Dalam bahasa Arab, wali berarti “pecinta” atau “pembela” atau “teman”. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, wali adalah seseorang yang dijaga oleh Allah dari perbuatan besar, bahkan yang terkecil dan orang yang dijaga dari hawa nafsunya walaupun sekejap. Jika berbuat dosa, maka dia akan segera bertaubat, dan juga orang yang mengabdi tanpa henti (istiqamah). Sedangkan arti Songo sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti Sembilan.
Dari lima periode Walisongo, Sunan Ampel merupakan wali dalam periode kedua menggantikan para wali yang wafat diperiode pertama. Sumber-sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi Olthof, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Babad Majapahit dan juga Sejarah Banten menyebutkan bahwa nama Asli Sunan Ampel adalah Ali Rahmatullah. Pada masa kecilnya beliau biasa dipanggil Raden Rahmat, diperkirakan beliau lahir pada tahun 1432 tepatnya di daerah Champa.
Banyak versi yang mendefinisikan di manakah lokasi Champa. Versi pertama menurut penelitian Sjamsudduha dalam peta tua Gerhard Mercator, Champa berada di Negara Vietnam, yang letaknya dekat dengan Khemr atau Kamboja (saat ini).
Versi kedua yaitu menurut Prof. Dr. Hamka yang menyatakan bahwa Champa berada di daerah Aceh, yaitu Jeumpa. Namun ini adalah pendapat yang lemah, karena dibuktikan dengan tidak adanya penyebutan Jeumpa dalam buku-buku sejarah Aceh yang ditulis oleh para penulis Aceh, seperti H. M. Zainuddin, H. Muhammad Sahid, Teuku Ibrahim Alfian dan Tengku M. Yunus Jamil.
Versi ketiga menyebutkan bahwa Champa berada di India, yang mengambil nama dari kerajaan di Lembah Sungai Gangga biasa disebut dalam epos India yang menyebutkan bahwa adanya orang-orang asing yang datang ke Majapahit, seperti dari Cina, Kamboja, Yamana, Jambu Dwipa, Sri Langka, Champa, Goda, dan Kartanaka. Mereka datang dengan menumpang kapal-kapal para pedagang.
Disebutkan dalam sumber lokal seperti Walisana Hardjawidjaja bahwa, Raden Rahmat adalah putra Syaikh Ibrahim as-Samarkandi yang berasal dari Arab. Beliau merupakan keturunan Rasulullah saw., menantu Raja Champa, dan tokoh Walisongo tertua yang melakukan pengembangan Islam di Tanah Jawa dan tempat lain di Nusantara. Dalam Babad Tanah Jawi dan Badur Wanar menyebutkan bahwa ibu Raden Rahmat bernama Dewi Condro Wulan, namun dalam Suluk Walisana menyebutkan bahwa nama ibunya adalah Retno Dyah Siti Asmara, dan menurut berbagai tradisi lokal, nama ibunya adalah Retno Sujinah.
Dalam historiografi lokal disebutkan bahwa Raden Rahmat datang ke Jawa bersama saudara tuanya yaitu Ali Murtadho. Menurut Suluk Walisana, Babad Demak Pesisiran dan sejarah Banten, Raden Rahmat menginjakkan kaki di Nusantara sekitar abad ke-15 pada awal dasawarsa keempat, tepatnya di Majapahit. Ketika Arya Damar menjabat sebagai Adipati Palembang, di sana beliau menjadi tamu. Menurut Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam (1977), beliau berada di sana selama dua bulan. Selama itu, beliau mengenalkan ajaran Islam kepada adipati. Adipati pun tertarik dengan ajaran Islam, namun adipati tidak ingin mengambil resiko dengan menghadapi masyarakat. Maka, beliau pun masuk Islam dengan diam-diam. Namun di dalam buku Serat Walisana dan Serat Darmogandul menyatakan bahwa adipati dan rakyatnya masuk Islam.
