Hoax Pertama dalam Islam dan Hukuman Bagi Pelakunya

Hoax Pertama dalam Islam dan Hukuman Bagi Pelakunya

Sesungguhnya orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan atas dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (Q.S. al-Nur [24]:11)

Era digitalisasi yang serba cepat ini, tidak bisa dipungkiri jika banyak orang yang begitu mudah terjerumus dalam berbagai penipuan karena kurang validalitasnya berita yang didapat. Kondisi ini bisa  disebabkan oleh canggihnya teknologi yang dapat menyebar luaskan berita secara cepat. Memang teknologi bukanlah dalang utama dalam hal ini, karena dalang utama dalam hal ini adalah diperankan oleh pengemudi teknologi itu sendiri. Lalu kenapa hal ini bisa terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu banyak sekali jawabannya, mulai dari yang hanya ikut-ikutan menyebarluaskan berita karena dianggap bagus, padahal dia tidak tahu apa inti isi berita tersebut, atau memiliki ujar kebencian kepada salah satu pihak. Dan bisa jadi pula adanya keinginan untuk memper gaduh suasana karena ada sesuatu yang ingin dihasilkan dari kejadian tersebut. Penyebaran berita semacam ini sangat begitu merugikan bahkan meresahkan banyak pihak, ini pernah pula terjadi pada masa-masa awal islam. 

Kondisi masyarakat 

Dr. Said Ramadhan Al-Buthi didalam bukunya Aisyah Ummul Mu’minin. Menjelaskan kondisi kota madinah pada masa itu memiliki sisi keragaman penduduk, Dr Said menerangkan lebih lanjut, kota Madinah adalah heterogen karena di dalamnya hidup beberapa ras dan kelompok keagamaan. Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, kota itu dihuni oleh penduduk pribumi Madinah, kaum Yahudi, kaum Nasrani, bangsa Habsyi, dan kemudian ditambah kaum muhajirin dari Makkah. Ketika sebagian penduduk Madinah memeluk islam, sebagian penduduk lainnya tetap menganut keyakinan leluhur, ada juga yang menganut keyakinan Yahudi dan Nasrani. Namun di antara penduduk Madinah yang menyatakan keislamannya, ada sebagian kalangan yang di hadapan kaum muslimin menampakkan keislamannya, tetapi sesungguhnya mereka tetap dalam kekafiran. Mereka adalah kaum munafik yang tidak menyukai penyebaran islam di Madinah dan berusaha menggembosi islam dari dalam. Mereka menghasratkan ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari peperangan tetapi tidak ingin berhadap-hadapan dan bertarung melawan musuh islam. mereka juga tidak ingin jika musuh islam memusuhi mereka. Kelompok munafik ini dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia memiliki hubungan erat dan terikat dalam persekutuan dengan kaum Yahudi Bani Nadhir dan Yahudi bani Qainuqa.

Tidak hanya itu, pemimpin kelompok munafik ini ternyata memiliki dendam yang kesumat terhadap Rasulullah Saw. Dendam ini bermula seusai perang Bu’ats Abdullah bin Ubay bin salul akan diangkat menjadi pemimpin oleh kaum Aus dan Khazraj. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berpikir untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin. Bahkan untuk maksud ini mereka sudah merancang mahkota untuk disematkan di kepalanya pengangkatan dirinya sebagai raja dan pemimpin bagi kaum Aus dan Khazraj. Tetapi sebelum ia sempat menjadi raja dan pemimpin bagi seluruh penduduk Madinah, terbetik kabar tentang kedatangan Rasulullah Saw. dan  banyak dari kaumnya sendiri berpaling darinya. Oleh karena itu, dia melihat Rasulullah Saw. sebagai orang yang telah merampas kerajaan yang sudah nampak di depan mata. Maka tidak heran jika dia menyimpan kebencian terhadap Rasulullah Saw.

