Kontribusi Ulama Nusantara dalam Bidang Fikih

Kontribusi Ulama Nusantara dalam Bidang Fikih

Ma’had Aly – Nusantara dikenal juga dengan sebutan “Negeri Bawah Angin”, sebutan itu tentunya memiliki ciri khas tersendiri bagi Nusantara, karena adanya perpaduan ide dengan Negeri Atas Angin (Arab – Persia – India bahkan Eropa). Selain itu, pribumi atau para cendekiawannya yang aktif dan kreatif ketika melakukan pelayaran pada musim kemarau, lebih tepatnya pada saat arah angin bertiup dari Timur ke Barat yang terjadi sekitar bulan Juni hingga Agustus, berkebalikan dengan orang-orang Negeri Atas Angin yang melakukan pelayaran ke Nusantara pada musim hujan, yaitu sekitar bulan Oktober hingga April. Baik pribumi maupun orang asing, ketika melakukan pelayaran sama-sama membawa barang-barang dagang, dan ide-ide cemerlang.

Namun ada yang harus kita garis bawahi, ketika terjadi arus balik, orang-orang asing berada di Nusantara, para cendekiawan tidak asal menerima arus itu tetapi memilahnya dan memadukannya dengan kekayaan yang dimiliki Nusantara. Hal itu memberikan warna, corak dan substansi sendiri dalam praktiknya, sehingga terciptalah istilah “Islam Nusantara” (Islam di Nusantara). Hanya saja istilah itu seringkali dipandang dan diartikan sebagai agama baru yang muncul secara tiba-tiba. Padahal itu sudah ada sejak abad 14 M atau pada masa islamisasi Nusantara oleh Walisongo.

Islam Nusantara merupakan perwujudan Islam yang dipadukan dengan kultur dan budaya Nusantara, juga disesuaikan dengan keadaan dan perubahan situasi negara yang berbasis maritim. Dengan mengamalkan kaidah fikih, yang artinya: 

“Perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi dan tradisi”. 

Untuk kemudian, para cendekiawan atau lebih seringnya dipanggil ulama, mengeluarkan pemikiran-pemikirannya (berijtihad) menyesuaikan dengan keadaan di Nusantara. Namun, ijtihad yang dilakukan para ulama tersebut memiliki keunggulan berupa tradisi bermadzhab, yaitu madzhab yang kita anut hingga saat ini “Ahlusunah Wal Jamaah”.  Tentu saja kita tahu bahwa itu terdiri dari dua penggalan kata yaitu “Ahlussunah”, dalam artian mengikuti sunnah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., dan “wal Jamaah”. inilah yang harus dikembangkan, karena dalam istilah terkandung segala yang telah menjadi rumusan para ulama untuk mencapai maqashid syari’ah, yang tiga ciri utamanya, yaitu: tawasuth, tawazun dan tasamuh. Selain itu, toleran, fleksibel, guyub, kolektif (musyawarah atau mufakat), tauladan, sopan, dan beradab. Pada dasarnya ulama Nusantara dalam melakukan islamisasi dengan cara moderat, tidak radikal atau menyebabkan pertumpahan darah. Hal itu dilakukan agar bisa merangkul berbagai latar belakang umat, menyerap peradaban, dan dapat diterima di manapun Islam datang.

Saking unggulnya, seorang ulama dari Pattani (Thailand), menyusun sebuah doa yang ditulis dalam salah satu karyanya, kitab “Haqiqatul Azhar war Rayahin”, yang pada intinya memiliki empat poin utama, yaitu:

Pertama: memohon agar Nusantara menjadi “bendaharanya ilmu dan pusat pembimbingan serta penampungan kepandaian atau intelektualitas”.

Kedua: memohon agar Nusantara menjadi “sentral kebijakan dan andalan atau unggulan peradaban umat manusia”.

Ketiga: beliau mengatakan bahwa “kelebihan ulama Nusantara di atas segala ulama”. 

Keempat: “bertambah nyata agama Nusantara diatas segala agama”, maksudnya nyatanya agama Islam di atas selain agama Islam.

Jika ditelusuri, banyak contoh dari hasil ijtihad para ulama dalam berbagai bidang, salah satunya adalah dalam ilmu fikih. Abad 15 M, Syeikh Maulana Ishaq dan Raden Paku atau Sunan Giri (w. 1511 M). Mereka sendiri memiliki ikatan sebagai seorang ayah dan anak. Lantas, fikih dalam hal apa yang berhasil dirumuskan oleh Sunan Giri? Salah satunya yang terkenal adalah hukum pernikahan yang di dalamnya terdapat “ta’liq thalaq” (menggantungkan talak). Sebelumnya sudah ada pada masa Imam Syafi’i, yang dikenal dengan “ath-thalaq al-muallaq”, yang artinya talak bergantung atau talak bersyarat. Terdapat sedikit perbedaan dengan ta’liq thalaq, di mana ia menggunakan lafadz atau sighat tertentu, karena sighat itu dibuat oleh mempelai laki-laki yang berkomitmen untuk menjaga keutuhan keluarga, dan pengucapannya sendiri dilakukan setelah selesai ijab-qabul. Telah terjadi perubahan juga, di mana pada awalnya ta’liq thalaq diucapkan oleh naib atau penghulu, namun seiring waktu pengucapannya dilakukan oleh mempelai laki-laki.

Salah satu bukti adanya perumusan tersebut adalah tulisan yang berbahasa Jawa Sasak (Lombok) tahun 1545 M. Di dalamnya, terdapat beberapa ikrar di antaranya: ikrar taubat, ikrar syahadat, ikrar akad nikah dan tentunya ikrar ta’liq thalaq. Mengapa ditulis dalam bahasa Jawa Sasak? Ternyata, Lombok adalah salah satu kawasan yang di-Islamkan oleh Sunan Giri. Dan perlu diketahui, bahwa cakupan islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Giri, diantaranya: Banjar (Kalimantan Selatan), Kutai (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (termasuk Lombok), Gowa (Sulawesi Selatan), dan Kepulauan Maluku. 

Pada abad 17 M, untuk pertama kalinya hukum ini diberlakukan, yaitu di Madura. Selain itu juga ada satu kerajaan yang menerapkan hukum ini, yaitu Kerajaan Islam Mataram, di mana saat itu Sultannya adalah Sultan Agung Hanyakrukusuma (1630 M). Di sana lebih dikenal dengan “ta’lik janji dalem” atau “ta’lik janji ning ratu”, namun pada praktiknya sama.

Lantas untuk apa hukum ini dibuat? Ternyata, hukum ini dibuat untuk mencapai maqashid syari’ah yang tetap mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadits dengan melalui beberapa penelitian, dengan begitu maqashid syari’ah atau kemaslahatan akan terwujud, yang berada di bawah naungan pada lima prinsip pokok (al-Kulliyat al-Khams), di antaranya: hifdzun din (melindungi agama), hifdzun nafs (melindungi diri), hifdzul aql (melindungi akal), hifdzul mal (melindungi harta), dan hifdzun nasl (melindungi keturunan). Kaitannya dengan hukum itu dibuat adalah hifdzun nasl, yaitu untuk melindungi keturunan juga wanita (istri), karena pada saat itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut.

Dalam perkembangannya, hukum mengucapkan ta’liq thalaq oleh kalangan NU dalam forum muktamar yang ketiga di Surabaya tahun 1928, mengeluarkan ketetapan bahwa hukum mengucapkan ta’liq thalaq adalah makruh, meskipun demikian tetap menganggap sah, apabila dilanggar dapat jatuh talaknya.

Selanjutnya, melalui Inpres (Intruksi Presiden) No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), teks ta’liq thalaq dikukuhkan dalam setiap akad nikah. Hanya saja, untuk saat ini, pengucapan ta’liq thalaq itu sendiri tidak lagi berlaku atau tidak lagi digunakan, karena sudah banyak  perundang-undangan yang mengatur perlindungan keturunan. 

Selain itu terdapat rumusan fikih tentang zakat, yang jika di Arab zakat dengan menggunakan gandum dan unta. Lain halnya di Nusantara yang menggunakan beras dan sapi; kemudian halal bihalal, istilah itu memang menggunakan bahasa Arab, tapi orang Arab sendiri tidak mengetahui arti dan praktik dari halal bihalal tersebut. Bahkan, jika dicari dalam kamus Arab istilah tersebut tidak ditemukan. Hanya orang-orang Nusantara yang mengetahui maksud dan tujuannya; begitupun dengan imsak, yaitu waktu yang disunnahkan untuk menahan dan berhenti makan dan minum sekitar 10 menit sebelum terbitnya fajar pada bulan Ramadhan. Imsak merupakan bentuk ihtiyathi (kehaati-hatian) agar umat Islam terhindar dari keragu-raguan apakah sudah masuk waktu fajar atau belum, sehingga bisa sesegera mungkin untuk menghentikan aktifitas makan dan minum. itu semua merupakan hasil ijtihad ulama Nusantara. Masih banyak tentunya hasil dari ijtihadnya para ulama Nusantara yang tidak dapat penulis jabarkan seluruhnya. Hasil ijtihad tersebut tak hanya diajarkan di Nusantara, namun juga ke berbagai negara. 

Referensi

Baso, Ahmad. 2015. Islam Nusantara. Tangerang Selatan: Pustaka Afid

___________. 2018. Islamisasi Nusantara. Tangerang Selatan: Pustaka Afid

Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN

Azzam, Ummu. 2012. Walimah Cinta. Jakarta Selatan: QultumMedia

Purwadi, dkk. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah

Tohari, Muhammad Hilman. “Tujuan Maqashid Al-Syari’ah Tentang Ta’lik Talak di Indonesia”. http://repository.unj.ac.id diakses pada tanggal 07 September 2019 pukul 13.22 WIB

Oleh : Rin Rin Hasanah, Semester III

This Post Has One Comment

  1. Asep Mulyadi

    JASMERAH… Jangan sekali-kali melupakan sejarah… Tulisan yang sangat bagus, mengingatkan kembali kepada Kita bagaimana Islam Nusantara hadir di bumi pertiwi ini. Karena perjuangan para ulama dengan kebijakan hukumnya sehingga Islam Nusantara dapat diterima di semua golongan. Islam yang ramah, Islam yang menentramkan. Hadiah Fatihah untuk para wali dan ulama yang telah berjuang menyebarkan Islam sehingga sampai kepada kita seperti sekarang ini. Lahumul Fatihah…

Leave a Reply