Romantika Cinta Sayyidah Khadijah

Romantika Cinta Sayyidah Khadijah

Ma’had Aly – Mekkah, sebuah kota yang tak bisa lepas dari sejarah besar peradaban Islam. Angin yang berembus di padang pasir, pohon kurma, langit, gunung-gunung berbatu kapur menjadi saksi akan lahirnya suri tauladan seluruh wanita di dunia, yaitu Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah.

Khadijah binti Khuwailid adalah seorang sayyidah panutan, suri tauladan bagi para wanita di dunia. Selain itu, Sayyidah Khadijah juga mendapatkan julukan ath-Thahirah, yang tidak lain karena beliau seorang yang bersih dan suci. Sayyidah Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia lagi terhormat, kisaran 15 tahun sebelum tahun gajah.

Sayyidah Khadijah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mulia dan terhormat. Meskipun Sayyidah Khodijah hidup di zaman jahiliyah, akan tetapi akhlak sucinya tetap terjaga semasa hidupnya. Beliau tetap membawa cahaya bagi kegelapan. Sayyidah Khadijah memiliki pribadi yang teguh dalam pendirian juga cerdik dan memiliki perangai yang luhur, serta memiliki paras yang cantik dan anggun. 

Saat penduduk Mekkah berada pada masa jahiliyah, di mana mayoritas penduduknya  menuhankan berhala/menyembah berhala yang mereka yakini kekuatannya dapat memberikan nasib baik kepada penyembahnya, tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Sayyidah Khadijah. Karena beliau termasuk pengikut Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Sayyidah Khadijah adalah seorang penganut aliran yang mempercayai hanya satu Tuhan.

Sepeninggal ayahnya, pada 585 M Sayyidah Khadijah mengambil alih bisnis keluarga dan mengembangkannya. Dalam menjalankan bisnis, Sayyidah Khadijah tak langsung pergi ke Yaman atau Syiria. Beliau duduk di rumah dan semua dagangannya dititipkan kepada orang-orang yang telah dipercayainya. Dalam hal perdagangan, Sayyidah Khadijah menggunakan sistem bagi hasil.

Dengan segudang kelebihan lahir dan batin yang dimiliki Sayyidah Khadijah, menyebabkan banyak lelaki menaruh simpati kepada Sayyidah Khadijah dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Abu Halah bin Zurarah At-Tamimi, seorang lelaki yang paling beruntung di antara ratusan lelaki lain dalam kabilahnya. Ialah yang menikahi Sayyidah Khadijah yang kemudian dikaruniai dua putra yang diberi nama Halah dan Hindun. Namun bahagia itu tak berlangsung lama, Allah mengukirkan kisah kehidupan yang lebih indah dari harapan setiap insannya. Abu Halah meninggalkan Sayyidah Khadijah kembali keharibaan-Nya di saat mereka mengukir kisah cintanya di atas dunia yang fana. 

Sudah menjadi adat bangsa Arab, seorang wanita tidak boleh terlalu lama menjanda demi menjauhi dari berbagai fitnah. Sayyidah Khadijah kemudian dinikahi oleh Atiq bin Aid bin Abdullah al-Makhzumi, tetapi pernikahan tersebut juga tak berlangsung lama. Karena hukum alam tetap berlaku, manusia hanya berhak merencanakan dan tetaplah Allah yang lebih berhak menentukan. Sayyidah Khadijah dan Atiq bin Aíd bin Abdullah al-Makhzumi yang menempuh jalan pernikahan bukan berniat untuk berpisah. Namun, keduanya akhirnya menempuh jalan pisah sebagai pilihan terbaik dari manusia pada umumnya. 

Dengan kelebihan yang dimiliki oleh Sayyidah Khadijah, tidak menutup kemungkinan pengalaman yang dulu dirasakan oleh Sayyidah Khadijah saat suami pertamanya wafat, kini terulang kembali. Setelah perceraiannya dengan Atiq bin Aíd  bin Abdullah al-Makhzumi, banyak dari para pemuka Quraisy yang ingin mempersunting beliau. Status janda yang disandangnya ternyata tidak mampu memudarkan aura kemuliaan dan segala keindahan yang dimiliki Sayyidah Khadijah yang dianugerahkan Allah swt. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat dan kesopanan, Sayyidah Khadijah selalu menolak dengan halus dari setiap pinangan yang datang kepadanya. Pada saat itu Sayyidah Khadijah lebih mengutamakan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga disibukkan dengan perniagaannya.