Kondisi masyarakat 

Dr Said Ramadhan Al-Buthi didalam bukunya Aisyah Ummul Mu’minin. Menjelaskan kondisi kota madinah pada masa itu memiliki sisi keragaman penduduk, Dr Said menerangkan lebih lanjut, kota Madinah adalah heterogen karena di dalamnya hidup beberapa ras dan kelompok keagamaan. Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, kota itu dihuni oleh penduduk pribumi Madinah, kaum Yahudi, kaum Nasrani, bangsa Habsyi, dan kemudian ditambah kaum muhajirin dari Makkah. Ketika sebagian penduduk Madinah memeluk islam, sebagian penduduk lainnya tetap menganut keyakinan leluhur, ada juga yang menganut keyakinan Yahudi dan Nasrani. Namun di antara penduduk Madinah yang menyatakan keislamannya, ada sebagian kalangan yang di hadapan kaum muslimin menampakkan keislamannya, tetapi sesungguhnya mereka tetap dalam kekafiran. Mereka adalah kaum munafik yang tidak menyukai penyebaran islam di Madinah dan berusaha menggembosi islam dari dalam. Mereka menghasratkan ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari peperangan tetapi tidak ingin berhadap-hadapan dan bertarung melawan musuh islam. mereka juga tidak ingin jika musuh islam memusuhi mereka. Kelompok munafik ini dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia memiliki hubungan erat dan terikat dalam persekutuan dengan kaum Yahudi Bani Nadhir dan Yahudi bani Qainuqa.

Tidak hanya itu, pemimpin kelompok munafik ini ternyata memiliki dendam yang kesumat terhadap Rasulullah Saw. Dendam ini bermula seusai perang Bu’ats Abdullah bin Ubay bin salul akan diangkat menjadi pemimpin oleh kaum Aus dan Khazraj. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berpikir untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin. Bahkan untuk maksud ini mereka sudah merancang mahkota untuk disematkan di kepalanya pengangkatan dirinya sebagai raja dan pemimpin bagi kaum Aus dan Khazraj. Tetapi sebelum ia sempat menjadi raja dan pemimpin bagi seluruh penduduk Madinah, terbetik kabar tentang kedatangan Rasulullah Saw. dan  banyak dari kaumnya sendiri berpaling darinya. Oleh karena itu, dia melihat Rasulullah Saw. sebagai orang yang telah merampas kerajaan yang sudah nampak di depan mata. Maka tidak heran jika dia menyimpan kebencian terhadap Rasulullah Saw.

Langkah yang diambil Rasulullah Saw saat mendengar kabar bohong

Masih dalam cerita yang sama, Aisyah menceritakan kembali ceritanya. “Aku terjatuh sakit dan berbaring istirahat selama satu bulan sejak tiba di Madinah. Saat itu orang-orang telah menyebarkan dusta tentangku sedangkan aku sendiri tidak mengetahuinya. Tak ada seorangpun yang mengabarkannya padaku. Hanya saja aku tidak mendapati kelembutan pada Rasulullah Saw. yang biasanya kurasakan jika aku sakit, aku merasakan perubahan besar pada perilaku Rasulullah Saw kepadaku. Beliau hanya masuk melihatku lalu bertanya datar, ‘bagaimana keadaanmu?’ setelah keadaanku agak sehat, aku keluar dengan Ummu Masthah untuk buang hajat. Setelah menuntaskan hajat kami pulang ke rumah, tetapi ketika berjalan Ummu Masthah tersandung kainnya sendiri hingga nyaris terjatuh lalu ia berseru ‘celaka Masthah!’ ia langsung aku tegur 

‘alangkah buruk ucapan dari lisanmu itu terhadap anakmu sendiri? bagaimana mungkin kau mencela orang yang turut serta dalam perang badar?’  duhai junjunganku apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakannya?’ jawab ummu Masthah.  ‘dan apa yang dikatakannya?’ tanya Sayyidah Aisyah. 

Ummu Masthah menceritakan segala kabar yang didengarnya tentang diriku yang datang ke Madinah bersama Shafwan dan bagaimana kabar itu berkembang semakin tidak karuan dibumbui segala keburukan dan kekejian. Tentu kabar ini mengguncang jiwaku, aku yang mulai beranjak sehat, kembali terjatuh sakit. Lebih sakit dari sebelumnya. Malam itu aku terus-terusan menangis hingga datang waktu pagi. Nyaris air mataku tidak pernah terputus mengalir dan aku pun sepenuhnya tidak bisa tidur. 