Saat Raden Rahmat sampai di Majapahit, beliau diterima dengan hormat oleh Prabu Brawijaya. Dalam Hikayat Hasanuddin dijelaskan bahwa, saat itu Kerajaan Champa telah ditaklukan oleh Raja Koci dan Raden Rahmat sudah tinggal di Jawa, yang dijelaskan bahwa Raden Rahmat berada di Jawa sebelum tahun 1446 M. Oleh Karena itu, Raden Rahmat dilarang pulang ke Champa. Raden Rahmat ditempatkan di Surabaya, sedang saudaranya di Gresik. Dalam perjalanan menuju Ampel, beliau melewati beberapa daerah seperti, Kriyan, Wonokromo, Pari, dan Kembang Kuning. Dikisahkan pula, bahwa selama perjalanan, beliau membagi-bagikan kipas kepada para penduduk dan menukarnya dengan kalimat syahadat.
Menurut Babad Ngampeldenta, pengangkatan Raden Rahmat menjadi imam di Surabaya dilakukan oleh Raja Majapahit. Oleh karena itu, Raden Rahmat dikenal dengan sebutan Sunan Ngampel. Menurut Serat Walisana, Raden Rahmat tidak langsung diangkat di Ampeldenta. Oleh Raja Majapahit, Raden Rahmat diserahkan kepada Adipati Surabaya yaitu, Arya Lembusura yang beragama Islam. Ali Murtadho diangkat menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pendita Agung, dan Raden Rahmat diangkat menjadi imam di Ampeldenta (Surabaya) dengan nama Sunan Ampeldenta atau Pangeran Katib.
Sunan Ampel dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng Manila adalah cucu dari Arya Lembusura. Oleh karena itu, Sunan Ampel naik pangkat menggantikan Arya Lembusura yang pada saat itu adalah Bupati Tuban. Usaha dakwah Sunan Ampel yaitu dengan membentuk jaringan dakwah melalui perkawinan para pedakwah Islam dengan putri-putri para penguasa Majapahit. Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa, kerabat Sunan Ampel yaitu Syaikh Maulana Gharib yang menikah dengan Niken Sundari, putri Patih Majapahit yaitu, Mahodara.
Setelah wafatnya Syekh Maulana Malik Ibrahim, perjuangan penyebaran Islam diteruskan oleh Sunan Ampel. Beliau mengikuti cara dakwah yang dilakukan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dengan membangun masjid-masjid dan pesantren-pesantren. Beliau melakukan adaptasi dan asimilasi terhadap masyarakat, seperti mengganti istilah shalat dengan sembahyang, kata Sanggar menjadi Langgar. Dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Ampel mengajarkan berbagai ilmu. Mulai dari Ilmu al-Qur’an, kitab-kitab, seperti tentang Ilmu Tarekat, Ilmu Hakikat, Ilmu Syariat. Beliau mengajarkan hidup yang zuhud, sederhana, juga melakukan Riyadhah. Dalam menyebarkan ajaran Islam, banyak rintangan yang beliau hadapi, namun beliau tetap sabar dan tabah. Awal mula beliau mengajarkan shalat masyarakat sulit untuk mengikuti, karena menurut mereka gerakan-gerakan shalat terkesan aneh, begitu pula saat mengajarkan mereka untuk menghindari makan-makanan yang tidak halal seperti; babi, dan hewan-hewan yang haram dimakan menurut pandangan Islam.
Sunan Ampel memiliki banyak murid yang nantinya akan meneruskan perjuangannya di Tanah Jawa, yang menjadi anggota Walisongo. Seperti putranya sendiri, yaitu Sunan Drajat yang mendirikan pesantren di Lamongan Jawa Timur, Sunan Bonang yang mendirikan pesantren di Tuban. Dan dari menantu-menantunya, seperti Sunan Giri yang menjadi Mufti Tanah Jawa dan mendirikan pesantren di Gresik, Raden Patah yang menjadi Sultan Demak Bintoro, Sunan Kalijogo yang paling terkenal di Tanah Jawa. Dan juga Sunan Gunung jati. Dari sekian banyak murid beliau, mereka adalah beberapa muridnya yang menjadi kader. Mereka mendirikan surau-surau di berbagai tempat, juga pesantren-pesantren yang sampai saat ini terkenal di masyarakat. Dari semua waliyullah di atas, puncak kejayaan terjadi di masa Sunan Giri pad abad ke-16 dan 17. Faktanya, murid-muridnya tidak hanya dari tanah Jawa saja, namun sampai keberbagai pelosok Nusantara, seperti Ternate.
Ada kisah yang sangat menarik di antara para murid Sunan Ampel, salah satunya adalah Mbah Soleh yang pada masa itu, beliau adalah tukang sapu Masjid Ampel. Uniknya dari kisah ini adalah, ketika beliau meninggal selama sembilan kali, dan juga dikuburkan sebanyak sembilan kali pula. Hal ini tidak pernah dialami oleh para Nabi bahkan Rasul. Kisah ini merupakan mitos lokal, yang dipercaya sebagian masyarakat. Dikisahkan bahwa Mbah Soleh ini jika menyapu masjid sangatlah bersih, sehingga orang-orang yang shalat di masjid Sunan Ampel ini tidak memakai sajadah, saking bersihnya lantai masjid.
Suatu ketika Mbah Soleh ini meninggal dunia, tidak ada satupun santri yang mampu menyapu masjid sebersih Mbah Soleh ini. Hingga pada akhirnya masjid menjadi sangat kotor. Sunan Ampel tak sengaja mengucap kata-kata “Bila saka Mbah Soleh masih hidup, pastilah masjid ini akan bersih kembali”. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Mbah Soleh sudah berada di pengimaman sedang menyapu masjid. Dan beberapa bulan kemudian, wafatlah Mbah Soleh kembali. Kejadiannya sama seperti yang awal. Dan Sunan Ampel pun melakukan hal yang sama. Dan Mbah Soleh pun kembali hidup, dan menyapu seperti biasa. Hal itu berulang hingga delapan kali, dan makamnya pun sebanyak delapan, dimulai dengan makamnya yang di depan masjid hingga berjejer sebanyak delapan makam. Hingga pada akhirnya Sunan Ampel wafat, dan beberapa bulan kemudian, Mbah Soleh pun wafat kembali. Hingga saat itu, Mbah soleh tak kembali lagi. Dan Sembilan kali beliau wafat, makam terakhir berada di ujung sebelah timur. Namun kisah ini masih rancu, yang jika dikondisikan dengan masa dahulu, sepertinya mustahil jika masjid saja sudah dikeramik, pastinya masih tanah pada saat itu.
Kisah kedua yaitu, kisah Mbah Sonhaji, beliau adalah murid senior Sunan Ampel. Beliau biasa dipanggil Mbah Bolong, mengapa dikenal demikian? Kisah ini dimulai ketika pembangunan Masjid Ampel. Beliau ditugaskan untuk menetapkan atau mengatur arah kiblat masjid. Beliau melakukannya dengan perhitungan yang teliti sehingga orang-orang meragukan kebenarannya. Acapkali orang-orang mempertanyakan kebenaran arah kiblat itu. Dan Mbah Bolong pun menyuruh mereka untuk melihat ke dalam lubang yang telah dibuat Mbah Bolong, di sana mereka melihat Ka’bah yang berada di Mekkah. Dan hingga saat itu orang-orang memberi gelar Mbah Bolong.
Dari ajaran Sunan Ampel adalah biasa yang dikenal dengan falsafah moh limo (tidak mau melakukan hal tercela), yaitu:
- Moh Main artinya tidak mau berjudi
- Moh Ngombe artinya tidak mau minum minuman keras atau memabukkan
- Moh Maling artinya tidak mau mencuri
- Moh Madat artinya tidak mau menghisap ganja, narkoba (narkotika berbahaya) lainnya
- Moh Madon artinya tidak mau main perempuan.
Di Batu nisan beliau, tidak tercantum tahun wafat beliau. Babad Gresik menyebutkan tahun wafatnya pada tahun 1481, lalu menurut Sjamsudduha tahun wafat beliau adalah 1484 M. Jika Sunan Ampel datang ke Jawa pada tahun 1443, saat itu beliau berusia 20 tahun. Berarti beliau lahir tahun 1423, dan wafat pada usia 61 (1484). Dan beliau menetap di Jawa selama 41 tahun. Makamnya berada di samping Masjid Ampel, yang dijadikan tempat peziarahan yang ramai dikunjungi hingga saat ini.
Referensi
Agus Sunyoto, 2016. Atlas Walisongo, Depok, Pustaka IIMaN
Zainal Abidin bin Syamsuddin, 2017. Fakta Baru Walisongo, Jakarta Timur, Pustaka Imam Bonjol
Oleh : Qurotul Aini, Semester III
Saya sangat terinspirasi… min
terima kasih infonya sangat menarik,
terima kasih informasinya, artikel yang menarik