Tinjauan Umum Masyarakat Arab Pra-Islam

Tinjauan Umum Masyarakat Arab Pra-Islam

Ma’had Aly – Jika dilihat secara asal usul keturunan, masyarakat Arab dapat terbagi kepada dua golongan besar. Golongan pertama adalah Qathâniyun atau keturunan Qathan dan golongan kedua adalah ‘Adnâniyûn atau keturunan Ismail bin Ibrahim. Saat itu, letak wilayah  yang  diduduki  terbagi  menjadi  wilayah  Utara  diduduki  oleh ‘Adnâniyûn dan  wilayah Selatan  oleh Qathâniyun. Seiring perjalanan  waktu pada akhirnya  kedua golongan  ini berbaur  disebabkan  perpindahan-perpindahan  antara satu dengan yang lain Dengan ini terbukti bahwa pada masa itu masyarakat Arab masih terbiasa untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Sementara itu, kondisi sosial politik pada masa pra-Islam dapat dikatakan tidak terlalu  berkembang, bahkan cenderung rendah. Dalam bidang sosial  politik di lingkungan  masyarakat Arab pra-Islam  telah  terbentuk  kabilah (clan) yang kemudian  dari  beberapa  kabilah  terbentuk  tribe  atau  suku.  Dengan  demikian, sebetulnya sejak  masa pra-Islam  masyarakat Arab sudah memiliki  keorganisasian dan identitas sosial yang cukup jelas. Akan tetapi, disebabkan penekanan hubungan kesukuan yang begitu  kuat, setia  dan solid, maka sering sekali terjadi  peperangan antar-suku.

Akibat  dari  peperangan  yang  berlarut-larut, yang  sepertinya  memang  sudah menjadi  tabiat  masyarakat Arab  selain  sikap  kesukuan  yang  kuat,  kebudayaan mereka tidak begitu berkembang. Meskipun demikian, masyarakat  Arab pra-Islam setidaknya telah memiliki kemampuan seperti membuat alat-alat dari besi dan yang paling  terkenal  tradisi  kesusateraan. Masyarakat  Arab  pra-Islam  memiliki kemampuan  yang  tinggi  dalam  menggubah  syair.  Bahkan,  pada  masa  pra-Islam sering diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz yang mana sang juara syairnya akan digantung di dinding Ka’bah.

Syair-syair ini biasanya berisi mengenai peristiwa-peristiwa penting kabilah atau suku masing-masing penyair, seperti peperangan dan cenderung mengagungkan kabilah atau suku masing-masing.berawal dari  kegiatan ilmiah  terlebih dahulu mendapatkan ekspektasi bahwa hasil penulisan  tersebut  dapat  mengungkapkan  gambaran  cukup  jelas  dari  peristiwa-peristiwa masa lampau. Hal ini senada dengan pendapat Dudung Abdurrahman yang menyatakan bahwa historiografi dapat dipahami sebagai cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Sehubungan dengan kajian terhadap historiografi, dapat dikemukakan tiga poin manfaat  mempelajarinya, yaitu  (1)  Mengetahui  pandangan, metode penelitian dan metode penulisan sejarah, sehingga mampu melakukan kajian kritis terhadap  karya-karya  sejarah; (2) Mengenal sumber-sumber  sejarah;  dan  (3) Mendapatkan sumber-sumber yang  sahih dan otentik  di antara banyaknya sumber yang dianggap primer.

Bentuk, Metode dan Substansi Historiografi Pra-Islam

Orang Arab pra-Islam mempunyai perhatian yang amat besar terhadap silsilah dan  peristiwa-peristiwa  penting  yang mempengaruhi  politik  kesukuan.  Peristiwa masa lalu itu disampaikan secara lisan antara lain dengan bersyair. Orang Arab juga dikenal sangat menghargai dan bangga dengan nasab dan  sistem kekeluargaannya, di antaranya dengan menghafal pohon silsilah keluarga.

