Syekh Sulaiman ar-Rasuli: “Transformasi Pendidikan Islam di Minangkabau yang berawal dari Surau”

Syekh Sulaiman ar-Rasuli: “Transformasi Pendidikan Islam di Minangkabau yang berawal dari Surau”

MAHADALYJAKARTA.COM – Surau menjadi salah satu lembaga penting pendidikan Islam di Minangkabau. Lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang paling menonjol ini juga telah menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap dominasi kekuasaan kolonial Belanda. Akan tetapi sejak abad ke-20 Surau harus bertransformasi menjadi madrasah karena tuntutan modernisasi. Transformasi ini diadopsi oleh kaum pemburu Minang dari interaksinya dengan gerakan keagamaan di Timur Tengah dan sekolah umum yang diperkenalkan oleh Belanda. Salah satunya yang dilakukan oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli, karena memang surau yang ia ampu menjadi salah satu surau yang sangat berpengaruh dan diminati oleh masyarakat Minangkabau. Atas dorongan dan desakan dari beberapa golongan akhirnya transformasi ini dilakukan, setelah banyaknya pertimbangan yang ia ambil. Surau Baru yang beralih menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI).

Sulaiman ar-Rasuli lahir pada Ahad malam Senin 10 Desember 1871 M atau Muharram 1297 H di daerah Candung, Sumatera Barat. Candung menjadi salah satu kota penting yang sangat berpengaruh di Minangkabau sendiri. Sulaiman adalah seorang tokoh kharismatik, alim, dan tawadhu’. Kiprahnya sangatlah besar dalam memajukan pendidikan di Minangkabau, khususnya saat penjajahan merajalela. Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau yang dikenal dengan Inyiak Canduang merupakan putra sulung dari Muhammad Rasul dengan Siti Buliah. Ayahnya sendiri merupakan ulama tradisional yang mengajar di Surau Tengah Candung kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam. Karenanya Sulaiman memang sudah mewarisi darah seorang ulama. Pendidikan pertama yang ia tempuh didapatkan dari kedua orang tua khususnya ayahnya. Angku Mudo menaruh harapan yang besar pada anak sulungnya itu.

Baca Juga:

Analisis Peran KH. Zainal Mustafa Melawan Pemerintah Militer Jepang di Tasikmalaya

Memasuki usia 10 tahun ayahnya, Angku Mudo berniat mengirimnya ke Batu Hampar guna memperoleh pendidikan lanjutan. Tak mudah meyakinkan Sulaiman karena usia tersebut menjadi usia asyik seorang anak dalam bermain. Sulaiman merasa direnggut dari kawan-kawannya, dari rumah hangatnya, dari adik dan pelukan hangat ibunya, tapi ayahnya tetap berusaha meyakinkan. Di samping itu ternyata lebih sulit lagi meyakinkan ibunya. Bagaimana tidak, Siti Buliah adalah ibu muda yang baru saja merasakan kehangatan akan hadirnya seorang anak. “Sulaiman akan menggantikan saya, akan menggantikan kakeknya, bahkan harus lebih hebat dari kami, biar kelak bisa menjadi ulama besar di Canduang, bahkan di Minangkabau. Untuk itu ia harus belajar banyak sejak dini, sejak sekarang. Apa kau tidak bangga punya anak yang hebat?,” ujarnya kepada istrinya. Ibu mana yang tak menginginkan kesuksesan anaknya tapi yang namanya seorang ibu pasti tak rela berpisah dengan anaknya. Perasaan khawatir terhadap anaknya juga menghantui pikirannya. Siapa nanti yang memasakkan makan untuknya atau yang menemaninya. Namun lambat laun ia pun merelakan kepergian Sulaiman, meski berat ia harus melepaskan anak bujangnya.

Sesampainya di Batu Hampar Sulaiman dididik oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidi. Ia mulai belajar membaca dan menulis dan menghafalkan al-Qur’an, serta tulisan latin. Ketekunan dan semangatnya dalam belajar membuatnya cepat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan. Sulaiman hanya belajar sekitar dua tahun di sana. Setelah dirasa sudah mendalami ilmu pengetahuan, Sulaiman pun dipindah ke Biaro ke surau Tuanku Samiak untuk belajar ilmu alat, Nahwu dan Sharaf. Ia belajar ilmu alat ini pada Syekh Abdus Samad Tuanku Samiak Ilmiyah. Di surau itu juga ia belajar ilmu fikih pada seorang Syekh bernama Tuanku Qadi Solo. Ia juga belajar ilmu waris kepada Tuanku Kolok di Sungayong, Batu Sangkar, Tanah Datar dan mendalami ilmu bahasa Arab selama lima tahun. Durasi yang lama ini juga disebabkan beliau belajar bahasa Arab sekaligus belajar Tafsir al-Qur’an. Selain kepada guru-guru di atas Inyiak Canduang juga belajar Ilmu Nahwu, Sharaf, Mantik, Balaghah, Ushul Fikih, Fikih, Tafsir, Tasawuf dan Tauhid kepada Syekh Abdullah di Halaban, Lima Puluh Kota.

Setelah belajar di dalam negeri kini keinginannya untuk belajar ke luar negeri pun ia realisasikan. Keinginan ini berawal dari ketertarikannya terhadap kota Makkah yang sering diceritakan gurunya ketika masih belajar di Batu Hampar. Jejak historis kota Makkah memang sangat menarik untuk dipelajari dan digali, mulai dari awal mula dakwahnya Rasul, bangunan Ka’bah, Masjid al-Haram, serta keilmuannya. Ilmu-ilmu yang ia pelajari sesuai dengan yang ia pelajari saat di Minangkabau dulu yaitu bermazhab Syafi’i. Salah satu guru beliau adalah Syekh Khatib al-Minangkabau, seorang ulama yang sama-sama berasal dari Sumatera Barat. Gurunya yang lain diantaranya Syekh Mukhtar Atharid, Syekh Nawawi Banten, Said Umar Bajened dan Said Syekh Babasil Yaman, Syekh Usman al-Sirwaqi, Said Ahmad Syatta dan lainnya.

Baca Juga:

Muhammad Hatta: Putra Minangkabau Sang Proklamator Indonesia

Pembaharuan sistem pendidikan ini berawal sepulangnya beliau dari Makkah. Ia mendirikan “Surau Baru” sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan yang ia dapat selama proses pengembaraannya. Surau ini didirikan pada tahun 1908 dengan metode halaqah. Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai tokoh sosial, keagamaan, pendidikan, kemasyarakatan dan tokoh adat Minangkabau merekonstruksi dan menetapkan bunyi pepatah:

“Syara’ mangato, adat mamakai, Minangkabau batubuah adat, bajiwa syarak; penghulu-penghulu salaku juru bantu dan alim ulama selaku kamudi; adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.” (Syara’ yang berkata, adat yang memakai, Minangkabau bertubuh adat, berjiwa syara’; penghulu-penghulu sebagai juru bantu dan alim ulama selaku pemegang kemudi, adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah). Di surau ini beliau hanya memberi satu atau dua mata ilmu saja, misalnya fikih atau tarekat dan baca al-Qur’an. Jadwal pembelajaran di mulai dari pukul 07.30-13.00. Semakin siang maka pelajarannya juga semakin sulit. Misalnya waktu pagi belajar kitab Mukhtasar maka siangnya belajar Uhudri Ibnu Aqil. Selain itu beliau juga melakukan pendisiplinan terhadap ilmu-ilmu yang dipelajari seperti: Ilmu al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fikih, Tauhid, Mantik, Balaghah, Hadis, Tafsir, Ushul Fikih dan lainnya.

Seiring berjalannya waktu teman-teman Syekh Sulaiman mulai melakukan pembaharuan terhadap surau-surau yang mereka ampu, seperti Hj. Abdullah Ahmad di Padang Panjang, Hj. Abdul Karim Amrullah, dan Muhammad Thaib di Batu Sangkar. Diantara keempat ulama ini mereka terbagi menjadi ulama golongan tua dan muda dan hanya Syekh Sulaiman yang masuk ke dalam golongan tua. Ulama golongan muda ini terus menerus melakukan modernisasi terhadap lembaga pendidikannya dan merubah surau yang mereka pimpin menjadi madrasah, seperti yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah yang mempelopori berdirinya pendidikan modern di Padang Panjang, Sumatera Barat bernama Sumatera Thawalib.

Surau yang ia dirikan memang sangat berpengaruh saat itu di Minangkabau, banyak orang berdatangan untuk belajar, alumninya pun menjadi orang yang disegani di kampungnya masing-masing, sehingga surau ini dikenal di berbagai penjuru. Karena dorongan modernisasi dan desakan dari kaum muda serta dorongan dan saran dari kaum tua, khususnya oleh Syekh Abbas Ladang Lawas membuat Syekh Sulaiman mengubah sistem surau menjadi sekolah, yang awalnya menggunakan metode halaqah berubah menjadi klasikal. Sekolah ini ia beri nama Madrasah Tarbiyah Islam (MTI), Canduang pada tahun 1907. Akan tetapi beliau tetap mempertahankan pengajaran kitab Syafi’i, ahlussunah wal jama’ah meski tengah terjadi arus modernisasi. Tak mudah bagi Syekh Sulaiman mengambil keputusan tersebut akan tetapi ia juga harus mampu merespon perkembangan zaman.

Ada beberapa sisi kelemahan sistem klasikal ini menurutnya diantaranya: Pertama, syekh atau guru hanya mengajar pada kelas atas, padahal nasehat atau bimbingan dari guru sangat dibutuhkan bagi seluruh santri sebagai pelebur jiwa mereka. Kedua, sistem pembayaran uang sekolah menurutnya dapat menghilangkan keikhlasan dari seorang guru yang awalnya hanya berharap rida Allah Swt semata. Ketiga, sistem klasikal membuat santri berpikir setelah selesai dari pendidikan jenjang akhir maka mereka dibolehkan untuk berhenti belajar. Padahal umat Islam diperintahkan untuk senantiasa menuntut ilmu.

Pembaharuan tersebut terlihat secara simbolik menggunakan sistem klasikal seperti: meja, kursi, dan papan tulis. Gedung madrasah juga dibangun untuk membantu proses belajar mengajar. Syekh Sulaiman melakukan hal tersebut agar terdapat lembaga pendidikan Islam modern di Minangkabau yang mempertahankan antara Islam dan adat Minangkabau. MTI kemudian berusaha untuk melakukan pembaharuan dalam persoalan kurikulum yang diterapkan. Pada awal didirikannya MTI menerapkan kurikulum yang biasa disebut dengan Hidden curriculum (kurikulum tersembunyi, artinya segala aturan yang tidak tertulis) sehingga ia belum memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum, karena belum ada kurikulum Nasional yang mengatur. Meski demikian, madrasah ini sebenarnya sudah mengamalkan ilmu-ilmu tersebut, hanya saja nama-namanya masih berbahasa Arab seperti, Ilmu Faraidh (menghitung harta warisan), Ilmu Falak dan lainnya. Dalam pengembangan sekolah ini syekh Sulaiman akan mengumumkan kepada masyarakat jika di bulan Sya’ban menjelang Ramadhan ia akan mengutus murid-muridnya berceramah ke setiap kampung.

Setelah MTI dikenal luas di kalangan masyarakat, Syekh Sulaiman menginginkan setiap MTI yang ada di Sumatera Barat terkoneksi antar satu dengan yang lain. Maka didirikanlah Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) tahun 1928. Melihat perkembangan yang sangat dahsyat menyebabkan kaum tua menginginkan PMTI hanya terfokus pada pengurusan MTI-MTI tapi lebih dari itu. PMTI diharapkan mampu menaungi, menampung, mempersatukan dan menjadi wadah untuk menghimpun seluruh ulama-ulama tradisional.

Melalui bantuan dari murid-muridnya akhirnya pada tanggal 19-20 Mei 1930, Syekh Sulaiman berhasil mengumpulkan teman-temannya yang satu paham untuk membicarakan arah MTI kedepannya. Mereka melakukan konversi besar di Surau Tanggah, milik ayahnya. Akhirnya disepakatilah perubahan nama organisasi PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang dipimpin oleh Sulta’in Dt. Rajo Sampono. Dalam perkembangannya PERTI telah berperan penting mengembangkan pendidikan Islam melalui Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang ada di Minangkabau.

Pada hari Sabtu tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H bertepatan dengan 1 Agustus 1970 Syekh Sulaiman ar-Rasuli meninggal dunia. Ia dikenal sebagai seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawanya. Pada hari pemakamannya sekitar 30.000 pelayat hadir termasuk pemimpin dari Jakarta, bahkan ada juga yang datang dari Malasya. Beberapa karya yang beliau tulis diantaranya: Aqwalul wa Shithah fi az-Zikiri wa ar-Rabithah (Kitab Tasawuf), Jawahir al-Kalamiyah (Tauhid), Aqwal al-Bayan fi Fadhilah Lailah as-Sya’ban, Sabilu as-Salamah fi Waridi as-sayyidi al-Ummah (berisi doa-doa), Aujaz al-Kalam fi Akani As-Shiyam (Fikih), Al-Qaul al-Bayan Fi at-Tafsir al-Qur’an (Tafsir), Perdamaian Adat dan Syara’ (Adat). Pertalian Adat dan Syara’ di Minangkabau (Adat), Pengangkatan Penghulu-Penghulu di Minangkabau (Adat), Rukun dan Kesempurnaan Penghulu (Adat), Risalah Tabligh al-Amanah fi Izalati Munkart wa as-Syubhat, Cerita Mi’raj Nabi Muhammad SAW, Cerita Mu’az bin Jabal ra, dan Wafatnya Nabi Muhammad Saw, Tsamarah al-Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan, Dawa’ al-Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub (Sejarah).

Referensi:

Buku:

Afrizal, Muhammad. Dedikasi Seniman di Pesantren. (Tangerang Selatan: Pascal Books, 2022).

Jasmi, Khairul. Inyiak Sang Canduang. (Jakarta: Republika Penerbit, 2020).

Khalil, Muhammad. Wonderful Islam. (Jakarta Selatan: Qultum Media, 2018).

Samad, Duski. Tabayyun Intoleransi. (Padang: Penerbit Pab Publishing, 2020).

Satria, Rengga. Transformasi Pendidikan Islam di Minangkabau Abad 20 M. (Ciputat: Penerbit Sakata, 2016).

Jurnal:

Cahyani, Ririn Dwi, Gerakan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam di Sumatera Barat (1907-1928), Kronologi, Vol. 2 No 2 Tahun 2020.

Nisa, Elvira. dkk, Perjuangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli Dalam Memajukan Agama Islam di Ranah Minang, Literacy; Jurnal Ilmiah Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2019.

Kontributor: Robiah, Semester V

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply