Judul : Hitam Putih Jawa Sunda, Menelisik Perang Bubat Sebagai Fakta atau Dusta
Penulis : Muhammad Muhibbuddin
Kategori : Buku referensi
Bidang Ilmu : Sejarah
ISBN : 978-623-757377-9
Ukuran : 14×20,5 cm
Halaman : 292 hlm
Harga : Rp. 79.500
Penerbit : Araska Publisher
Tahun Terbit : Mei 2023
Buku yang berjudul Hitam putih Jawa Sunda, menelisik Perang Bubat sebagai fakta atau dusta karya Muhammad Muhibbuddin merupakan buku yang menarik. Buku ini mengupas tuntas tentang sejarah kelam antara kedua suku yang tergolong etnis terbesar di Nusantara, yakni etnis Jawa dan Sunda. Buku ini sangat menarik bagi orang-orang yang bertanya-tanya seputar mitos atau pamali orang-orang terdahulu bahwa orang Jawa dan Sunda tidak boleh menikah. Konon katanya kalau kedua suku ini bertemu dalam jalinan pernikahan maka akan berujung pada petaka, apes, tidak akan tentram rumah tangganya dan berbagai macam kekacauan dalam rumah tangga lainnya.
Di zaman modern ini, manusia tidak bisa lepas dari teknologi. Dengan teknologi yang semakin canggih, kehidupan manusia seakan tanpa sekat dan jarak, terutama dalam komunikasi dan interaksi sosial. Bahkan, teknologi telah membantu banyak orang, termasuk mereka yang sedang mencari jodoh. Berkat teknologi, seseorang dapat bertemu dengan pasangannya yang berada di belahan dunia lain, berkomunikasi dengan leluasa tanpa terasa jarak yang memisahkan.
Namun, meski hidup di era yang serba canggih, masih banyak yang mempercayai mitos dan pamali dari nenek moyang. Salah satunya adalah kepercayaan terkait pernikahan dalam masyarakat Jawa. Ada anggapan bahwa orang Jawa dan Sunda tidak bisa bersatu dalam pernikahan. Konon, pernikahan antara pria Jawa dan wanita Sunda akan berantakan, penuh konflik, kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan berujung perceraian. Kepercayaan ini diyakini berasal dari peristiwa berdarah di masa lalu, yaitu Perang Bubat antara Kerajaan Sunda Pajajaran dan Kerajaan Majapahit yang beretnis Jawa.
Baca juga:
Review Buku Ajaran Kiai Gontor
Buku dengan 292 halaman ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, terutama bagi kalangan yang masih percaya dengan mitos dan pamali tersebut apakah hal itu fakta atau hanyalah mitos belaka. Penulis juga menyajikan latar belakang dan profil masing-masing kerajaan, termasuk dalang dan motif terjadinya perang yang berakibat fatal tersebut.
Dalam wacana umum, Perang Bubat antara Kerajaan Sunda melawan Kerajaan Majapahit justru diawali dengan nuansa romantis, yaitu permainan dua hati antara lawan jenis yang ingin bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan yang secara simbolis menggabungkan antara dua Kerajaan Besar, yaitu Kerajaan Pajajaran di sebelah barat Pulau Jawa dan Kerajaan Majapahit di sebelah timur Pulau Jawa.
Namun, wacana mainstream, “cinta” yang sesungguhnya itu malah menuntun kedua kerajaan itu bertemu di Medan Bubat untuk berlaga. Cinta menjadi pembuka bagi lahirnya Perang Bubat. Hal itu berawal ketika Raja Hayam Wuruk yang merupakan Raja Majapahit jatuh hati dengan putri dari Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi yang terkenal dengan kecantikannya.
