Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Seorang Wali Allah dan Penyambung Tradisi Spiritual

Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Seorang Wali Allah dan Penyambung Tradisi Spiritual

Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, hampir semua masyarakat Indonesia mengenalinya. Gus Dur  merupakan Tokoh Muslim Indonesia sekaligus mantan Presiden RI ke-4. Beliau memiliki nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil. Secara etologi, ad-Dakhil mempunyai arti “Sang Penakluk” yakni sebuah nama yang diambil dari Dinasti Umayyah. Namun, dikarenakan nama ad-Dakhil ini tidak terlalu dikenal oleh banyak kalangan orang, maka diganti dengan nama Abdurrahman Wahid. Sedangkan nama Wahid sendiri dinisbatkan dari nama ayahnya. 

Beliau dikenal dengan nama Gus Dur yang mana sebutan Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak Kiai yang mempunyai arti mas atau abang, sedangkan nama Dur diambil dari kata Abdurrahman. Beliau lahir di Jombang, Jawa timur pada tanggal 7 September 1940. Beliau adalah putra pertama dari enam bersaudara, ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan tokoh besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Sedangkan ibunya bernama  Nyai. Hj. Sholehah putri dari pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang yakni KH. Bisri Syansuri.

Gus Dur mempunyai latar belakang pendidikan dan lingkungan pergaulan yang berbeda dari kebanyakan Tokoh NU. Memulai dari pendidikan dari Sekolah Dasar di Jakarta pada tahun 1953 dan SMP di Yogyakarta pada tahun 1956 kemudian masuk Pesantren Tegalrejo, Magelang dibawah asuhan KH. Chudori pada tahun 1958 lalu beliau pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang. Dilanjutkan kuliah di Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar, Kairo. Namun beliau pindah lagi ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak . 

Beliau memperoleh gelar Lc pada tahun 1970. Meski begitu, justru memilih untuk berangkat dari kultur dasarnya sendiri dari pada memilih lainya di dunia luar, yakni dengan menjadi guru Madrasah Muallimat di Pesantren Beras, Jombang pada tahun 1959 – 1963. Dari Madrasah itulah Gus Dur terpikat dengan salah satu muridnya yakni Nuriyah binti H. Syukur  yang kemudian tidak lama langsung melaksanakan akad nikah pada tahun 1968 yang mana Gus Dur masih berada di Ujung Utara Negara Arab dan pengantin wanita berada di Jombang. Untuk menerima ijab dengan Nuriyah, Gus Dur diwakili oleh pamannya KH. Aziz Bisri. Namun setelah 3 tahun akad nikah barulah Gus Dur bisa pulang ke Jombang dan bertemu istri tercinta yang kemudian memberinya 4 orang anak.

Pada Muktamar ke-27 bulan Desember 1984 di Situbondo, Gus Dur resmi terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Terpilihnya Gus Dur merupakan pilihan terbaik, beliau bukan termasuk kelompok yang bertikai juga bukan tergolong kaum politisi. Namun Gus Dur lebih dikenal sebagai budayawan dan cendekiawan Islam. Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh Kontroversial, karena tindakan dan pemikirannya tak lagi seirama dengan umumnya  tokoh NU.

Gus Dur adalah orang yang rasional. Jika ada yang tidak percaya dengan prediksinya beliau akan diam saja atau mempersilahkan orang itu untuk membuktikannya nanti. Dan jika memang tidak terbukti beliau akan bilang “Namanya juga prediksi, bisa benar bisa tidak. Kalau benar bukan berarti dianggap mistik atau weruh sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian)” . Ucapan, tindakan dan pemikirannya yang kerap membuat heboh dan membingungkan beberapa orang. 

Menurut mantan Menteri Pertahanan yang kini menjadi ketua Mahkamah Konstitusi yakni Muhammad Mahfud MD. Memberi pernyataan yang menarik tentang Gus Dur, selama menjadi Presiden muncul beberapa ucapan, kebijakan dan langkah-langkah politik Gus Dur yang sering membuat terkejut semua orang dan itu disebabkan 3 hal: Pertama, realitas politik. Kedua, mendengar penasehat resmi dan tidak resmi. Ketiga, Presiden seringkali mendasarkan keputusan pada pesan gaib yang datang melalui mimpi (wangsit, baik pribadi maupun dari para Kiai). Sekilas mungkin terlihat tidak logis, akan tetapi Gus Dur dapat mengelola pesan dari  “langit” dengan baik dan apa yang dilakukan oleh beliau biasanya benar-benar terjadi.  Gus Dur adalah seorang “wali” yang menyimpan banyak misteri di kalangan warga NU atau Nahdliyyin, bahkan sebelum ajalnya menjemput beliau mampu membaca sidik jarinya sendiri, tentang para malaikat yang akan menjemputnya. 

