Pejuang Agama dari Kudus, KH. Raden Asnawi Kudus 1681-1959

Pejuang Agama dari Kudus, KH. Raden Asnawi Kudus 1681-1959

Ma’had Aly – Pada abad 20-an ada seorang yang sangat terkenal dan berpengaruh serta banyak memberikan manfaat untuk masyarakat disekitarnya, ialah R. Ahmad Syamsi yang lahir dari pasangan suami istri laki-laki dan perempuan yang bernama H. R. Abd Allah Husnin dan R. Sarbinah di kampung Damaran, Kota Kudus pada 1281 H atau 1681 M. R. Ahmad Syamsi mengubah namanya menjadi R. Asnawi pada saat ia berada di Mekah untuk belajar dan melaksanakan Hajinya yang ketiga. Tidak heran jika R. Asnawi menjadi orang hebat, karena ditempat ia menimba ilmu banyak sekali guru-guru besar yang ia belajar kepadanya walaupun ayahnya hanyalah seorang pedagang konpeksi.

Sejak kecil Ahmad Syamsi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut syariat Islam, serta diajarkan berdagang sejak dini. Pada kisaran  tahun 1876 ketika Ahmad Syamsi menginjak usia 15 tahun, orang tuanya berpindah ke Tulung Agung, Jawa Timur. Di sana, Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang dari pagi hingga siang hari.

Sejak masih kanak-kanak, Ahmad Syamsi dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, tekun dalam belajar dan mencintai ilmu pengetahuan lebih-lebih terhadap ilmu agama. Ia lebih suka tidur di langgar, dan pondok bersama teman-teman sebayanya dari pada tidur di rumah bersama ke dua orang tuanya.

Ia memulai belajar pada orang tuanya sendiri, terutama dalam belajar tajwid dan cara membaca al-Quran. Ketika menginjak umur 15 tahun Ahmad Syamsi pergi ke Tulungagung mengikuti ajakan ayahnya untuk berdagang. Ayahnya sangat berharap Ahmad Syamsi mewarisi ilmu dagang dari ayahnya dan meneruskan usaha dagangnya tersebut. Namun Ahmad Syamsi lebih memilih tertarik untuk belajar di pesantren dan mendalami ilmu agama ketimbang ilmu dagang.

Di sela-sela  membantu ayahnya berdagang Ia menyempatkan diri untuk mengaji kitab kuning di Pondok Pesantren Mangunsari. Seringkali Ia tidak pulang ke rumah, tapi tidur di pesantren bersama para santri lainya. Melihat kecendrungan anaknya ini, sang ayah menyuruhnya untuk tetap tinggal di pesantren secara total. Kurang lebih tiga tahun lamanya ia belajar di pesantren Mangunsari.

Sebagai pribadi yang cerdas dan cinta terhadap ilmu, Ahmad Syamsi merasa belum puas dengan apa yang telah ia dapat selama nyantri di Mangunsari. Ia melanjutkan ngajinya di Mayong, Jepara kepada KH. Irsyad Na’ib, seorang ulama asal Jepara yang masyhur pada akhir abad-19.

Pada usia 25 tahun, 1887, ia berangkat Haji ke Mekkah dan sempat belajar pada KH. Shaleh Darat Semarang, Kiai Mahfud Termas dan Sayid Umar Shatha’. Selain itu, pertemuanya dengan banyak ulama yang mengajar di Mekkah baik di Masjid al Haram maupun di pemondokan menjadikan titik revolusi intelektualnya berkembang. Dari sanalah ia memulai perjuanganya. Setelah pulang dari Mekkah Ahmad Syamsi sibuk mengajar dan bertabligh di mayarakat. Dan pada tahun 1902 M. Ia kembali lagi ke Mekkah untuk ibadah haji dan berniat tinggal lebih lama untuk belajar.

Ketika masih berada di Mekkah KH. Asnawi mengajar di masjid al Haram dan di rumahnya. Banyak dari ulama’ besar Indonesia yang berguru kepada beliau antara lain; KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisry Sansuri, KH. Hanbali, KH. Mufid, dan KH. Mukhit. Selain itu, KH. Asnawi juga diangkat menjadi Komisaris Mekkah dan menunjukan dedikasi yang sangat bagus selama menjabat.

