Mengenal Sunan Bonang,  Dakwahnya dan Peninggalan-Peninggalannya

Mengenal Sunan Bonang, Dakwahnya dan Peninggalan-Peninggalannya

Ma’had Aly – Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)

Sunan Bonang adalah putra keempat Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila putri Arya Teja, Bupati Tuban. Beliau juga adalah kakak dari Sunan Drajat. Nama aslinya adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau diperkirakan lahir pada bulan Muharram 1456 M. Karena merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Sunan Bonang memiliki silsilah yang sama dengannya, yakni masih merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad saw.

Selain memiliki empat saudari seibu, Sunan Bonang juga memiliki beberapa orang saudari dari lain ibu. Di antaranya adalah Dewi Murtosiyah yang diperistri Sunan Giri dan Dewi Murtosimah yang diperistri Raden Fatah. “Babad Cirebon” masih menyebut bahwa dari istri ayahnya yang lain, Sunan Bonang memiliki saudara Seh Mahmud, Seh Saban alias Ki Rancah, Nyai Mandura, dan Nyai Piah. Keterangan tentang saudara-saudari Sunan Bonang dalam “Babad ing Gresik” yang menyebut nama sembilan orang putra Sunan Ampel : (1) Nyai Ageng Manyuran, (2) Nyai Ageng Manila, (3) Nyai Ageng Wilis, (4) Sunan Bonang, (5) Sunan Drajat, (6) Ki Mamat, (7) Seh Amat, (8) Nyai Ageng Medarum, dan (9) Nyai Ageng Supiyah.

Oleh karena ibu kandungnya berasal dari Tuban dan adik kandung ibunya, Arya Wilatikta, menjadi Adipati Tuban, Sunan Bonang sejak kecil memiliki hubungan khusus dengan keluarga Bupati Tuban, yang sampai wafat pun beliau dimakamkan di Tuban. Kisah hubungan dekatnya dengan Sunan Kalijaga yang dalam legenda dikisahkan sebagai hubungan guru-murid, hendaknya dilihat dalam konteks kekeluargaan. Arya Wilatikta Adipati Tuban yang merupakan paman Sunan Bonang adalah ayah dari Sunan Kalijaga.

Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Fatah, dan Raden Kusen. Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishaq, yaitu sewaktu bersama-sama dengan Raden Paku (Sunan Giri) ke Malaysia dalam perjalanan haji ke Tanah Suci.

Wilayah dan Dakwahnya

Sunan Bonang dalam berdakwah diketahui menjalankan pendekatan yang lebih mengarah kepada hal-hal bersifat seni dan budaya, sebagaimana hal serupa dilakukan Sunan Kalijaga, muridnya. Selain dikenal sering berdakwah dengan menjadi dalang yang memainkan wayang, Sunan Bonang juga piawai menggubah tembang-tembang mocopat. Kiranya dari pihak keluarga ibunya yang merupakan bangsawan di Tuban, Sunan Bonang banyak belajar tentang kesenian dan budaya Jawa, yang membuatnya memahami dan menguasai seluk-beluk yang berkaitan dengan kesusastraan Jawa, terutama tentang tembang-tembang jenis mocopat yang sangat populer saat itu. Sejumlah tembang mocopat diketahui digubah oleh Sunan Bonang.

Menurut “Babad Daha-Kediri”, usaha dakwah awal dilakukan Pangeran Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di pedalaman Kediri adalah dengan pendekatan yang cenderung bersifat kekerasan. Putra Sunan Ampel itu tidak sekedar dikisahkan merusak arca yang dipuja penduduk, melainkan telah pula mengubah aliran air sungai Brantas dan mengutuk penduduk suatu desa gara-gara kesalahan satu orang warga. Untuk menjalankan dakwah Islam di pedalaman, Sunan Bonang dikisahkan mendirikan langgar (mushala) pertama di tepi barat Sungai Brantas, tepatnya di desa Singkal (sekarang masuk wilayah kabupaten Nganjuk).

