Ibnu Sina, Ilmuan Islam dengan Julukan “Father of Doctors”

Ibnu Sina, Ilmuan Islam dengan Julukan “Father of Doctors”

Abu Ali Husain bin Abdullah bin Sina atau Ibnu Sina (370-429 H/980-1037 M), dikenal di dunia Barat dengan julukan Avicenna dan “Pangeran para Dokter”. Dia juga memperoleh gelar dari murid-muridnya, yakni Al-Syaikhnal-Ra’is (Pemimpin Orang Bijak) dan dikenal di Timur dengan gelar Hujjat al-Haqq (Bukti Sang Kebenaran/Tuhan). Ibnu Sina juga dijuluki sebagai Medicorum Principal atau Raja Diraja Dokter oleh kaum Latin Skolastik. Ibnu Sina juga terkenal sebagai ahli dalam bidang kedokteran dan filsafat. Pada abad pertengahan Ibnu Sina telah menulis autobiografi, yang kemudian dituntaskan oleh murid sekaligus sekretaris dan temannya yang bernama Abu ‘Ubayd al-Juzjani. Autobiografi itu kemudian disebarkan oleh sejumlah penulis biografi, seperti Al-Baihaqi (w. 565 H’1170 M), Al-Qifthi (w. 646 H/1248 M), Ibn Abi Ushaibi’ah (w. 669 H/1270 M) dan Ibnu Khalikan (w. 680 H/1282 M).

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H (980 M) di Afshanah, desa kecil dekat Bukhara Afghanistan dan berbangsa Balkha, sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari Dinasti Persia di Asia Tengah dan Khurasan. Ibnu Sina wafat  pada tahun 428 H/1037 M. Ayahnya bernama ‘Abdullah seorang penganut Ismailiyah yang disegani, dan merupakan ilmuwan dari Balkha, sebuah kota penting dari kekuasaan Samani yang sekarang merupakan bagian dari wilayah Afghanitan. Ibunya bernama Sitarah yang juga berasal dari Bukhara. Ibnu Sina merupakan putra kedua dari tiga bersaudara yakni Ali, Al-Husain (Ibnu sina), dan Mahmud. Pada saat Ibnu Sina berumur 5 tahun keluarga ini pindah ke Bukhara pada masa pemerintahan Nuh ibnu Mansur, kemudian ayah Ibnu Sina diangkat menjadi gubernur sebuah distrik di Bukhara oleh penguasa Samanish Nuh II bin Mansur.

Ibnu Sina memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, dikenal sebagai autodidak yang amat tekun dan brilian. Ilmu kedokteran ia kuasai hanya dengan waktu satu setengah tahun pada gurunya Isa bin Yahya. Menurut Rom Landau, nama Ibnu Sina menjadi masyhur dan mencapai taraf internasional sebagai dokter ahli, bahkan jauh melebihi dari dokter-dokter ternama yang ada pada masa itu, seperti Ali bin Sahl ath-Thaba’i, Ali bin Al-Abbas Al-Majusi dan Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya ar-Razi, sehingga  ia diundang untuk mengobati Sultan Samani di Bukhara yaitu Nuh ibn Mansur. Kemudian ia diberi kesempatan oleh sultan untuk menelaah buku-buku yang ada di perpustakaan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, ia mampu menghafal sebagian besar isi kitab-kitab tersebut.

Pelajaran pertama yang diterimanya pada masa kanak-kanak adalah al-Qur’an dan sastra. Meski masa belajarnya pada pendidikan formal berlangsung sangat singkat, yakni hanya 13 tahun. Ia mulai belajar pada usia dini yaitu 5 tahun sampai pada usia 18 tahun, Ibnu Sina mampu menguasai seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada pada masa itu. Ilmu agama seperti tafsir, fikih, perbandingan agama (ushuluddin), tasawuf, dan sebagian yang lain telah dikuasai saat ia berusia 10 tahun. Setelah itu, ia belajar ilmu hukum, logika, matematika, fisika, politik, kedokteran dan filsafat. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik belajar oleh sahabat karib ayahnya, yakni Abu Abdullah Natili, Abu Bakr Al-Khawarizmi, dan oleh ayahnya sendiri.

Menginjak usia 10 tahun, Ibnu Sina mulai terjun ke dunia filsafat sampai umur 16 tahun. Dan pada saat itu juga kecerdasannya mulai tampak. Sering terjadi soal-soal ilmiah yang tidak dapat diselesaikan oleh gurunya, namun ia mampu menyelesaikannya dengan cara yang mengagumkan. Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, Ibnu Sina dianggap sebagai sosok filosof muslim yang unik, bahkan ia tetap memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern sekarang ini. Ibnu Sina merupakan satu-satunya filsuf Islam yang telah berhasil membangun sitem filsafat yang lengkap dan terperinci.

Memasuki usianya yang ke 16 tahun, ia mulai berkelana ke dunia ilmu pengetahuan tanpa bimbingan dari seorang guru pun. Ilmu yang pertama kali yang memancing minatnya ialah ilmu kedokteran. Hampir semua buku-buku kedokteran yang ada ia baca, yang mana pada saat itu ia tidak mengalami kesulitan dalam mencernanya.

