Dalam agama Islam, sosok kiai merupakan posisi dan pemegang peranan yang kompleks dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana sudah tertanam dipikiran masyarakat bahwa kiai merupakan seorang panutan yang selalu dijadikan contoh oleh masyarakat dengan beragam kelebihan yang telah dimiliki. Al-Qur’an merupakan panutan bagi seorang muslim karena al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menjadi sarana ibadah untuk orang muslim. Salah satu ulama yang ahli dalam Qira’at al-Qur’an adalah KH. M. Munawwir Krapyak sebagai pemegang sanad al-Qur’an yang sampai kepada Rasuluallah Saw. Pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.
Biografi KH. M. Munawwir Krapyak
KH. M. Munawwir Krapyak adalah salah satu ulama Nusantara ahli qur’an mendunia abad ke 20 . Nama lengkapnya KH. M. Munawwir bin Kiai Abdullah Rasyad bin Kiai Hasan Bashari. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dari pasangan Kiai Abdullah Rasyad dengan Nyai Khadijah. Ia dikenal sebagai ulama ahli qira’at al-Qur’an yang ternama. Sebagai pemegang sanad al-Qur’an yang sampai kepada Rasulallah Saw. keberhasilannya mencetak generasi-generasi penghafal al-Qur’an yang kemudian tersebar diseluruh penjuru Nusantara membuat namanya melambung tinggi. KH. M. Munawwir adalah cucu Pangeran Senopati, Kiai Hasan Bashari. Ayahnya bernama Kiai Abdullah Rasyad yang memiliki 11 anak dari empat orang istri. Salah satu anak tersebut adalah KH. M. Munawwir, beliau memang telah ditakdirkan akan menjadi seorang kiai yang konsen dibidang al-Qur’an. Hal tersebut tercermin dari sebuah kisah yang menceritakan bahwa kakeknya Kiai Hasan Bashari, sebenarnya ingin sekali menghafalkan al-Qur’an. Tetapi setelah berusaha berkali-kali, keinginannya itu tidak terlaksana juga. Setelah itu, ia bermujahadah dan berdo’a kepada Allah SWT. Akhirnya ia mendapatkan ilham bahwa anak keturunannya lah yang akan menjadi seorang penghafal al-Qur’an yaitu KH. M. Munawwir.
Pendidikan KH. M. Munawwir
Pada usia kanak-kanak, KH. M. Munawwir sudah dititipkan di sebuah Pesantren di Bangkalan yang di asuh oleh KH. Maksum. Di pesantren inilah bakat kefasihan KH. M. Munawwir didalam al-Qur’an mulai tampak. Bukan hanya KH. Maksum, ulama Nusantara lain seperti KH. Abdullah, KH. Kholil, KH. Sholeh Darat, KH. Abdu Al-Rahman itu merupakan guru dari KH. M. Munawwir. Pada tahun 1888 M, KH. M. Munawwir melanjutkan belajar ke Mekkah al-Mukarromah. Beliau menetap selama 16 tahun untuk mempelajari al-Qur’an, tafsir, dan qira’ah sab’ah. Beliau belajar kepada Syekh Abdullah Sanqoro, Syekh Sarbani, Syekh Mukri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Mansur, Syekh ‘Abd Al-Syakur dan Syekh Musthafa. Di kota suci ini KH. M. Munawwir berhasil menghafalkan al-Qur’an 30 juz dengan qira’ah sab’ah (bacaan tujuh). Keberhasilan ini menjadikan KH. M. Munawwir tercatat sebagai ulama pertama Jawa yang berhasil menguasai qira’ah sab’ah. Untuk menjaga hafalanya, sewaktu di Mekkah KH. M. Munawwir memiliki metode tersendiri yaitu:
- Pada tiga tahun pertama ia mengkhatamkan sekali al-Qur’an selama tujuh hari tujuh malam.