Rasulullah kemudian memanggil para sahabatnya untuk dimintai pendapat mengenai masalah ini. Meminta pendapat mereka tentang kemungkinan untuk menceraikan istrinya. Diantara mereka ada yang mengatakan “Wahai Rasulullah, pertahankan keluargamu. Tidak ada sesuatu pun yang ku lihat darinya selain kebaikan. Sungguh kabar ini adalah kabar dusta dan keji.

Ada juga yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, masih banyak wanita yang bisa menggantikan posisinya di sisimu dan Engkau mampu melakukannya. Tanyalah kepada pembantunya, ia akan menyampaikan kabar tentangnya.

Maka Rasulullah memanggil Burairah, pelayan Aisyah, dan bertanya tentang majikanya. Si pelayan berujar, “Demi dia yang mengutusmu dengan kebenaran. Aku tidak melihat pada diri Aisyah sesuatu yang kuanggap sebagai keburukan. Ia hanyalah wanita belia yang tertidur sehingga lalai menjaga adonan roti untuk keluarganya, sehingga datang seekor kambing dan makanan adonan tersebut.

Setelah mendengar penuturan Burairah, Rasulullah bangkit dan berjalan menuju mimbar, lalu bersabda “Wahai manusia, mengapa orang-orang masih saja menyakitiku berkaitan dengan keluargaku dan mengatakan apa yang tidak benar tentang mereka? demi Allah, hanya kebaikan yang aku ketahui dari mereka. Dan mereka juga mengatakan keburukan tentang dia (Shafwan) dan aku tidak mengetahui tentang dirinya selain kebaikan. Ia tidak pernah memasuki rumah diantara rumah-rumahku kecuali bersamaku.”

Setelah Rasulullah turun dari mimbar. Aisyah menuturkan, “kemudian Rasulullah menemuiku di hadapan kedua orang tuaku. Keduanya menyangka bahwa tangisan telah merusak hatiku. Sejak kabar dusta itu beredar. Rasulullah tidak pernah duduk di sampingku atau tinggal berdekatan denganku. Telah berlalu satu bulan dan tidak turun wahyu yang menggambarkan kebenaran urusanku. Setelah duduk diam beberapa lama, Rasulullah Saw bersabda, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, amma ba’ad wahai Aisyah sesungguhnya aku telah mendengar kabar tentang dirimu bahwa kau begini dan begitu. Jika memang kau bersih dari tuduhan ini, niscaya Allah akan menyatakannya dan membebaskanmu dari dosa itu. Segeralah bertobat dan meminta ampun kepada Allah. Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui kesalahannya dan bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.”

Sayyidah Aisyah dalam menghadapi berita bohong

Setelah Rasulullah menyampaikan ucapannya aku mengusap air mata, aku merasa seakan-akan seluruh air mataku telah ditumpahkan dan tidak ada lagi tetes air mata yang tersisa. Aku berkata kepada ayahku, “Jawablah untuk Rasulullah katakanlah sesuatu sebagai jawaban atas ucapan beliau, wahai ayah.” 

Abu bakar ra. menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan kepada Rasulullah Saw.” Seperti itu pula jawaban ibuku saat aku memintanya menjawab ucapan Rasulullah Saw. Karena keduanya tidak menjawab, aku berkata, “Kalian telah mendengar gosip yang telah tersebar luas ini sehingga kabar itu melekat di dada kalian. Seandainya ku katakan kepada kalian bahwa aku bersih dari urusan ini dan sungguh Allah mengetahui bahwa aku bersih, kalian tidak akan menerima dan percaya. Dan jika aku mengakui perkara yang Allah tahu bahwa aku bersih darinya, kalian akan menerima pengakuanku itu demi Allah tidak ada perumpamaan yang lebih baik bagiku dalam keadaan seperti ini kecuali seperti ungkapan Yusuf. “Maha kebesaran yang indah itulah kesabaranku. Hanya Allah yang diminta pertolongan atas apa yang kalian ceritakan.” Setelah itu aku berpaling dan berbaring di atas kasurku.” 