Pada awalnya di bidang metafisika, Ibnu Sina memang tampak agak lambat mendalaminya, namun justru dikemudian hari di bidang metafisika inilah ia dianggap paling ahli. Dalam pengakuan Ibnu Sina, satu-satunya bidang ilmu yang rumit adalah metafisika. Ia mengaku pernah membaca “Metaphysics” karya Aristoteles sebanyak empat puluh kali, namun ia belum bisa memahami maksud penulisan tersebut. Tanpa mengenal rasa lelah dan bosan, ia terus membaca sampai pada akhirnya ia menemukan tulisan Al-Farabi yang berjudul “On The Intentions of Metaphysic”. Setelah membaca tulisan Al-Farabi, barulah ia memahami apa itu metafisika. Risalah Al-Farabi pula telah berhasil menyingkap apa yang tersembunyi dari buku “Metaphysics” karya Artoteles yang konon telah dihapalnya kata perkata. Dia kembali mengkaji logika dan seluruh cabang filsafat, hingga ia menguasai seluruhnya. Uniknya jika ia mengalami kesulitan dalam menjawab sebuah masalah atau pertanyaan, maka ia langsung berwudlu dan pergi ke masjid untuk shalat dan berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjawabnya. Dan pada larut malam ia melanjutkan belajarnya, bila rasa kantuknya datang atau badannya terasa letih, ia langsung minum secangkir hingga timbul kembali kesegarannya. Akan tetapi jika kantuknya tidak tertahankan, maka Ibnu Sina tertidur dan bermimpi tentang soal-soal itu yang pada akhirnya menjadi terang.

Setelah ayahnya meninggal, ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan, di sana ia berjumpa dengan Abu Ubaid al-Jurjani yang kemudian akan menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Ibnu Sina tinggal di Jurjan sampai usia 35 tahun, di sana ia mengajar dan mengarang, akan tetapi karena kekacauan politik yang melanda ia tidak lama bermukim di kota tersebut, kemudian ia pergi ke Hamazan sampai usianya 44 tahun. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari Dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya, Sultan mengangkat Ibnu Sina menjadi Wazir Azhim (Perdana Menteri) di Rayyand.

Namun tidak lama dari memegang jabatan sebagai Perdana Menteri tersebut, Ibnu Sina ditangkap oleh pihak militer dan merampas hartanya bahkan berencana hendak membunuhnya. Akan tetapi atas bantuan dari sultan, ia dikeluarkan dari penjara. Suatu hari Sultan mengalami sakit perut (maag) dan Ibnu Sina pun berhasil menyembuhkan penyakit yang dideritanya, sebagai imbalannya sultan menobatkan Ibnu Sina sebagai menteri untuk yang kedua kalinya di Hamadan. Dan jabatan sebagai perdana menteri yang kedua kalinya, diembannya sampai sultan meninggal dunia.

Setelah Sultan Syams al-Daulah meninggal dunia, anaknya diangkat sebagai pengganti dan Ibnu Sina mengundurkan diri sebagai menteri. Ia ingin pergi ke Isfanah untuk bekerja pada Raja ‘Ala’uddaulah. Lalu ia ditangkap oleh Tajul Muluk, anak dari Sultan Syams al-Daulah dan dipenjarakan di benteng Fardajan di mana ia tinggal selama empat bulan. Dari Hamadan, ia lari dan menyamar menuju ke Isfahan (sampai usia 58 tahun), dis ana ia disambut dengan baik sekali.

Pada bulan-bulan terakhir hayatnya, ia meninggalkan pakaiannya untuk diganti dengan pakaian berwarna putih, memerdekakan semua budaknya dan menyedekahkan harta kekayaannya untuk fakir miskin serta mengahabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Ketika menyertai perjalanan Amir Alauddin ke Hamadan, Ibnu Sina meninggal dunia karena terserang penyakit usus besar yang mana Ibnu Sina tidak sanggup mengobatinya. Ibnu Sina meninggal di Hamadan Persia, pada bulan Ramdhan 1037 M pada usianya 58 tahun dan dimakamkan di sana, yang sekarang termasuk negara Iran bagian Barat.

Ketika memperingati 1000 tahun hari kelahiran Ibnu Sina (Fair Millenium) di Taheran pada tahun 1955 M, dilangsungkan Konferensi Internasional tentang prestasi Ilmu Medis Ibnu Sina. Dalam momen itu juga, Ibnu Sina dinobatkan sebagai Father of Doctors untuk selama-lamanya, serta dibangun sebuah monumen sejarah untuk mengenangnya. Sedangkan makam Ibnu Sina di Hamadan dikepung oleh berpuluh-puluh makam para dokter, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka dapat dikuburkan dalam deretan Bapak Dokter Islam itu. Sampai saat ini makam tersebut dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.

Ibnu Sina menulis sebanyak 450 risalah atau acuan  tentang berbagai subjek, yang masih ada karyanya sekitar 240. Khususnya 150 karya risalah yang masih ada tersebut terkait dengan falsafah dan 40 di antaranya terkait dengan kedokteran atau pengobatan. Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab al-Syifa’ (kitab penyembuhan) yang merupakan ensiklopedi ilmiah dan falsafah yang luas, dan Kitab al-Qanun fi al-Thibb (undang-undang kedokteran) yang telah menjadi teks standar (buku wajib) diberbagai Universitas pada abad pertengahan. Karyanya yang lain meliputi tulisan tentang falsafah, astronomi, kimia, geologi, psikologi, ilmu kalam, logika, matematika, fisika, juga puisi. Ibnu Sina dipandang sebagai ilmuan terkenal dan terkemuka pada masa kejayaan Islam.

Referensi

El-Saha, et. al., Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi, 2004.

Laili Sahlah, Peran Ibnu Sina Dalam Pengembangan Sains Islam Di Persia (980-1037 M). Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015.

Oleh :  Sri Nursukma Dewi, Semester III

Leave a Reply