Rupanya, setelah kurang berhasil melakukan dakwah di Kediri, menurut naskah “Hikayat Hasanuddin”, Sunan Bonang pergi ke Demak atas panggilan “Pangeran Ratu” untuk menjadi Imam Masjid Demak. Yang dimaksud “Pangeran Ratu”, kiranya adalah sebutan bagi Raden Fatah, yaitu kakak ipar Sunan Bonang. Sebutan Sunan Bonang yang diberikan kepada Pangeran Makdum Ibrahim putra Sunan Ampel ini berkaitan dengan tempat tinggal barunya di Desa Bonang di Demak. Sebagai imam yang tinggal di Bonang, masuk akal jika Pangeran Makdum Ibrahim kemudian disebut dengan gelar hormat Sunan Bonang yang bermakna guru suci yang berkediaman di Bonang. Namun tidak lama kemudian, jabatan sebagai imam masjid Demak ditinggalkannya. Jabatan imam masjid kemudian digantikan oleh orang yang bernama Ibrahim yang digelari Pangeran Karang Kemuning. Ia seorang alim yang berasal dari negeri atas angin (Negeri-negeri yang dipandang sebagai asal angin, India, Iran, dan Arab, juga Eropa. Jika kita lihat dalam peta, negeri atas angin berada di atas Nusantara). Pangeran Karang Kemuning ini dikisahkan menikah dengan Nyai Gede Pancuran, saudari Sunan Bonang. Demikianlah, setelah meninggalkan jabatan imam masjid Demak, Sunan Bonang dikisahkan tinggal di Lasem.

Menurut naskah “Cerita Lasem”, pada usia 30 tahun, Sunan Bonang dijadikan Wali Negara Tuban yang mengurusi berbagai hal menyangkut agama Islam. Sejak saat itu, Sunan Bonang sering terlihat berada di Tuban.

Dalam berdakwah, Raden Makdum Ibrahim dikenal sering menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. Salah satunya dengan perangkat gamelan, gamelan Jawa yang disebut Bonang, yang menurut R. Poedjosoebroto dalam “Wayang Lambang Ajaran Islam” (1978), kata “bonang” berasal dari suku kata Bon + nang = babon + menang = baboning kemenangan = induk kemenangan. Bonang sendiri adalah sejenis alat musik dari bahan kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran kecil. Pada masa lampau, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang, juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga dalam rangka menyampaikan wara-wara dari pemerintah kepada penduduk.

Sunan Bonang dikenal sebagai penggubah tembang-tembang Jawa dan membuat berbagai jenis gending untuk berdakwah. Bahkan, ia dianggap sebagai salah satu seorang penemu alat musik gamelan Jawa yang disebut dengan Bonang, yaitu nama gamelan yang diambil dari nama tempat yang menjadi kediaman Sunan Bonang, yaitu desa Bonang di daerah Lasem (Rembang).

Menurut catatan “Sadjarah Dalem”, Sunan Bonang dikisahkan hidup tidak menikah atau membujang sampai wafatnya. Penjelasan ini sama dengan “Cerita Lasem” yang menggambarkan Sunan Bonang sejak tinggal di Lasem sampai tinggal di Tuban tidak memiliki seorang istri. Dalam “Babad Tanah Jawi” pun tidak disebut adanya istri dan putra dari Sunan Bonang.

Peninggalan dan Jejak Sejarahnya

Wayang Kulit

Dalam kesenian wayang kulit, Sunan Bonang tidak berperan sendiri. Ia dibantu oleh tokoh-tokoh yang lain, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Prawoto, dan Raden Fatah untuk menyempurnakan kesenian wayang kulit.

Sunan Bonang berperan dalam menyusun struktur gramatika (tata bahasa) pewayangan, sehingga bahasa yang disampaikan menjadi lebih dinamis dan dapat diikuti oleh masyarakat dari zaman ke zaman. Sementara Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu diganti dengan batang pisang. Ada juga penambahan blencong, kotak wayang, cempala dan gunungan. Sedangkan Sunan Prawoto menambahkan tokoh raksasa, kera, dan juga skenario cerita di dalamnya. Lalu Raden Fatah menambahkan tokoh gajah dan wayang Pramponan.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon yang memasukkan tafsir-tafsir khas Islam, seperti kisah perseteruan Pandawa-Kurawa.