Sebagaimana telah  diketahui bahwa  masyarakat Arab  pra-Islam pada  saat itu  belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa masa lalu disimpan oleh mereka dalam ingatan dan hafalan. Hal  ini karena  mereka memiliki daya ingat dan  hafalan yang kuat dan  juga  kemampuan mengingat  dipandang  lebih  terhormat  bagi  mereka, sehingga  dalam  menyampaikan  peristiwa  masa lalu  masyarakat  Arab  pra-Islam masih  menggunakan  tradisi  lisan.  Selain  itu,  dalam  kondisi  yang  saling mengagungkan kabilah dan suku, kemampuan dari tradisi tulisan tidak memberikan prestise apapun bagi pemiliknya di tengah masyarakat dibandingkan dengan tradisi lisan.

Meskipun demikian, tradisi  lisan ini telah menekankan unsur “fakta” konkrit dalam sejarah, terlepas dari lingkungannya dan  sedapat-dapatnya tidak mengalamiperubahan oleh proses berpikir manusia.

Secara  bentuk,  warisan  historiografi  pra-Islam  yang dilakukan  melalui tradisi lisan dapat terbagi kepada dua, yaitu al-ayyam dan al-ansab. Sebutan kedua bentuk ini sebetulnya berawal dari kebiasaan  kabilah dan suku yang ada  pada masa Arab pra-Islam. Meskipun, terkadang  sering diragukan  oleh beberapa  peneliti sejarah mengenai sumber yang berasal dari tradisi lisan, namun tidak ada cara lain jika ingi mengetahui sejarah  Arab  pra-Islam,  maka  penggunaan sumber  tradisi lisan  harus  menjadi perhatian. Untuk lebih jelas, akan diuraikan masing-masing dari al-ayyam dan al-ansab.

  • Al-Ayyam

Al-Ayyam atau  ayyam al-arab  secara etimologis  berasal dari bahasa Arab yang berarti hari-hari bangsa Arab. Namun, yang dimaksud di sini adalah hari- hari  penting  terjadinya  peperangan  antar  kabilah-kabilah  Arab.  Pada  masa jahiliyah, sebagaimana  telah  dijelaskan,  sering  terjadi  konflik  yang menyebabkan peperangan  antar  kabilah  dalam  soal kepemimpinan,  perebutan sumber-sumber air dan padang rumput.

Peperangan dan peristiwa-peristiwa penting pada masa tersebut diabadikan melalui  gubahan-gubahan  syair.  Tujuannya adalah  selain  untuk  diteruskan secara  turun-temurun  juga  untuk  membanggakan  kabilah  dan  suku  masing- masing.  Gubahan syair  yang  berisi  peristiwa  peperangan  terkadang  dinamai dengan  nama  lokasi  terjadinya.  Contoh  syairnya  seperti yawm  ‘ayn  abagh.

Al-ayyam atau ayyamul arab diartikan sebagai peristiwa peperangan yang terjadi Antar kabilah atau antar suku yang mana masing-masing mereka membuat cerita-cerita perang tersebut. sedangkan al-ansab yang berasal  dari kata nasab adalah kegemaran mereka  untuk menyelidiki  genealogi  atau  garis  keturunan  mereka.

Menurut  Badri  Yatim,  disebut  sebagai  hari-hari  adalah  karena  peperangan  itu berlangsung  di  siang  hari  dan  ketika malam  tiba  peperangan  dihentikan  sampai  fajar menyingsing. (perang/peristiwa/hari sumber  air abagh), yawm dzî qâr(perang/peristiwa/hari

Dzi Qar, nama sebuah kampung) dan yawm syi’b jabâlah (perang/peristiwa/hari Syi’b Jabalah,  nama  kampung).  Selain  itu, terkadang  diberi  nama  pula  dengan nama  orang,  hewan  atau  apapun  yang  menjadi  latar  belakang  terjadinya peristiwa tersebut, seperti yawm al-Basûs (nama seorang wanita) dan yawm al-Dahis wa al-Ghabrâ` (nama kuda jantan dan unta betina).

Tradisi  al-ayyam  disinyalir  sudah  berlangsung  begitu  lama  di  kalangan bangsa  Arab. Ini  dibuktikan  dengan adanya  fakta  bahwa sejarah  tertua  yangtertuang  dalam    taurat  pun  berbentuk  al-ayyam.  Dengan  begitu,  terlihat pentingnya  tradisi  al-ayyam  bagi  bangsa  Arab menunjukkan  bahwa  tradisi  al-ayyam  tidak  disandarkan  dari sumber-sumber tertulis. Tradisi al-ayyam  pada masa awal  kedatangan Islam Beberapa  ciri  khas substansi  dari  syair-syair  al-ayyam  adalah  (1)  pujian untuk kepahlawanan  seseorang,  (2)  hinaan  untuk  merendahkan  kabilah  atau suku musuh, (3) rayuan  dan (4)  ashabiyah atau fanatisme. Sementara itu, jika

dilihat dari segi sebagai karya sejarah, maka al-ayyam memiliki setidaknya lima ciri, yaitu (1) perhatian terhadap kehidupan masyarakat kabilah, (2) penggubah syair asli tidak kenal dan syair tersebut dijadikan sebagai syair milik kabilah, (3) peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam syair tidak kronologis dan sistematis (4) lebih memiliki nilai subjektivitas yang tinggi dan (5) terdapat kebenaran faktual dan historis dari peristiwa yang berlangsung pada saat digubahnya syair.

  • Al-Ansab

Kata al-ansab berasal dari bahasa Arab yang berarti silsilah. al-ansab adalah bentuk  jamak  dari  kata  nasab.  Tradisi  al-ansab  ini  sangat  diperhatikan  dan dipelihara oleh orang  Arab pra-Islam selain juga al-ayyam.

Secara substansi, tradisi al-ansab sering kali terkait dengan tradisi al-ayyam. Ini karena topik-topik utama syair dalam tradisi al-ayyam pun berkenaan dengan nasab-nasab kabilah.  Kebanggan  dan kehormatan suatu kabilah  atau  suku  yang  tertuang  dalam  al-ayyam  maupun  al-ansab  sangat  tergantung pada  prestasi-prestasi  yang  telah dicapai  oleh leluhur  dari kabilah suku masing-masing. Dengan demikian, syair-syair yang mereka gubah untuk membanggakan kabilah  atau suku  masing-masing bukan  karena prestasi  yang telah dicapai oleh mereka sendiri, tetapi oleh para leluhurnya.

Kesimpulan

Masyarakat  Arab  pra-Islam  sering  dikenal  dengan  sebutan  Arab  Jahiliyah disebabkan  tindakan  mereka  yang  amoral,  seperti  berperang,  berjudi,  mabuk- mabukan dan hal-hal keji lainnya. Meskipun disebut jahiliyah (bodoh), mereka telah memiliki kemampuan tinggi di bidang sastra. Kemampuan ini sering dipertontonkan lewat syair-syair yang diperlombakan. Syair-syair ini  yang nanti akan  menjadi hal penting bagi penulisan sejarah pada masa awal Islam.

Historiografi  lebih  mudah  dipahami  sebagai  penulisan  sejarah,  tulisan  atau literatur sejarah.  Dilihat dari  sudut pandang ilmiah, historiografi  diartikan sebagai kegiatan  yang  melaporkan  hasil  dari  tahapan-tahapan  ilmiah.  Historiografi dipandang  cukup  penting  untuk  dipelajari,  karena  dapat  membantu  untuk mengetahui sumber-sumber sejarah, para penulis sejarah  beserta sudut pandangnya dan metode sejarah.

Sementara  itu,  historiografi  pra-Islam,  meskipun  masyarakat  Arab  pra-Islam disinyalir belum memiliki kesadaran sejarah yang cukup, tetapi karya sastra mereka dapat dijadikan rujukan di masa awal Islam. Terdapat dua bentuk historiografi pra- Islam, yaitu al-ayyam dan al-ansab. Metode yang digunakan adalah metode tradisi lisan.

 

Referensi

Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta: Logos, 1997.

Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, Yogyakarta: Ombak, 2011.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.

Muin Umar, Historiografi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1978.

Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam:  Dari Klasik  Hingga Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Oleh : Deni Setiawan, Semester IV

Leave a Reply