Mustofa Bisri atau yang kerap dipanggil Gus Mus mengatakan pernyataan “laa ya’riful waliy illal waliy, tidak akan mengerti kewalian seseorang kecuali orang tersebut juga wali”. Sesungguhnya, setiap wali itu di sembunyikan oleh Allah Swt, hingga tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Swt sendiri. Jika ada yang berani menyatakan perang terhadap wali Allah, maka Allah Swt sendiri yang akan menyatakan perang terhadap orang itu. Kewalian Gus Dur itu puncaknya saat sang wali mengatakan “Gitu aja kok repot!” . 

Menurut Dewan Rahardjo yakni tokoh yang termasuk gigih dalam penolakan ide kewalian Gus Dur, pada saat Gus Dur wafat, kewalian itu pun tampak dalam upacara pemakaman di Jombang. Sebutan Gus Dur sebagai wali ternyata bukan barang yang bersifat ngoyo woro, bunyi-bunyian asal bunyi tapi “langit” pun meridhoi kewalian beliau. Anggapan banyak kalangan yang menyebut Gus Dur sebagai seorang “sufi” yang sebagaimana dengan wali, tentu tidak lahir secara instan. Anggapan-anggapan tersebut juga didasarkan peristiwa-peristiwa luar biasa yang bahkan tidak ternalar oleh rasionalitas yang terjadi pada Gus Dur. Kejadian-kejadian luar biasa pun semakin menyebar luas dan terungkap ke publik.

Seperti hal nya setelah beliau wafat, banyak orang atau tokoh yang pernah memiliki pengalaman bersama Gus Dur semasa hidupnya mulai menceritakan pengalamannya yang luar biasa, bahwa Gus Dur memang tokoh yang memiliki kemampuan spiritualitas tinggi. Tidak hanya dari kalangan muslim atau teman-teman dekatnya, pengakuan tersebut juga muncul dari kalangan non-muslim. Meskipun pada akhirnya kewalian seseorang tidak bisa diketahui secara pasti, kecuali oleh para wali yang lain. 

Syekh Hisyam Kabbani merupakan tokoh ternama yang menyatakan secara gamblang bahwa Gus Dur adalah seorang wali yang agung dan beliau merasakan duka yang sangat mendalam ketika mendengar kabar bahwa Gus Dur telah berpulang kepada yang Maha Kuasa. Pernyataan bahwa Gus Dur merupakan seorang wali juga diakui oleh A. Yudian. W. Asmin. Beliau mengakui bahwa Gus Dur merupakan wali besar kesepuluh setelah Walisongo. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan Gus Dur mempunyai tugas untuk menjaga kesatuan NKRI. Sama halnya dengan Walisongo, namun jika Walisongo menjaga daerah-daerah tertentu, sedangkan Gus Dur menjadi seluruh daerah.  Dan KH. Said Aqil juga meyakini seratus persen bahwa Gus Dur benar-benar seorang “wali”, karena beliau melihat dan mengalami peristiwa-peristiwa ‘luar biasa’ yang dimiliki Gus Dur. Beliau menyatakan bahwa “kewalian Gus Dur ini bersifat multidimensional.”

Biasanya, wali hanya berada pada maqam atau tingkatan tertentu, tapi hal itu tidak berlaku pada Gus Dur. Mulai dari kewalian intelektual, kewalian ludruk, hingga kewalian presiden. Semua melekat pada dirinya yang juga seorang profesor kuburan sekaligus guru besar pluralisme.

Kewalian Gus Dur semakin diyakini banyak orang dengan adanya bukti bahwa dalam setiap hari makamnya selalu diziarahi oleh ratusan bahkan ribuan peziarah. Baik secara sendiri-sendiri maupun rombongan, dari berbagai kalangan peziarah mulai dari para tokoh masyarakat, pejabat tinggi negara, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu ada juga dari kalangan pelajar, namun mayoritas adalah masyarakat awam. Bahkan ada juga peziarah dari kalangan non-muslim, seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Badha’i dan lain-lain.

Referensi:

Wahid Abdul. Karena Kau Manusia Sayangi Manusia. Yogyakarta: DIVA Press, 2018

Saleh Imam Anshori. Mata Batin Gus Dur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017 

Tunggal Nuril Soko, Khoirul Rosyadi. Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya. Yogyakarta: Gedung Galangpress, 2010 

Al-Gharani Ibnu Marzuqi. The Great Mothers. Yogyakarta: Laksana, 2018

Maswan, Aida Farichatul Laila. Gus Dur Manusia Multidimensional. Yogyakarta: Deepublish, 2013

Kontributor: Layli Faoziah, Semester III

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply