Biografi Noerhasjim Gandhi
Salah seorang sukarelawan pejuang integrasi tanah Papua yang bernama Drs. KH. Noerhasjim Gandhi bin Ghozali. Lahir di Banyuwangi 11 Agustus 1935 dan wafat di Sorong 12 Oktober 2013. Noerhasjim Gandhi awalnya merupakan utusan Departemen Agama untuk memenuhi permintaan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat untuk mengirimkan sukarelawan Guru Agama Islam. Selain Noerhasjim terdapat nama H.A. Mursjid Hanafiah, Tamrin Muzni, Moh Ali irfan dan Djamberansjah Chalil yang ditugaskan ke Papua.
Noerhasjim Gandhi merupakan salah seorang ulama pejuang yang tiba di Papua pada 5 Desember 1962 beberapa bulan pasca peristiwa Macan Tutul yang menewaskan Komodor Yos Sudarso. Dalam riwayat pendidikannya beliau menimba ilmu dari ayahnya (angkat) Kyai Moh. Shodiq di Banyuwangi, belajar Qiraah Sab’ah pada KH. Abd, Karim di Gresik, santri KH. Ahmad Damanhuri di Malang.
Kiprah Noerhasjim Gandhi
Noerhasjim mengawali kiprahnya di Waigama, Misool Raja Ampat sebagai guru Sekolah Dasar. Kisah menarik terjadi ketika penyerahan Irian Barat kepada RI 1 Mei 1963 dilaksanakan upacara penurunan bendera PBB dan dikibarkannya “Sang Saka Merah Putih” Kepala Distrik (bestuur) tidak berani menjadi inspektur upacara karena sebelumnya sudah tersiar kabar dari penduduk asli bahwa kalau bendera Indonesia berkibar, bendera Papua juga akan dikibarkan oleh sekelompok penduduk setempat yang anti terhadap Indonesia dan mendapat dukungan dari Belanda.
Dengan keberanian dan jiwa patriot yang dimilikinya, tampillah KH. Noerhasjim Gandhi sebagai Inspektur Upacara “Bestuur yang takut kemudian menunjuk saya, akhirnya saya terima, dan apapun yang akan terjadi akan saya hadapi, saya berniat jibaku (Jepang). Alhamdulillah saat bendera Merah Putih dikibarkan diikuti lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh anak-anak sekolah, meneteskan air mata sambil menghormat bendera merah putih.” (Dikutip dari catatan riwayat hidup KH. Noerhasjim Gandhi).
Noerhasjim Gandhi tergabung dalam laskar kesatuan yang bersifat rahasia dan bergerak di bawah tanah bernama OPI (Organisasi Pemuda Irian/Indonesia) yang awalnya berkedudukan di Misool di bawah pimpinan Abdul Rauf Anakotta dan di Yefman Salawati dengan pimpinan Basir Madjena, organisasi ini awalnya dibentuk oleh Y. Kuba Kilikulat, Hamis Rumagesan dan Rachban Puara. Laskar Pejuang lain di sekitar Sorong (kini Provinsi Papua Barat) di antaranya: gerakan Kesatuan Islam Nieuw Guinea (KING) pimpinan Raja Rumbati Ibrahim Bauw, Gerakan Organisasi Pemuda Cendrawasih Muda pimpinan Mahmud Singgirei Rumagesan (Raja Kukas) dan Abbas Iha. Di Kaimana terdapat Gerakan Persatuan Islam Kaimana (PIK) pimpinan Usman Saad dan Raja Namatota Umbair, semua gerakan bertujuan menentang pendudukan Belanda.
Selain itu terdapat organisasi pembebasan Irian Barat yang didirikan oleh Raja Mahmud Singgirei Rumagesan dalam pembuangannya di Makassar pada tahun 1953 bernama Gerakan Tjenderawasih Revolusioner Irian Barat (GTRIB) yang bertujuan membantu Pemerintah Republik Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman kolonial Belanda.
Baca Juga:
Aipon Asso, Umar Bin Khattab-nya Tanah Papua
Noerhasjim menikah di Misool dengan Haurah Sangaji kemudian bergerak ke Kota Sorong bergabung bersama pejuang lain mempersiapkan dan mengawal PEPERA tahun 1969. Di kota Sorong beliau konsentrasi di bidang Keagamaan dan Pendidikan. Selain mengajar Noerhasjim dan kawan-kawan diantaranya H.Uso tetap bergabung dengan OPT pimpinan Bastian Samori dan Elimelek Ayomi.
Sebagai anggota gerakan dari organisasi pejuang yang tugas utamanya sebagai guru Noerhasjim dan kawan-kawannya diawasi diam-diam oleh otoritas UNTEA yang masih ditunggangi Belanda. Peran sebagai guru agama yang dihormati cukup membantu dalam mendekati tokoh agama dan masyarakat setempat dan hal tersebut cukup memudahkan dalam mengemban tugas mempengaruhi pilihan dalam PEPERA di kemudian hari.
Para pejuang integrasi yang menyamar sebagai guru bertugas menyerap informasi menyangkut persiapan Belanda mempertahankan Irian dan pengaruhnya terhadap rakyat Irian Barat, informasi yang dikumpulkan laskar OPI meliputi persenjataan, kekuatan tentara dan pejuang lokal Papua yang memihak Belanda, kubu pertahanan dan lokasinya. Kota Sorong menjadi rawan karena merupakan basis pertahanan Belanda yang cukup terbuka dan sudah diakses dari luar.
Pada masa tersebut pihak Belanda pada tahun 1960 telah membentuk Batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwilligers Korps) dan berkedudukan di Arfai, Manokwari. Sebelumnya telah terbentuk Nieuw Guinea Raad (semacam parlemen atau Volksraad) pada tahun 1952 dan dilanjutkan dengan pembentukan 10 dewan daerah (streak raad), Pembentukan kelompok semi militer (milisi rakyat) dan lembaga demokrasi kolonial ini dimaksudkan untuk diperhadapkan dan menindas gerakan dan keinginan masyarakat Papua yang dinilai pro-Indonesia.
Setelah Belanda mengetahui keberadaan gerakan pejuang bawah tanah OPI yang sangat membahayakan masa depan Belanda di Papua maka mulailah polisi dan tentara Belanda menggeledah rumah-rumah pemimpin dan anggota gerakan. Para pemimpin gerakan yang paling anti Belanda mulai ditangkap di antaranya Elias Paprindey, Bastian Samori, Abraham Koramat, Abd. Rauf Anakotta dan lainnya sementara beberapa anggota pun ikut disekap. Noerhasjim Gandhi, H. Uso, dan sukarelawan lainnya selamat karena mendapat perlindungan dari masyarakat, buah dari hubungan baik yang selama ini dibangun.
Para pemimpin yang ditangkap kemudian dikirim ke penjara-penjara tanah Papua, di antaranya penjara DOOM yang terletak pulau kecil dekat Sorong, ada yang divonis 3 bulan bahkan 5 bulan. Para anggota OPI wajib lapor setiap hari yang berlangsung selama 3 sampai 6 bulan, Noerhasjim dan beberapa kawan pejuang mendapat hukuman wajib lapor selama 4 bulan.
Terbebas dari wajib lapor kemudian dipecat sebagai guru yang mendapat tunjangan gaji dari UNTEA namun mereka tetap setia melaksanakan tugas-tugas kelaskaran OPI dengan semakin memperluas pengaruh merekrut anggota untuk ikut secara aktif membantu pasukan-pasukan TNI yang sudah mulai memasuki Papua dan sebagiannya berada di pulau-pulau perairan sekitar Raja Ampat yang sudah dominan berpihak ke Indonesia.
Setelah peristiwa pendaratan Pasukan Garuda (PG) 100, PG 200, PG 300 dan PG 400 maka seluruh gerakan laskar lokal diperintahkan bersiap menerima dan mendukung penyerbuan sasaran Belanda yang masih bertahan. Pasukan Garuda 200 yang mayoritas anggotanya putra asli Papua menyasar Etnabay dan menyapu pulau-pulau sekitar Raja Ampat, Manokwari hingga Nabire. Pasukan penyusup setelah berhasil mendarat di pantai Sorong, selang beberapa hari kemudian terjadilah kontak senjata yang berawal dari kejar mengejar dan pertempuran gerilya yang menyebabkan Letnan Jamaluddin Nasution dan seorang anggotanya gugur di belakang Kampung Baru. Pertempuran lainnya juga terjadi di Kampung Rufei, KM 11 dan KM 8 dan tercatat seorang Letnan Polisi Belanda bernama Karly tewas tertembak.
Sukarelawan Trikora cukup besar perannya dalam mempengaruhi pilihan masyarakat Papua dalam PEPERA dengan melakukan pendekatan kepada tokoh adat dan masyarakat yang tergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). Mereka bukan hanya berhasil mendekati tokoh yang beragama Islam tapi juga yang menganut Kristen dan agama lokal lainnya.
Noerhasjim dan kelompoknya meski berasal dari Jawa mampu berkomunikasi dengan baik bersama penduduk setempat yang ternyata cukup memahami bahasa Melayu. Noerhasjim seringkali berjalan jauh hingga ke pedalaman Sorong, memasuki perkampungan suku Moi dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh adat/suku setempat untuk mempromosikan kemajuan yang telah dicapai Indonesia pada masa itu khususnya geliat pembangunan di Ibukota Jakarta. Interaksi beberapa suku di pedalaman Sorong (Papua daratan) dengan beberapa kerajaan Islam dalam naungan Kesultanan Tidore disebutkan telah berlangsung cukup lama sehingga cukup memudahkan dalam interaksi dengan pendatang meski berbeda agama dan keyakinan.
Para raja kecil di sekitar Fakfak dan Raja Ampat memiliki tugas utama sebagai Kepala Umat Islam, mereka dipilih berdasarkan tradisi/darah dan kedalaman penguasaan ilmu agamanya. Sejak masuknya kolonial Belanda pengaruh kekuasaan para raja semisal Machmud Singgirei Rumagesan (1885-1965) di Kerajaan Sekar dan Ibrahim Bauw Raja Rumbati, sebagai tokoh agama melalui seruan dari mimbar-mimbar masjid mereka menggelorakan semangat perlawanan dilandasi jihad fisabilillah menentang penindasan penjajah.
Raja Machmud Singgirei Rumagesan kemudian menjadi sosok pejuang integrasi Papua asal Fakfak yang gaungnya cukup besar. Keberaniannya menentang penjajah Belanda telah mengantarkannya beberapa kali masuk penjara, seperti penjara Saparua, Sorong-Doom, Manokwari, Hollandia (sekarang-Jayapura) hingga ke penjara dan pengasingan di Makassar. Semangat beliau untuk menggabungkan Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dipadamkan dengan berkali-kali penangkapan dan vonis penjara oleh pengadilan Belanda, dia tidak hanya berjuang untuk wilayah kerajaannya saja tapi semangatnya meliputi seluruh wilayah Irian Barat termasuk Sorong tempat Noerhasjim Gandhi dan sukarelawan integrasi lainnya berjuang. Komitmen dan kegigihan Machmud Singgirei Rumagesan dalam perjuangan pengintegrasian Papua kemudian mengantarkannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia periode Juli 1959-Juli 1965.
Pada bidang pendidikan Kota Sorong Noerhasjim Gandhi dikenal sebagai perintis berbagai madrasah dan perguruan tinggi yang eksis hingga hari ini, mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga perguruan tinggi. Madrasah tersebut di antaranya An-Nur, Al Ma’arif hingga MAN Sorong, YAPIS, STID Al Hikmah yang kemudian menjadi STAIN Sorong. Tahun 1965 dibangun PGA (Pendidikan Guru Agama) di Sorong dan banyak putra lokal Papua yang menjadi muridnya, hal tersebut cukup berpengaruh dalam memperkenalkan nama baik Indonesia di mata warga Papua. Dalam tekanan dan pengawasan otoritas UNTEA, sosok Noerhasjim Gandhi yang kharismatik dan dihormati bersama beberapa sahabatnya dan jaringan kader Nahdlatul Ulama (NU) yang telah dibangun dengan aktivitas di dunia pendidikan dan aktivitas keagamaan terus mengampanyekan pilihan terbaik memilih bergabung dengan Indonesia dengan menggunakan pendekatan kultural hingga hari-hari menjelang berlangsungnya Act of Choice/Pepera yang berhasil dengan suara bulat 110 orang perwakilan DMP Sorong membawa Irian Barat bergabung dengan Indonesia.
Referensi
Muslim, A. 2014. Dakwah Peka Kultur Ala Aipon Asso: Potret Keber-islaman Pegunungan Tengah Papua. Harmoni, 13(3), 7-21.
Mustafa, Muhammad Sadli, 2016. Merawat Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Papua Barat. Laporan Hasil Penelitian: Litbang Agama Makassar.
Muyasaroh, Umi, 2015. Konflik Indonesia dengan Australia dalam Masalah Pengembalian Irian Barat Tahun 1949-1962. Skripsi. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Richo Korwa. 2014. Proses Integrasi Papua Barat ke Dalam NKRI. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Rohim, Nur. 2014. Optimalisasi Otonomi Khusus Papua dalam Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Guna Meredam Konflik dan Kekerasan. Jurnal Fiat Justisia Vol. 8 No. 1. 80-97.
Sugandi, Yulia, 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Friedrich Ebert Stiftung (FES): Jakarta. Syukur, Abdul & Sinaga Rosmaida. 2013.
Machmud Singgirei Rumagesan. Pejuang Integrasi Papua. Penerbit Ruas: Jakarta.
BPS Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat 2018. http://warejapapuaku.blogspot.co m/2013/12/sejarahkembalinya-papua-kepangkuan.html Akses 3 Januari 2018
Kontributor: Nurul Amelia Ren’el, Semester VI