Mengenal Sayyidah Sukainah, Cicit Rasulullah saw. yang Menjadi Tawanan Karbala

Mengenal Sayyidah Sukainah, Cicit Rasulullah saw. yang Menjadi Tawanan Karbala

Dari berbagai fakta sejarah Islam menunjukkan dengan pasti betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendekia, dan intelektual, dengan beragam keahlian. Salah satunya yaitu Sayyidah Sukainah, orang Jawa biasa menyebut Sayyidah Sukainah dengan sebutan Siti Sukainah. Ia adalah putri tercinta Sayyid Husein bin Ali, cucu Ali bin Abi Thalib-Sayyidah Fatimah, dan cicit Rasulullah saw. Nama ibunya adalah Rubab binti Imra al-Qais. Sayyidah Sukainah lahir pada tahun 669 M.  

Sayyidah Sukainah adalah perempuan paling cantik pada masanya, sehingga menjadi buah bibir publik luas lantaran parasnya yang cantik jelita. Selain itu, ia juga adalah sosok yang banyak menarik perhatian para sejarawan dan penulis biografi tokoh dunia. Antara lain, Ibnu Jarir ath-Thabari yang menuliskan tokoh perempuan ini dalam bukunya yang sangat terkenal, Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk. Lalu, Ibnu Sa’d yang menuliskan tentang Sukainah dalam buku Ath-Thabaqat. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq. Ibnu Hisan dalam Al-Hadaiq al-Ghina fi Akhbar an-Nisa, dan lain-lain.  

Mereka mengatakan bahwa Sayyidah Sukainah adalah perempuan terhormat dan berkepribadian bersih, serta perempuan paling terkemuka pada masanya. Akhlaknya bagus, seorang zahidah (bersahaja), tutur katanya indah, kritikus sastra, dan cerdas.  Ibnu al-Jauzi menuturkan dari Sufyan ats-Tsauri tentang sosok Sayyidah Sukainah begini, “ia rajin bangun malam untuk beribadah, tahajud. Ia juga perempuan yang dermawan. Apabila Sayyidah Sukainah berangkat haji, ia banyak memberi sedekah kepada kaum fakir miskin yang haji bersamanya”.

Sayyidah Sukainah juga sering bertemu dan berdiskusi di rumahnya tentang sastra prosa maupun puisi dengan para begawan sastra pada masanya, antara lain: Jarir, Farazdaq, dan Jamil Batsinah. Di rumahnya, ada ruang untuk pengajiannya, hadirinnya ialah para sarjana, laki-laki dan perempuan, serta masyarakat umum.  Ayah Sukainah sangat menyayanginya. Dalam sejumlah literatur, disebutkan bahwa Sayyid Husein bin Ali begitu mencintai Sukainah (putrinya) dan istrinya, Rubab. Sebuah puisi menyebutkan: 

Aku bersumpah demi dirimu 

Aku senang dengan rumah 

Yang di dalamnya ada Sukainah dan Rubab 

Aku mencintai keduanya 

Semua milikku akan kuberikan 

Aku akan menyesali diriku sendiri 

Jika tak mampu melakukan hal ini 

Sayyidah Sukainah ialah salah seorang yang ikut bersama ayahnya di Karbala. Bersama saudaranya Sayyid Ali bin Husein as-Sajjad, ia menyaksikan dengan mata kepalanya pembantaian atas ayahnya oleh pasukan tentara Yazid bin Mu’awiyah. Tentang pembunuhan ayahnya di Karbala yang terjadi pada tanggal 10 Muharram (Hari Asyura) terdapat kisah yang sangat memilukan dimana hati kita tidak sanggup menanggungnya. Dua puluh enam orang lainnya terbunuh dalam pembantaian Karbala tersebut.

Setelah peristiwa itu Sayyidah Sukainah, Ali bin Husein, Sayyidah Zainab, dan para wanita lainnya yang selamat dari tragedi Karbala ditawan. Umar bin Sa’ad dan pasukannya membawa tawanan itu ke Kuffah, Gubernur Umawi kemudian mengirimkannya ke Suriah, ke hadapan Yazid. Dinukilkan bahwa pada tanggal 11 Muharram, Sayyidah Sukainah berlari menghampiri jenazah ayahandanya dan memangkunya, kemudian meratapi jenazah ayahandanya.

Saat dalam tawanan, Sayyidah Sukainah melalui hari-harinya dengan susah dan  sulit. Hingga tiba selesai masa penawanan itu, Sayyidah Sukainah pun kembali ke Madinah bersama dengan rombongan tawanan. Ia bersama dengan para tawanan Ahlul bait sibuk menjelaskan dan mengungkap kejahatan-kejahatan Bani Umayyah dan Pengkhianatan-pengkhianatan mereka pada peristiwa Karbala kepada penduduk Madinah dan lainnya, sehingga ingatan masyarakat Madinah akan kejahatan Bani Umayyah akan tersimpan di pikiran mereka.  

Dikenal sebagai perempuan terhormat, ada hal yang menarik dari pribadi Sayyidah Sukainah sekaligus pandangan-pandangannya yang progresif dan kontroversial. Salah satunya ialah saat menikah, ia meminta dibuatkan perjanjian pranikah yang harus ditandatangani calon suaminya. Beberapa bunyi perjanjiannya ialah:

1. ألّا يَمُسَّ إمْرأةً سِواها (Tidak boleh mengambil lain perempuan [tidak bolehgini poli])

2. ألّا يَحولَ بَينَهَا و بَينَ مَالِها شَيءٌ  (Tidak boleh ada rahasia dalam hal keuangan ) 

3. ألّا يَمْنَعَهَا الخُرُوج إنْ تُرِيدُهُ  (Tidak boleh melarang keluar untuk beraktifitas di luar rumah jika dirinya menghendaki) 

Apabila salah satu syarat tersebut dilanggar, makai ia (Sukainah) bebas untuk menentukan pilihan gugat cerai atau melanjutkan. Setelah keduanya menikah, suami Sayyidah Sukainah (Zaid bin Umar al-Utsmani) melanggar butir pertama. Dia mengambil perempuan lain dan berhubungan intim dengan perempuan itu. Melalui proses peradilan, Sayyidah Sukainah pun akhirnya bercerai dengan Zaid. 

Sayyidah Sukainah merupakan fakta keulamaan perempuan yang memiliki Akhlak yang bagus, seorang zahidah (bersahaja), tutur katanya indah, kritikus sastra, cerdas, yang telah hadir sejak awal sejarah Islam. 

Referensi: 

Husein Muhammad, Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020. 

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009. 

Husein Muhammad, Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020. 

Reysyahri Muhammad Muhammad, Citra Ahlulbait Nabi: Penjelasan Ayat dan Riwayat, Jakarta: Penerbit Nur Al-Huda, 2015. 

Al-Rawi Umar Ahmad, Wanita-Wanitaa Kebanggaan Islam, Jakarta: Akbar Media, 2015 

Kontributor: Aulia Tihawa, Semester VI 

Leave a Reply