Lebih lanjut Aisyah menuturkan, “Demi Allah, Rasulullah beranjak dari tempat tidurnya, dan tidak ada seorang pun dari anggota keluargaku yang beranjak pergi ketika muncul tanda-tanda bahwa Rasulullah sedang menerima wahyu. Beliau menutupi kepala dengan pakainya sehingga aku meletakkan bantal ke bawah kepala beliau. Aku sendiri merasa lega melihat perubahan pada diri beliau karena berharap besar wahyu akan turun itu tentang urusannya. Tatkala kejadian itu berlalu dari diri Rasulullah Saw. Beliau tertawa. Rasulullah berpaling kepadaku dan kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah: ”Hai Aisyah, bergembiralah karena Allah telah membebaskan dan membersihkanmu.”

Ibuku berkata, “berdirilah dan sambut beliau (maksudnya, bersyukurlah kepada Rasulullah).” Aku berkata. “Kami memuji Allah dan tidak memuji seorang pun selain Dia. Sebab, Dialah Allah yang menurunkan ayat yang membebaskanku.” Allah menurunkan firmanNya: Sesungguhnya orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan atas dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Sampai ayat seterusnya (Q.S. al-Nur [24]:11-21).

Dampak  buruk  bagi pelaku penyebar berita bohong

Di dalam  peristiwa ini di   syariatkanlah hukuman dera (haddul qadzaf). Ini dikarenakan Rasulullah telah memerintahkan agar orang-orang yang secara terang-terangan mengucapkan tuduhan itu didera sebanyak delapan puluh cambukan. Dan hukuman ini sudah tidak dipermasalahkan lagi. Namun ada yang menjadi permasalahan adalah mengapa gembong dan penyebar isu serta tuduhan palsu itu, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul, dapat lolos dari hukuman? Jawabnya, seperti yang  telah dikatakan oleh ibnu Qoyyim,  karena Abdullah bin Ubay yang mengendalikan berita bohong ini diantara orang banyak dengan cara yang busuk dan licik. Dia menyebarkan fitnah dengan cara mengumpulkan berita  kemudian diceritakannya kembali dalam bentuk cerita dari orang, sehingga tidak dapat dinisbatkan kepadanya secara langsung. Seperti yang diketahui bahwa hukuman dera itu berlaku kepada orang yang secara langsung mengatakan tuduhan.

Cukuplah rasa sakit yang dirasakan oleh kaum muslimin saat menerima hukuman dera sebagai  pintu taubat mereka untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya. Dan cukuplah bagi Abdullah bin Ubay kesenangan di dunia ini agar tidak ada alasan baginya kelak saat menerima azab neraka.

Cerita dari awal hingga akhir ini adalah awal mula terjadinya hoaks didalam islam, meskipun cerita ini bukanlah pertama kali adanya fitnah dalam Islam. Namun, hemat saya  dalam memahami cerita ini karena. Dalam kisah inilah fitnah atau berita yang paling berat menimpa keluarga nabi saw. Bahkan dengan kejadian ini muncul pula syariat baru tentang hukuman bagi orang yang menyebarkan berita bohong secara langsung dengan hukuman cambuk. Oleh karenanya saya memberi tema hoaks pertama kali dalam islam dan hukuman bagi pelakunya.

Referensi 

Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. 2017. Sayyidah Aisyah: Kisah Hidup Ibunda Orang Beriman dan Ulama Wanita Pertama. Diterjemahkan dari Aisyah Ummul Mu’minin. Damaskus: Maktabah al-Farabi. 

Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. 1977. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw. Diterjemahkan dari Fiqhus Sirah. Lebanon: Darul Fikr. 

Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. 1414 H. Sirah Nabawiyah. Diterjemahkan dari Ar-Rahiqul Makhtum. Riyah: Darussalam. 

Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi. 2001. Sirah Nabawiyah. Diterjemahkan dari As-Sirah an-Nabawiyah. Damaskus: Darul Qolam. Cet. 1.

Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah Syarah Ibnu Hisyam.

Kontributor: Muhammad Nahrowi, Semester IV

Leave a Reply