Tiga Sultan Besar Pengukir Sejarah Abbasiyah

Tiga Sultan Besar Pengukir Sejarah Abbasiyah

Dinasti bani Abbasiyah terdiri dari 37 sultan, namun setidaknya ada tiga sultan besar yang memainkan peranan yang sangat strategis dan signifikan dalam membangun dan mengembangkan Daulah Abbasiyah. Pada masa pemerintahan ketiganya merupakan masa-masa keemasan peradaban Islam. Tiga sultan besar ini adalah Sultan al-Manshur, Sultan Harun ar-Rasyid, dan Sultan al-Makmun. Para sultan tersebut dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dalam menjalankan tugas serta memilliki perhatian lebih terhadap Ilmu pengetahuan. Untuk lebih mengetahuinya, dapat dilihat dari uraian berikut.

Sultan al-Manshur (754-775 M)

Al-Manshur sering disebut Abu Ja’far. Nama aslinya Abdullah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdillah ibn Abbas, lahir pada tahun 95 H. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, mantan budak yang dikawini oleh ayahnya.

Al-Manshur dibaiat sebagai sultan kedua setelah penobatan putra mahkota oleh saudaranya, as-Saffah. Tindakan pertamanya setelah menjadi sultan adalah membunuh Abu Muslim al-Khurasani, padahal ia banyak berjasa dalam mengajak orang-orang untuk membaiat Bani Abbas sebagai sultan sekaligus melicinkan jalan dalam menduduki kursi kesultanan. Dalam usaha menegakkan kekuasaan, al-Manshur melakukan pembunuhan besar-besaran. Ia yang mencambuk dan memenjarakan Abu Hanifah sampai wafat dipenjara.

Sultan al-Manshur memulai proyek pembangunan secara besar-besaran. Ia membangun saluran irigasi sehingga lembah Irak menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang subur dan makmur. Program yang sama juga dilakukan di lembah Nil, lembah Sind, dan lembah yang terletak antara Amu-Darya dan sir-Dariya di Asia Tengah. Ia juga membangun banyak sarana prasana jalan sehingga lalu lintas dagang menjadi mudah dan lancar. Membangun tempat ibadah dan keagamaan seperti masjid dan merenovasi masjid-masjid yang telah ada. Membangun banyak rumah sakit serta membangun panti yatim piatu dan panti jompo karena kepedulianya terhadap sosial kemasyarakatan. Sebagai sultan yang mempunyai visi kewarganegaraan, al-Mansur juga membangun gedung kantor pemerintahan agar tata kelola administrasi dan pelayanan pemerintah maju.

Proyek besar lain yang dikerjakan al-Manshur adalah pembangunan kota Baghdad sebagai ibukota Daulah Abbasiyah, dibangun pada tahun 141 H-147 H. Kota Baghdad bukan hanya menjadi pusat pemerintahan yang strategi, sekaligus menjadi pusat kebudayaan dan peradaban.

Sultan Harun ar-Rasyid (786-809 M)

Ia bernama ar-Rasyid Abu Ja’far ibn al-Mahdi ibn al-Manshur Abdullah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Ar-Rasyid dilahirkan pada tahun 148 H di Ray, saat ayahnya menjadi gubernur wilayah Ray dan Khurasan. Ibunya adalah mantan seorang budak bernama Khaizuran, yang juga ibunda al-Hadi.

Masa pemerintahan Sultan ar-Rasyid berlangsung selama 25 tahun, dengan periode yang panjang ini menjadikan banyak peluang untuk berkiprah dan berdedikasi untuk kepentingan agama, negara, dan rakyat.

Ar-Rasyid adalah sosok sultan yang dinilai baik dan mulia yang menyebabkan disegani dan dihormati, mencintai ilmu dan menyukai orang-orang dengan yang berilmu. Ia berusaha mengagungkan perintah dan larangan Allah, serta sangat membenci perdebatan dalam masalah agama dan juga tidak suka mempersoalkan sesuatu yang sudah jelas nashnya dalam agama.

Era pemerintahan Harun ar-Rasyid adalah era kejayaan, kemakmuran dan kesejahteraan pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sosoknya yang penyantun dan ramah menjadi dikagumi banyak orang, termasuk narapidana. Harun ar-Rasyid menjadikan Baitul Mal, menanggung narapidana dengan memberikan makanan dan pakaian. Hal terpenting untuk mencapai kejayaanya peradaban adalah semangatnya mengembangkan kebudayaan. Pemikiranya yang cemerlang terhadap pembangunan ilmu pengetahuan menjadikan Harun ar-Rasyid sebagai khalifah termasyhur.

Baghdad menjadi ibukota pemerintahan sekaligus kota terpenting di Irak. Hingga masa kekuasaan al-Mu’tashim, ibukota Abbasiyah masih di Baghdad. Bahkan Baghdad sebagai kota bernuansa intelektual yaitu sebuah kota umat Islam yang memiliki khazanah tradisi tertulis yang besar serta menjadi pusat penelitian dan pengembangan filsafat, sains, dan agama dalam bentuk berbagai disiplin keilmuan yang luas.

Sultan al-Ma’mun (786-833 M)

Al-Makmun Abdullah Abdul Abbas ibn ar-Rasyid dilahirkan pada tahun 170 H. Ayahnya bernama ar-Rasyid, dan ibunya Murajil, seorang budak yang dinikahi oleh ayahnya.

Al-Ma’mun sejak kecil sudah banyak belajar ilmu. Ilmu pengetahuannya sangat luas dalam masalah fikih, ilmu bahasa arab, dan sejarah. Setelah dewasa, al-Ma’mun lebih banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu lain yang berkembang di Yunani, sehingga menjadikannya pakar di bidang ilmu ini. Ilmu filsafat al-Ma’mun berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk.

Al-Ma’mun adalah tokoh Dinasti Abbasiyah yang sangat istimewa karena kemauan kuat, kesabaran, wawasan luas, keberanian, kecerdikan, dan sikap toleransinya.

Al-Ma’mun menjadi sultan selama 20 tahun, dengan waktu yang panjang ini al-Makmun berhasil mengukir prestasi besar di bidang ilmiah, kesusastraan, kebudayaan, dan peradaban yang ia persembahkan untuk kemajuan rakyat dan negaranya.

Pemerintahan al-Ma’mun merupakan era yang gemilang dan telah melakukan perbaikan-perbaikan sebagai berikut:

  1. Menghentikan berbagai gerakan pemberontakan demi menciptakan stabilitas dalam negeri.
  2. Penertiban administrasi negara untuk penataan kembali sistem pemerintah.
    Pembentukan badan negara.
  3. Mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat pusat pendidikan, kebudayaan dan perpustakaan serta kegiatan ilmiah lainya. Kebijakan penting adalah mengumpulkan berbagai jenis buku dari berbagai disiplin keilmuan karya bangsa asing di Baitul Hikmah.

Pada masa pemerintahan tiga sultan besar inilah, sastra, sains, kebudayaan dan peradaban muslim berkembang sangat pesat dan maju. Tanpa menafikan prestasi dan konstribusi sultan-sultan yang lain, tidak dapat diragukan lagi bahwa Sultan al-Manshur, Sultan Harun ar-Rasyid, dan Sultan al-Ma’mun merupakan tiga sultan besar Dinasti Abbasiyah yang paling berkiprah dan berjasa dalam membangun pilar-pilar kebudayaan dan mengantarkan peradaban muslim ke puncak The Golden Age of Islam (Masa Keemasan Islam) di belahan dunia.

 

Oleh : Ainul Mahmudah, Semester VI

This Post Has 2 Comments

  1. Sutan Yunus

    Afwan akhi, nampaknya boleh lah kata ‘Kesultanan’ diubah menjadi ‘Sultan’.

Leave a Reply to Sutan Yunus Cancel reply