Masjid Demak

Dikisahkan bahwa ada empat orang wali yang berperan dalam proses pembangunan Masjid Demak, yaitu Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Peran keempatnya menurut Aboebakar (1955) terlihat dari pembuatan tiang penyangga masjid yang disebut dengan istilah “Soko Guru”.

Sunan Bonang membuat soko guru sebelah barat laut, Sunan Ampel membuat soko guru sebelah tenggara, Sunan Gunung Jati membuat soko guru sebelah barat daya, dan Sunan Kalijaga membuat soko guru dari kepingan-kepingan kayu kecil yang disebut dengan istilah “Soko Guru” yang diletakkan di sebelah timur laut.

Gamelan

Sunan Bonang yang memiliki bakat kesenian menyempurnakan instrumen gamelan terutama bonang, kenong, dan kempul. Ia dikenal sebagai kreator gamelan Jawa seperti yang kita saksikan di era sekarang ini. Hasil gubahan Sunan Bonang memiliki pesan-pesan dzikir yang mendorong kecintaannya kepada kehidupan transendental (Ilahiyat, kerohanian). Pesan transendental dalam gamelan karya Sunan Bonang ini menjadi sarana yang mampu menyadarkan masyarakat dalam beragama. Dari sini agama Islam kemudian menyebar kepada masyarakat tanpa ada paksaan sedikitpun.

Tembang

Tembang-tembang ciptaan Sunan Bonang sampai saat ini terus berkumandang merdu di tengah masyarakat. Salah satu tembang ciptaannya adalah “tombo ati”. Sejumlah tembang ciptaannya terdapat dalam tembang mocopat, seperti Sinom, Wirangrong, Kinanti, Asmorodono atau Dandanggulo. Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Madura, tembang mocopat disebut dengan istilah “mamacah”.

Tembang ini masih berkembang di wilayah Madura dan beberapa daerah lain di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur. Lazimnya kesenian mocopat ini ditampilkan pada acara khitanan, pernikahan, selamatan kehamilan, dan lain sebagainya. Tembang mocopat memuat tentang kisah para Nabi dan sejarah kaum arif terdahulu yang sangat menginspirasi masyarakat dalam konteks kekinian. Bahkan tembang mocopat itu dapat digunakan untuk meramal masa depan seseorang.   

Suluk Wijil

Suluk Wijil adalah karya sastra Sunan Bonang bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa yang isinya menitikberatkan masalah hakiki seputar wujud dan rahasia-rahasia terdalam dari ajaran agama Islam, dipadu dengan pertanyaan metafisik yang substansial.

Ajaran-Ajaran Sunan Bonang

Sunan Bonang diketahui mensyiarkan Islam melalui beberapa metode, di antaranya memanfaatkan media wayang, tembang, sastra sufistik, termasuk tasawuf.

Ajaran tasawuf Sunan Bonang tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air ditempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan kepada filsafat cinta (‘Isyq) yang sangat mirip  dengan kecenderungan Jalaluddin Rumi. Menurut beliau, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah swt atau haqqul yaqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Sunan Bonang dalam berdakwah lebih banyak menggunakan kesenian dan kebudayaan, beliau memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam kesenian dan kebudayaan tersebut, terutama yang banyak beliau ajarkan adalah tentang tasawuf (ketuhanan).

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Dengan meninggalkan banyak warisan, khususnya berupa karya sastra. Adapun makam Sunan Bonang diyakini terdapat di beberapa daerah, yakni di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Rembang. Sedangkan makam Sunan Bonang yang banyak dikunjungi dan di ziarahi ialah makam yang berada di Tuban.

Referensi

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Depok: Pustaka Iman, 2017.

Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, dari Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara, Jakarta: Diva Press, 2016

Zada Khazami dkk., Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Oleh : Achmad Bayhaqi, Semester VI

Leave a Reply