MAHADALYJAKARTA.COM – KH. Zainal Mustafa di kalangan orang Tasikmalaya sudah tidak asing lagi. Beliau merupakan sosok ulama yang sangat besar perjuangannya. Selama ini KH. Zainal Mustafa hanya dikenal sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan saja. Bahkan perjuangannya dalam menentang kolonial Belanda dan Penjajahan Jepang pada akhir dari paruh kedua abad ke-20 dianggap sebagai pemberontak. Padahal dia bukan sekedar kiai pesantren yang hanya mengajarkan kitab kuning, melainkan juga seorang pemikir, pejuang, pembaharu dalam pendidikan Islam ala pesantren dan proses pergerakan nasional.
KH. Zainal Mustafa lahir pada tahun 1899 M di kampung Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya. Secara genealogi beliau berasal dari keturunan masyarakat biasa, bukan dari keturunan Kiai atau Ulama. Tradisi genealogi di Jawa Barat mengenai kiai sangatlah berbeda dengan tradisi kiai di Jawa Timur, yang mana kiai mesti dari “darah” kiai lagi. Bahkan seorang gus, putra kiai pada umumnya dinikahkan dengan Nyai atau Ning sehingga hereditas kiai akan tetap terjaga sampai saat ini. Ayahnya KH Zainal Mustafa bernama Nawafi sedangkan ibunya bernama Ratmah. Keduanya merupakan petani desa yang hidup dengan sangat sederhana.
Semasa kecilnya KH. Zainal Mustafa memiliki nama laqob yang dikenal dengan “Umri” lalu berganti dengan “Hudaimi”. Kurang lebih dari 6 tahun KH. Zainal Mustafa hanya mengenyam pendidikan formalnya setingkat Sekolah Rakyat (SR). Setelah lulus SR pada usia sekitar 12 tahun, Ia sempat membantu ayahnya menggembalakan bebeknya sebagai petani desa, namun itu hanyalah sebentar. Beliau melanjutkan pendidikannya di beberapa pesantren di wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat. Sesuai keinginannya pesantren pertama yang dijadikannya tempat menimba ilmu agama adalah pondok pesantren Gunung Pari (Sukamenak) yang digurui oleh Ajengan Fakhruddin. Beliau menimba ilmu di Sukamenak selama 3 tahun.
Dengan kecerdasan dan keseriusannya selama di pesantren telah tampak dari sikap dan perilakunya yang calakan cepat paham dan mampu menguasai banyak ilmu-ilmu agama. Saking cerdasnya, sampai-sampai Ajengan Fakhruddin merasa ilmunya telah habis dan memintanya segera pindah ke pesantren Cilenga Singaparna. Sesuai dengan Nasihat guru, nya KH. Zainal Mustafa segera menemui pengasuh pondok pesantren yang bernama KH. Sobandi. KH. Sobandi ini merupakan seorang kiai yang sebelumnya pernah belajar di Kota Mekkah.
Baca Juga:
Gigihnya Ratu Kalinyamat Melawan Penjajahan Portugis
Di Pesantren Cilenga, Zainal Mustafa mengenyam pendidikan selama tiga tahun. Setelah mengetahui kecerdasan muridnya, Ajengan Sobandi berkata secara terus terang kepada muridnya itu. “Beak-beak elmu Akang,” berarti semua ilmu saya habis. Lalu dia diminta untuk melanjutkan pendidikan pesantrennya ke Sukamiskin, Bandung. Di pesantren Sukamiskin KH. Zainal Mustafa juga belajar selama 3 tahun. Selesai dari Pesantren Sukamiskin, KH. Zainal Mustafa masih meneruskan belajarnya ke pesantren (Sukaraja) Garut. Setelah mengenyam pendidikan selama tiga tahun di pondok pesantren Sukaraja, KH. Zaenal Mustafa masih meneruskan pendidikannya di pesantren Jamanis selama satu tahun. Pesantren ini menjadi destinasi pengembaraannya dalam mencari ilmu di Jawa Barat yang sudah diarunginya selama 13 tahun.
Namun demikian, meskipun sudah menjelajah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, ternyata KH. Zainal Mustafa semasa mudanya masih ingin meneruskan pendidikannya ke Mekah Al- Mukarromah. Di tanah Suci ini, KH. Zainal Mustafa mengenyam pendidikan selama 5 tahun. Selama belajar di Tanah Suci Mekkah dia berguru kepada beberapa guru dari Indonesia, termasuk guru dari Jawa Barat diantaranya KH. Junaidi dari Garut, KH. Sanusi dari Sukabumi, dan KH. Ahmad Khatib dari Minangkabau.
Mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah Tasikmalaya
Setelah mengenyam pendidikan di berbagai tempat dimulai dari mengenyam pendidikan di Tanah Air sampai ke Haromain, Kemudian kembali ke Tanah Air Sukamanah. KH. Zainal Mustafa memiliki niat untuk mendirikan pondok pesantren di Sukamanah. Dimana pada saat itu ada tanah yang merupakan tanah hibah dan wakaf dari Hajjah Siti Juwariyah atau Umu Ulis ialah seorang janda kaya di kampung Cikembang. Setelah melakukan proses pencarian ilmunya yang cukup panjang, kiprah pertama yang dilakukan oleh KH. Zainal Mustafa ialah sebuah perjuangan yang diawali dari mendirikannya pondok pesantren. Oleh karena itu, mulai dari julukan, gelar, perjuangan dan pemikirannya, tidak terlepas dari posisi dan kedudukannya sebagai seorang kiai pesantren. Ia berkiprah di pesantren Sukamanah sejak tahun 1927 sampai 1942 atau sekitar 15 tahun hingga akhir hayatnya.
Beberapa pembaharuan pendidikan pesantren yang dilakukan oleh KH. Zainal Mustafa yang terkenal dengan kedisiplinannya dalam mendidik santri-santrinya menjadikan Pesantren Sukamanah mengalami perkembangan yang relatif cepat. Banyak orang-tua wali yang menitipkan anaknya kepada beliau. Sekitar tahun 1930-an ada sekitar enam ratus santri dari berbagai wilayah di Indonesia yang menetap di pesantren Sukamanah. Jumlah itu belum termasuk santri-santri kalong di daerah sekitar Sukamanah.
Selain mengajar santri-santrinya di pondok pesantren beliau merupakan seorang da’i atau penceramah di masyarakat. Beliau juga merupakan seorang orator ulung yang suaranya menggelegar, keras, berwibawa dan karismatik. Oleh karenanya beliau sering mendapatkan undangan untuk mengisi pengajian dari masyarakat sekitarnya atau dari wilayah lain.
Menurut KH. Zainal Mustafa ketika mengisi pengajian dan berdakwah di luar pesantren itu memiliki 3 makna dan 3 fungsi diantaranya:
- Sebagai ajang penyebaran dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat khususnya dalam bertauhid kepada Allah SWT.
- Sebagai ajang tali silaturahmi antara pesantren dengan masyarakat yang dikunjunginya selama berdakwah.
- Sebagai sarana komunikasi kultural dengan masyarakatnya untuk propaganda anti kolonial Belanda dan penjajah Jepang, sehingga meyakinkan mereka bahwa kolonial adalah musuh yang harus dilawan.
Dalam konteks ketiga ini, KH. Zainal Musthafa menjadi salah satu seorang dai yang memiliki banyak sarana komunikasi dengan masyarakat pedesaan. Tujuannya adalah upaya kiai dalam melakukan indoktrinasi dan pengaruh bagi mereka.
Sebagai Pejuang terhadap Perlawanan Kolonial Belanda dan Jepang
Sebelum perlawanan Jepang menjajah bangsa Indonesia, mereka mengalami perang kebudayaan yang disebut dengan perlawanan kultural. Dimana perlawanan ini terjadi dari Ulama besar kita KH. Hasyim Asy’ari ialah mengharamkan para santri dan masyarakat menamai segala atribut yang digunakan oleh Belanda terutama busana atau pakaian.
Kiai masa kolonial bisa dibagi menjadi dua, yang pertama kiai kooperatif dan yang kedua non kooperatif. Yang dilakukan KH. Zainal Musthafa termasuk kategori non kooperatif karena apa yang dilakukan oleh beliau dengan secara terang-terangan tanpa rasa takut sedikitpun. Tujuannya adalah: pertama dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi prinsip dasar dalam Islam melawan kolonial Belanda ialah (mencegah kemungkaran). Yang kedua, pemerintahan kolonial Belanda merupakan pelaku kezaliman yang nyata dengan catatan mereka telah mengeksploitasi sumber daya alam dan menyengsarakan rakyat. Yang ketiga, kehadiran pemerintah kolonial Belanda telah menyetarakan rakyat di pedesaan.
Perlawanan kultural pun berlanjut ketika Jepang datang ke Indonesia. Awalnya mereka memberikan angin segar kepada umat Islam, salah satunya mereka memberikan sebuah kebijakan yang lebih memihak kepada umat Islam khususnya pada ulama dan kiai. Bukti keberpihakan pemerintah Jepang terhadap umat Islam ialah dengan membebaskan KH. Zainal Mustafa dari kolonial Belanda yang mana pada saat itu sedang di penjara. Dengan kejadian seperti itu, pemerintah Jepang menjadikan salah satu senjata supaya KH. Zainal Musthafa ingin menerima tawaran untuk bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Tawaran Dai Nippon tidak membuat KH. Zainal Mustafa terketuk, beliau tetap memiliki prinsip yang kuat dimana Kolonial Jepang dan Belanda sama-sama penjajah yang menindas dan menyengsarakan rakyat serta bersikap sewenang-wenangnya terhadap sumber kekayaan alam Indonesia. Beliau menolak perintah Dai Nippon untuk Sei kerai yang dianggapnya musyrik, bahkan beliau memilih mati daripada harus menuruti perintahnya.
Penolakan yang dilakukan oleh KH. Zainal Mustafa membuat para pemerintah Jepang semakin mengamuk dan ingin menyerang Sukamanah, hal ini terjadi pada tanggal 25 Februari 1944. Persenjataan tentara Jepang yang sangat lengkap terdiri dari senapan dan senjata api, bahkan mereka memakai truk untuk menembaki pasukan Sukamanah yang berjumlah lebih kurang 2000 orang. Dengan keunggulan senjata, tentara Jepang berhasil memukul mundur pasukan Sukamanah. Menjelang waktu magrib Sukamanah sudah dilumpuhkan. KH. Zainal Mustafa dan para pengikut setianya dibawa tentara Jepang ke Tasikmalaya untuk ditahan dan dipenjarakan. Semenjak itulah keberadaan KH. Zainal Mustafa tidak diketahui secara pasti hingga masa kewafatannya.
Referensi
Benda, Hary J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dakide, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Fathoni Ahmad, KH Zainal Musthafa Menggerakkan Pesantren di Jabar Melawan Penjajah. https://www.nu.or.id/fragmen/kh-zainal-mustafa-menggerakkan-pesantren-di-jabar-melawan-penjajah-YWyiv diakses pada tanggal 1 September pukul 17.30 WIB
Hidayat, Syarif, Riwayat Singkat Perjuangan K.H.Z.Musthafa, Tasikmalaya, 1961.
Sumino, Akib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3S,1985
Kurnia, Hikmat, Peristiwa Sukamanah: Sebuah Kasus Gerakan Protes Pesantren Sukamanah Tasikmalaya terhadap Pemerintahan Balatentara Jepang, Skripsi S1 Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran, 1991.
Muhsin Wahab, K.H. dan Muhsin, Fuad Sejarah Singkat Perjuangan Pahlawan Nasional K.H.Z. Musthafa, t.t.
Kontributor: Kurniawati Musoffa, Semester V
Editor: Dalimah NH