MAHADALYJAKARTA.COM
Penulis: Paul Strathern
Judul Buku: 90 Menit Bersama Plato
Penerbit: Erlangga
Tahun Terbit: 2001
Jumlah Halaman: 40 halaman, 3 bab
No. ISBN: 979-688-220-5
BAB I
Plato, “Penghancur” Filsafat
Plato sering dianggap sebagai “penghancur” filsafat, sebuah pandangan yang dikemukakan sejumlah pemikir modern. Salah satunya adalah Nietzsche, filsuf abad ke-19 asal Jerman, yang menyatakan bahwa filsafat tidak pernah “pulih” dari pengaruh Sokrates dan Plato sejak abad ke-5 SM. Ketika itu, filsafat telah berkembang selama lebih dari 200 tahun, tetapi menurut Nietzsche, filsafat malah mengarah ke jalur yang salah sejak masa Sokrates dan Plato.
Pengetahuan kita tentang Sokrates terutama berasal dari dialog-dialog Plato. Namun, sulit dipastikan kapan gagasan-gagasan yang diekspresikan benar-benar berasal dari Sokrates atau dari Plato sendiri. Meskipun demikian, pemikiran keduanya berbeda secara radikal dibandingkan filsuf-filsuf pra-Sokrates.
Salah satu tokoh pra-Sokrates, Pythagoras, lahir di Samos sekitar tahun 580 SM. Ia melarikan diri dari tirani ke Italia dan menjadi filsuf, pemimpin religius, ahli matematika, mistikus, hingga ahli gizi. Pythagoras mendirikan sekolah yang memadukan agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, yang gagasan-gagasannya tetap berpengaruh hingga kini.
Para filsuf pra-Sokrates, seperti Xenophanes, pernah menyatakan, “Tak seorang pun mengetahui, bahkan tidak akan pernah mengetahui kebenaran tentang para dewa maupun segala sesuatu.” Pandangan ini mirip dengan pemikiran Wittgenstein, filsuf abad ke-20. Beragamnya tradisi filsafat pada masa itu menjadi latar belakang yang kaya bagi munculnya Plato.
BAB II
Hidup dan Karya Plato
Plato awalnya dikenal sebagai atlet gulat dengan julukan yang ia gunakan hingga kini. Lahir pada tahun 428 SM di Athena, nama asli Plato adalah Aristokles. Ia berasal dari keluarga politik terkenal di Athena; ibunya merupakan keturunan Solon, peletak dasar hukum Athena.
Awalnya, Plato bercita-cita menjadi atlet dan penyair tragedi, tetapi gagal dalam keduanya. Setelah itu, ia hampir menjadi pegawai negeri sebelum akhirnya bertemu Sokrates. Pertemuan ini mengubah hidup Plato, yang selama sembilan tahun belajar langsung dari gurunya.
Plato kemudian memperluas wawasannya dengan belajar di Megara, Afrika Utara, dan Mesir. Di Sisilia, ia bertemu dengan para pengikut Pythagoras yang meyakini angka sebagai kunci memahami alam semesta. Pengalaman ini sangat memengaruhi pemikiran Plato.
Pada usia 80 tahun, Plato wafat dan dimakamkan di Akademia. Akademinya terus berkembang hingga ditutup oleh Kaisar Justinianus pada tahun 529 M, menandai berakhirnya budaya Yunani-Romawi dan awal Zaman Kegelapan.
BAB III
Meneruskan Plato
Sebagaimana Plato adalah murid Sokrates, Aristoteles menjadi murid Plato, melengkapi trio filsuf besar Yunani. Aristoteles mengembangkan dan mengkritisi pemikiran gurunya, sekaligus memperkenalkan gagasan-gagasan baru. Di Akademia, pemikiran Plato terus berkembang menjadi Platonisme.
Platonisme kemudian diadaptasi menjadi Neoplatonisme, dengan tokoh utamanya adalah Plotinus, filsuf abad ke-3. Meskipun dipengaruhi gagasan Kristiani, Neoplatonisme awalnya dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Namun, Agustinus dari Hippo, filsuf abad ke-4, berhasil merekonsiliasi Neoplatonisme dengan teologi Kristen, memberikan dasar intelektual bagi agama ini.
Platonisme terus berkembang di universitas-universitas besar di Eropa, seperti di Jerman dan Cambridge, hingga abad ke-20. Namun, pada masa modern, Platonisme dianggap telah kehilangan pengaruhnya.
Kontributor: Himmah Nur ‘Izzah
Editor: Yayu