Prosesi pernikahan yang seharusnya berlangsung khidmat dan syahdu justru berakhir dengan perang yang memilukan. Tak disangka, kedatangan rombongan kerajaan Sunda ke Majapahit dengan niat awal untuk melangsungkan pernikahan, justru hanya untuk menjemput kematian. Mereka berbondong-bondong ke Majapahit ternyata hanya untuk mempersembahkan nyawa mereka di hadapan tentara Majapahit. Sebenarnya, peristiwa berdarah ini hanya merupakan kesalahpahaman yang terjadi antara Mahapatih Gadjah Mada dan rombongan Sunda. Pada saat itu, Patih Gadjah Mada telah mengucapkan Sumpah Palapa yang isinya mengemukakan tentang janjinya untuk melakukan ekspansi besar-besaran dan menyatukan Nusantara dan agar wilayah taklukannya berada di bawah kekuasaan Majapahit, tak terkecuali wilayah Kerajaan Pajajaran. Gadjah Mada termakan oleh ambisi besarnya sendiri sehingga pada saat ia bertemu dengan rombongan dari Kerajaan Sunda di daerah bernama Bubat, seketika ia langsung menyerang rombongan yang bermaksud melangsungkan pernikahan itu tanpa mengetahui sebenarnya tujuan mereka. Gadjah Mada mengira rombongan Kerajaan Sunda tersebut ingin menyerahkan diri mereka ke tangan Majapahit. Setelah Gadjah Mada berkata demikian, rombongan dari Kerajaan Sunda membantah hal itu dan memberikan pernyataan bahwa mereka tidak akan tunduk terhadap Kerajaan Majapahit selamanya. Dengan marah Gadjah Mada langsung menyerang mereka tanpa ampun. Peperangan yang tidak seimbang itupun tak terelakkan dan kemudian dimenangkan oleh Gadjah Mada dan tentaranya. Mereka tewas dalam pertempuran itu, termasuk Dyah Pitaloka sebagai calon pengantinnya.
Baca juga:
Review Buku “Islam di Asia Tengah: Sejarah, Peradaban, dan Kebudayaan”
Meski ide peperangan ini bukan datang dari Raja Hayam Wuruk sebagai calon mantennya, melainkan dari Gadjah Mada, tetapi perang itu telah menyisakan luka yang begitu dalam bagi Kerajaan Sunda dan seluruh rakyatnya. Bagaimana tidak, seluruh rombongan Kerajaan Sunda itu terbunuh semua di tangan tentara Majapahit pimpinan Gadjah Mada.
Lantas bagaimana respon pihak Kerajaan Sunda atas peristiwa berdarah yang menimpa petinggi-petinggi mereka?
Tentunya mereka merasa kesal dan dendam dengan pihak Majapahit atas tragedi itu. Bahkan konon kebencian masyarakat Sunda terhadap Majapahit yang beretnis Jawa itu tetap berlangsung selama berabad-abad lamanya. Menurut penuturan beberapa sejarawan, bukti kebencian orang Sunda terhadap Jawa adalah tidak adanya nama Gadjah Mada ataupun Majapahit yang diabadikan sebagai nama jalan di tanah Sunda, seperti halnya di daerah Bandung, Jawa Barat. Berbeda dengan daerah-daerah lain yang banyak memakai nama Gadjah Mada atau Majapahit sebagai nama jalan ataupun kantor-kantor bahkan instansi pendidikan maupun pemerintahan.
Kekurangan buku ini terletak pada beberapa peristiwa yang disajikan dengan kalimat terlalu umum dan kurang spesifik, sehingga bisa membingungkan pembaca. Terkadang, kalimat yang sama diulang-ulang di setiap paragraf. Selain itu, di beberapa halaman terakhir yang menjabarkan dampak perang, penulis menyajikan beberapa paragraf yang menggambarkan fanatisme terhadap salah satu pihak suku, yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembaca, terutama yang berasal dari suku tersebut.
Baca juga:
Review Buku: Sulaiman The Word’s Greatest Kingdom History
Adapun kelebihan dari buku ini adalah pola penyajian data secara detail yang menjadikan seolah-olah penulis mengajak para pembaca untuk berpetualang ke masa lalu dan menyaksikan langsung kehidupan di masa itu. Dalam buku ini juga kita akan menemukan bagaimana awal mula terjadinya Perang Bubat. Kemudian, kita akan diajak menyelami dampak-dampak yang muncul setelah terjadinya Perang Bubat tersebut. Pada bagian akhir para pembaca akan diajak untuk mengkaji rekonsiliasi yang dilakukan secara kultural maupun struktural untuk mengobati luka lama dan mengakhiri dendam antara kedua suku tersebut.
Dalam buku ini juga terdapat upaya untuk mengupas secara objektif, mulai dari asal muasal, peristiwa Perang Bubat, dampak-dampaknya, dan juga upaya rekonsiliasi akibat Perang Bubat. Sehingga, kita akan menemukan bagaimana cara mengakhiri “perselisihan” melalui sejarah yang tidak akan pernah bisa terulang.
Kelebihan lain dari buku ini yakni dikemas menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga para pembaca tidak akan merasa bosan dan betah berlama-lama membacanya.
Kontributor: Muhamad Fathul Bari, Semester VI
Editor: Siti Yayu Magtufah