engkau mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham. Padahal kemarin engkau baru saja telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan pada orang lain!”. ” Ya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika tadi saya tidak bersumpah berarti ia akan memakan barang yang haram” jawab Ibnu Sirin.

Kehidupan Ibnu Sirin memang tidak luput dari ujian. Suatu ketika, dia membeli minyak sayur dalam jumlah besar untuk kepentingan usaha perdagangannya. Dia membelinya dengan sistem kredit. Ketika salah satu kaleng minyak dibuka, di dalamnya terdapat bangkai tikus yang membusuk. Sejenak dia berpikir, apakah dia harus mengembalikannya atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang mengatakan, “Jika terdapat aib pada barang, maka pembeli berhak mengembalikannya.” Dia khawatir, jika dia mengembalikannya, tentu si pedagang minyak sayur itu akan menjualnya pada orang lain. Sedang tempat pembuatan minyak hanya ada satu. Tentu seluruh minyak telah tercemar oleh bangkai tikus itu. Jika dijual pada orang lain, maka akan tersebarlah bangkai dan najis itu ke setiap orang. Atas pertimbangan tersebut, maka dibuanglah seluruh minyak itu olehnya. Ketika datang penjual minyak itu untuk menagih, dia tidak sedang memiliki uang. Dia segera diadukan kepada qadhi (hakim pengadilan). Dia pun dipanggil untuk diadili. Karena masalah itu, dia pun dipenjara.

Dalam penjara, petugas merasa sangat kasihan padanya. Menurut petugas, dia adalah orang saleh yang baik. Suara tangis yang mengiringi setiap salat dan munajatnya selalu terdengar petugas. Setelah memandang iba kepadanya, penjaga penjara itu berkata padanya, “Syekh, bagaimana kalau saya menolong engkau. Pada waktu malam engkau boleh pulang ke rumah. Kemudian keesokannya engkau kembali lagi kesini. Apakah engkau setuju?”. Dia menjawab, “Kalau engkau melakukan demikian, maka engkau telah berkhianat. Saya tidak setuju.” Akhirnya dia menghabiskan hari-harinya dengan beribadah dalam penjara. Sampai suatu ketika terdengar bahwa sahabat Anas bin Malik sakit keras. Sebelum wafat, Anas bin Malik sempat berwasiat agar yang memandikan dan menguburkannya adalah Muhammad bin Sirin. Salah seorang kerabat Anas bin Malik memohon kepada petugas penjara agar Ibnu Sirin diizinkan menunaikan wasiat gurunya itu. Sang petugas mengizinkannya. Tapi Ibnu Sirin berkata, “Saya dipenjara bukan karena penguasa tetapi karena pemilik barang. Saya tidak akan keluar sebelum pemilik barang mengizinkannya.” Setelah pemilik barang mengizinkannya, berangkatlah dia ke tempat Anas bin Malik dibaringkan. Kemudian dia mengurus jenazah tersebut hingga selesai. Setelah itu dia kembali ke penjara tanpa mampir ke rumahnya sejenak pun.

Salah satu keistimewaan yang dimiliki Ibnu Sirin adalah tafsir mimpi dan pendapat tentangnya. Pada suatu hari seorang laki-laki datang kepadanya seraya berkata, “Aku bermimpi seolah-olah melihat seekor merpati menelan sebutir mutiara, lalu mutiara itu keluar lagi dengan ukuran yang lebih besar daripada sebelumnya. Aku juga melihat seekor merpati lain menelan sebutir mutiara, lalu mutiara itu keluar lagi dengan ukuran yang lebih kecil daripada ketika ia masuk. Aku juga melihat seekor merpati lain menelan sebutir mutiara, lalu mutiara itu keluar lagi dengan ukuran yang sama.” Ibnu Sirin pun berkata, “Yang pertama itu adalah al-Hasan al-Bashri, dia mendengar hadits lalu memperbagus bacaannya dengan lisannya dan menghubungkannya dengan kata-kata nasihat darinya. Adapun mutiara yang jadi kecil adalah aku, aku mendengar hadits lalu menguranginya. Sedangkan mutiara yang keluar seperti ia masuk adalah Qatadah, dia adalah orang yang paling hafidz.”

Di antara nasihat-nasihatnya yang terkenal adalah, “Berpegang teguh pada sunnah adalah keselamatan. Manusia tak akan meridhoi perkataan ahli ilmu yang tidak beramal dan tidak meridhoi amalan tanpa ilmu.”

Ibnu Sirin meninggal dunia seratus hari setelah meninggalnya al-Hasan al-Bashri, di usianya yang ke 77 tahun setelah masa hidupnya yang penuh dengan ketakwaan. Kabar duka cita meliputi seluruh penduduk Basrah, mereka kehilangan seseorang ulama besar yang mempunyai kharisma yang tinggi.  

Referensi:  

Hepi Andi Bustoni, 101 Kisah Tabi’in, Jakarta: Pustaka Alkausar, 2006. 

Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Alkausar, 2019.

Abdurrahman Ra’fat al-Basya, Suwar Min Hayah at-Taabi’iin, Terj. Abu Abdillah al-Watesi, Solo: at-Tibyan, 2009.

Abdul Mun’im al-Hasyimi, ‘Ashrut Tabi’in, Terj. Ihsanuddin dan Arif Mahmudi, Jakarta: Ummul Quro, 2015.

Khalid Sayyid Rusyah, Ladzzat al-‘Ibadah, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

Kontributor: Dian Roihatul Jannah, Semester VI

Leave a Reply