2. Tiga tahun selanjutnya ia mengkhatamkan al-Qur’an tiga hari tiga malam
3. Tiga tahun terakhir ia hanya butuh sehari semalam untuk mengkhatamkan al-Qur’an.
Semenjak itulah hafalan KH. M. Munawwir ibarat kaset yang siap sewaktu waktu untuk diputar. Karena beliau sudah merasa cukup bisa menjaga hafalannya. Ia melanjutkan kembali rihlahnya ke kota Madinah dengan mendalami ilmu tauhid, fiqih, bahasa, selama lima tahun. Setelah lamanya bermukim di Arab Saudi kurang lebih 21 tahun (sampai 1909), KH. M. Munawwir kembali ke Indonesia tanah kelahiranya di Kauman Yogyakarta. Di Kauman ini beliau menyelenggarakan majelis pengajian al-Qur’an yang bertempat di langgar. Pengajian yang di asuh KH. M. Munawwir banyak didatangi dan diikuti masyarakat Kauman dan sekitarnya.
Semenjak mendirikan pengajian di kampung halamannya, ketokohan dan keulamaan KH. M. Munawwir mulai di kenal oleh masyarakat Yogyakarta. Semenjak itulah banyak santri yang berdatangan ke tempat pengajian KH. M. Munawwir menyebabkan tempat pengajian menjadi penuh sesak. Karenanya atas timbangan dan masukan Kiai Said yaitu Kiai pertama yang ditemui KH. M. Munawwir sekembalinya di Mekkah, Madinah, beliau berkehendak mendirikan Pesantren.
Demikian pada akhir 1909 M KH. M. Munawwir merintis Pondok Pesantren yang kemudian di kenal dengan pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Dengan pembangunan tahap awal berupa rumah kediaman dan langgar yang bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Pada masa awal berdirinya pengembangan dan pendidikan ditangani langsung oleh KH. M. Munawwir yang di bantu para santri senior salah satunya yaitu KH. Arwani Kudus yang dipercayai membangun pemondokan dan menangani administrasi pesantren.
Pada awal berdirinya sekitar 1909-1920 jumlah santri Krapyak kurang lebih 60 orang. Angka itu mengalami peningkatan sedikit pada 1921-1923, dimana jumlah santrinya mencapai 150 orang beberapa diantaranya:
- Kiai Yusuf (Kuningan Cirebon)
2. Kiai Abdul Jamil (Cirebon)
3. Kiai Ma’shum (Gedongan Cirebon)
4. Kiai Abu Darba (Kutoarjo)
Demikian seterusnya sampai KH. M. Munawwir wafat jumlah santri kurang lebih 200 orang yang berdatangan dari berbagai wilayah Nusantara, mulai dari Jawa sampai ke Singapura. Meski awalnya pesantren Krapyak dirancang oleh KH. M. Munawwir untuk pengajian al-Qur’an, tetapi kitab lain juga seperti fiqih, hadist, tafsir dan lain lain dipelajari disana. Pendidikan dan pengajaran kitab kuning tersebut semakin semarak dan tumbuh besar di pesantren Krapyak, terutama ketika datangnya KH. Ali Makhsum (menantu KH. M. Munawwir). Kiai yang berjasa mengembangkan pendidikan sistem madrasah di pesantren Termas ini dipercaya oleh keluarga Krapyak untuk mengembangkan pondok pesantren Krapyak sampai sekarang pun masih pegang di pegang oleh beliau.
Wafat Kiai H. M. Munawwir Krapyak
KH. M. Munawwir wafat pada Jum’at, 11 jumadil Akhir, 1360 H/6 juli 1942 M. Sebelum wafat, ia memberi beberapa wirid yang diijazahkan siapa saja berupa “Do’a segala hajat”, yaitu:
- Membaca surah al-Fatihah dan ketika sampai pada ayat kelima, di ulang sebanyak 3,7,11,21, atau 41 kali sesuai dengan hitungan yang dikehendaki seraya dihayati makna dan fokus terhadap apa yang menjadi hayatnya.
2. Mengkhatamkan surat Yasin sebanyak 41 kali
Referensi:
Rokhim Nur, Kiai-Kiai Kharismatik dan Fenomenal Yogyakarta: IRCiSoD, 2015
Mujib, dkk., Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003)
Masyhuri Aziz, 99 Kiai Kharismatik Indonesia (Bogor:Keira Publishing, 2017)
Syakur Junaidi A.,dkk, Biografi KH. M. Munawwir Krapyak, (Yogyakarta: Al-Munawwir, 1998)
Dhofir Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Jakarta, (Jakarta: LP3ES, 1982)
Kontributor: Istiqomah, Semester VI