Sepulangnya ke kampung halaman dari Hajinya yang ketiga, KH. Asnawi membangun sebuah madrasah Qudsiyah sebagai pusat penyebaran ilmu agama dan sarana untuk mencerdaskan bangsa, letaknya di sebelah barat Masjid menara Kudus. Ia bersama tokoh lainya juga memprakarsai pembangunan Masjid Menara Kudus yang dikerjakan secara gotong royong bersama masyarakat dan para santrinya. Yang pada saat itu juga terjadi huru-hara Kudus yang menewaskan orang dari golongan Cina Mupun Jawa. Banyak dari para ulama dan santri yang ditangkap oleh pemerintah kolonial, KH. Asnawi sendiri mendapat hukuman penjara selama 3 tahun.

Pada tanggal 31 januari 1926 KH. Asnawi bersama KH. Hasyim Asy’ari serta kiai-kiai besar lainya ikut menghadiri acara didirikanya jamiyyah Nahdhotul ulama yang bertempat di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Selang setahun kemudian KH. Asnawi mendirikan pesantren Raudhatut Thalibin di daerah Bendan. Pesantren ini berkembang sangat pesat, dalam waktu singkat banyak santri yang berdatangan dari Kudus dan sekitar Kudus. Selain itu, ia juga membuat majelis-majelis, antara  lain: majelis khataman al Quran, sanganan, pitulasan dll.

KH. Asnawi tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaanya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Ia sering terkena denda karena isi ceramahnya yang berbau politik, ia juga berfatwa bahwa memakai celana dan dasi adalah haram karena menyerupai orang-orang Belanda yang kafir. Ia juga mengatakan dalam isi ceramahnya orang yang tidak shalat lebih buruk dari seekor tikus, mengetahui hal ini, orang-orang belanda tidak terima kemudian melaporkan KH. Asnawi dan ia pun di denda. Ia juga pernah dipenjara karena dituduh menyimpan senjata api oleh tentara Jepang.

Pada tahun 1928 KH. Asnawi dipilih sebagai duta Komite Hijaz yang akan diutus untuk menyampaikan kepada Raja ibn Saud agar tetap memberikan kebebasan bermadzhab dan menjalankan tradisi, seperti ziarah ke makam-makam bersejarah di Mekah dan madinah. Namun beliau tidak jadi berangkat karena ketinggalan kapal.

Dia mempunyai beberapa karya yang terkenal antara lain; kitab Fashalatan. Dalam kitab ini membahas tentang tata cara shalat yang praktis dan lengkap, ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa. Sampai saat ini kitab ini masih banyak dicetak dan sudah ada yang versi bahasa Indonesianya. Kitab “Mu’takad Seket”, kitab ini membahas tentang soal tanya jawab mengenai ‘aqa’id yang 50. Kitab “Tauhid Jawan”, secara pembahasan kitab ini hampir sama dengan kitab “Mu’takad Seket” yakni sama-sama membahas Tauhid, bedanya KH. Asnawi tidak memakai tanya jawab akan tetapi pemaparan.

Sya’ir nasihah Adalah syair yang ditulis oleh KH. Asnawi yang cukup panjang sebagai nasihat untuk anak, cucu dan masyarakat beliau. Sebagian isi dalam syair itu antara lain:

Iki tembang kang teko mburi

Maring anakku kanggo nuturi

Ojo mengucap sun anak ratu

Lan phodo mulyo anak lan putu

Sebab mulyane menungso iku

Benturing topo bagusing laku

Akeh ilmune, akeh taate

Langgeng samporno tan ono pote

Raden Asnawi wafat pada 25 Jumadil Akhir 1378 Hijriyah, bertepatan pada 26 Desember 1959 Masehi. Raden Asnawi meninggal dunia pada usia 98 tahun dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putra, 23 cucu dan 18 cicit. Almarhum KH. R Asnawi dimakamkan di komplek makam Sunan Kudus.

 

Referensi

Ahmad Mujib, dkk,  Intelektualisme Pesantren, vol. 2, Diva Pres: Jakarta, 2006.

Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946) Perjuangan dan Pemikiran, Erlangga: Jakarta, 2006.

Kholilurrohman, Mengenal Tasawuf Rasulullah, Abou Fateh: 2018.

Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyyah, LKIS: Yogyakarta,2017.

Raden Asnawi” https://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Asnawi

 

Oleh: Zidan Avva Billah, Semester IV

Leave a Reply