Sayyidah Khadijah tidak terbersit untuk membina rumah tangga baru, bukan karena trauma akan pengalaman yang pernah beliau rasakan. Namun, itu semua karena Sayyidah Khadijah seakan telah lupa akan perasaan pribadinya, namun tetap saja rasa kesepian itu melanda hati Sayyidah Khadijah. Namun, rasa kesepian tersebut sirna saat beliau mengurus keluarga sebagai kepala rumah tangga sekaligus tuan dari perniagaannya. Hingga akhirnya, Allah swt menunjukkan kuasa-Nya dengan mengawali kisah baru dalam kehidupan ratu terkaya di Makkah Al-Mukarramah tersebut. 

Atiq mendatangi Sayyidah Khadijah berniat untuk melamarkan Muhammad menjadi karyawannya yang akan diikutsertakan dalam kafilah dagang ke Syam. Sayyidah Khadijah seketika berpikir apakah ini takwil mimpinya sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ada seorang lelaki dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim. Beliau bernama Muhammad, orang yang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan kelak akan menjadi nabi akhir zaman. Seketika itu, timbullah hasrat dalam hati Sayyidah Khadijah untuk menjadikan Muhammad sebagai suaminya, tetapi Sayyidah Khadijah tak mau mengungkapkannya karena khawatir terjadi fitnah. 

Sayyidah Khadijah langsung menerima Muhammad menjadi karyawannya dan mengamanatkan barang dagangannya yang akan diperjualbelikan ke Syam. Allah swt memberikan segenap keberkahan kepada kekasihnya, Muhammad. Dengan kepiawaian dan kejujurannya dalam berdagang, setiap perdagangan yang dikerjakan Muhammad selalu menghasilkan laba yang banyak. Sayyidah Khadijah, tentu merasa gembira dengan hasil yang memuaskan tersebut. Ketakjuban dan kekaguman yang dirasakan Sayyidah Khadijah pada Muhammad dengan sifatnya yang mulia itu menumbuhkan benih-benih cinta.

Jatuh cinta pada Muhammad menjadikannya sebagai wanita yang paling beruntung di dunia dengan perasaan tersebut. Namun rasa indah itu menjadi samar ketika beliau kembali mengingat siapa dirinya. Beliau merasa tidak pantas bersanding dengan Muhammad, karena beliau hanyalah janda yang telah dua kali menikah dan telah memiliki putra-putri yang beranjak dewasa.

Di saat kebingungan mendera hatinya, yang menghilangkan selera makannya, muncullah seorang sahabatnya yang bernama Nafisah binti Munabbih. Dengan karunia Allah swt yang diberikan kepada Nafisah binti Munabbih berupa kecerdasan yang dimilikinya, beliau mampu menyibak rahasia yang disembunyikan Sayyidah Khadijah, tentang perasaan yang sedang beliau rasakan kepada Muhammad. Nafisah membesarkan hati Sayyidah Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Sayyidah Khadijah adalah wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan paras yang cantik. Terbukti para pemuka Quraisy banyak yang ingin menyuntingnya.

Mendengar penuturan sahabatnya, Sayyidah Khadijah agak lega. Bukan sanjungan yang beliau inginkan, hanya Muhammad-lah yang beliau inginkan. Dengan kecerdasan Nafisah, beliau menanyakan kepada Muhammad dengan bahasa yang halus, dan akhirnya tujuan Nafisah pun tersampaikan dan Muhammad menyetujuinya.

Muhammad pun langsung memberitahukan kepada pamannya apa yang dikatakan Nafisah kepadanya. Kemudian berangkatlah Abu Thalib, Hamzah dan sahabat lain untuk menemui paman calon mempelai wanita ialah Amru bin Asad untuk menyampaikan maksud kedatangannya yaitu melamar Sayyidah Khadijah. Setelah lamaran diterima, Abu Thalib menyerahkan mahar serta merundingkan hari pernikahan keduanya.

Tibalah waktu pernikahan Muhammad dengan Sayyidah Khadijah yang dilangsungkan setelah 2 bulan setelah kepulangan Muhammad dari perniagaannya dari negeri Syam. Muhammad mengenakan jubah dan tongkat serta Abu Thalib meletakkan sorban hitam lambang kaumnya di atas kepala mempelai lelaki dan memasangkan sebuah cincin bermata akik hijau di jari Muhammad. Sedangkan Sayyidah Khadijah mengenakan gaun berwarna merah tua dikombinasikan dengan hijau yang dihiasi dengan kancing-kancing emas dan tempelan mutiara serta zamrud, dan di kepala Sayyidah Khadijah mengenakan sebuah mahkota yang bertahtakan emas dan berlian yang keindahannya memesona. Muhammad memberikan mas kawin kepada Sayyidah Khadijah berupa 20 ekor unta. Usia Sayyidah Khadijah saat itu ialah 40 tahun sedangkan Muhammad berumur 25 tahun.

Pada saat nabi swt berkhalwat di gua Hira, Khadijah sangat mendukungnya karena tujuan nabi berkhalwat adalah untuk menjauhi perbuatan sia-sia yang biasa dilakukan olah orang Mekkah, yakni menyembah berhala.

Khadijah tidak merasa tertekan dengan tindakan yang dilakukan nabi walaupun keduanya terkadang harus berpisah pada waktu tertentu. Apabila Khadijah melihat Nabi saw pergi ke gua, kedua matanya dengan setia mengikuti arah ke mana Nabi saw melangkahkan kakinya sampai Khadijah tidak mendapati lagi sosok mulia tersebut. Bahkan, terkadang Khadijah juga menyuruh orang untuk menjaga Nabi saw, tanpa sepengetahuan beliau agar tidak ada yang mengganggu suaminya.

Sepanjang hidup bersama Nabi saw, Khadijah sangat setia mendampingi Nabi saw dalam peristiwa suka dan duka. Setiap kali Nabi saw ke gua Hira, Khadijah pasti menyiapkan semua bekal keperluannya. Seandainya beliau tidak pulang, Khadijah meninjau untuk memastikan keselamatan Nabi saw. Sekiranya nabi saw khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar, menunggu sampai beliau pulang.

Nabi saw berkhalwat di gua Hira sampai batas waktu yang dikehendaki Allah swt, hingga datanglah Malaikat Jibril dengan membawa wahyu dari Allah swt pada bulan Ramadhan. Malaikat Jibril datang dengan membawa wahyu berupa surat Al-Alaq ayat 1-5. Setelah Nabi saw menerima wahyu tersebut, beliau keluar dari gua menuju ke rumah di kegelapan fajar dalam keadaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku.” Khadijah segera mendekap Nabi saw dengan lembut dan berusaha menenangkan hati suaminya tersebut. Setelah tenang, Nabi saw menceritakan kepada Khadijah apa yang telah beliau alami. 

Khadijah dengan lembut berkata kepada Nabi saw, “Wahai suamiku, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya engkau adalah orang yang suka memupuk dan menjaga kekeluargaan serta sanggup memikul tanggung jawab. Dirimu dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberikan pertolongan, selalu berbicara benar dan amanah. Bergembiralah dan tentramkanlah hatimu. Demi Allah swt, engkau ini benar akan menjadi nabi utusan Allah swt bagi umat kita.’’

Khadijah adalah sosok istri yang sangat setia dan selalu memberi kenyamanan bagi orang terdekatnya, terutama suaminya. Dengan kelembutan dan kebersihan hatinya memunculkan sifat yang jarang dimiliki oleh seluruh wanita di dunia ini.

 

Referensi

Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. 1997. Sirah Nabawiyah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 

Roziqin, Badiatul. 2019. The Golden Stories Of Khodijah. Yogyakarta: Semesta Hikmah Publishing.

Laskar Lawang Songo ’12. 2014. Mirror. Kediri: Lirboyo Pres.

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2018. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad Hasan. 2015. Perempuan Teladan Sepanjang Masa. Terj. Tubagus kesa Purwa Sandy. Bandung: Mizania.

Oleh : Alfiani Mafidhotul Khasanah, Semester IV

This Post Has 3 Comments

  1. Asep Mulyadi

    Kisah cinta yang inspiratif sekali. Garis takdir yang sempurna dari Allah SWT yang Maha Sempurna. Laki-laki baik-baik untuk perempuan baik-baik. Perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik. Mempersiapkan diri atau memantaskan diri untuk mendapatkan yang terbaik.

  2. More Zaki badruzzamsn

    Bagus👍👍👍👍

  3. M zaki badruzzaman

    👍👍👍👍

Leave a Reply to Asep Mulyadi Cancel reply