Review Buku G30S dan Kejahatan Negara

Review Buku G30S dan Kejahatan Negara

WWW.MAHADALYJAKARTA.COM- Sejarah adalah masa lampau yang tidak pernah selesai karena sejarah adalah dialog terus-menerus antara masa kini dengan masa lampau untuk menyongsong masa depan. Gerakan 30 September (G30S) dapat dikatakan sebagai peristiwa sejarah yang masih terdapat kontroversi di dalamnya. Pada akhir bulan September tahun 1965 terjadi penculikan yang berujung kematian 6 jenderal Indonesia. Kita patut merenungi negara ini karena disfungsinya dalam melindungi sejumlah kelompok umat beragama yang kebebasannya kerap diganggu oleh vigilante. Sesungguhnya dikarenakan hal itu negara telah melakukan kejahatan. 

Siauw Giok Tjhan adalah korban kejahatan negara yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Sebelum peristiwa G30S, ia adalah Ketua Umum Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), anggota DPRGR, MPRS, DPA, dan Dewan Harian Angkatan 45.

Ia ditahan oleh pemerintah Soeharto dari November 1965 hingga Agustus 1978. Ketika dikembalikan ke dalam masyarakat, KTP nya memiliki predikat ET (Eks Tapol). Selama berada di dalam tahanan ia berjumpa dengan banyak tapol lain yang langsung dan tidak langsung terlibat dalam G30S. Dari diskusi-diskusi inilah ia membuat berbagai analisa tentang G30S yang ia tuangkan dalam berbagai catatan. Ia pun kerap memberi penjelasan tentang G30S ke beberapa kelompok pemuda Eropa dan pembicaraan-pembicaraan ini direkam. Buku ini adalah penyuntingan dari gabungan catatan dan rekaman Siauw Giok Tjhan tentang G30S.

Ia menyimpulkan bahwa G30S adalah rekayasa politik untuk menghancurkan PKI dan konsep persatuan politik yang dicanangkan oleh Soekarno, Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Sebuah rekayasa politik yang kemudian didukung oleh blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Ia yakin bahwa G30S tidak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Yang melakukan kudeta secara bertahap dan melakukan kejahatan negara adalah Jenderal Soeharto. Kejahatan negara berbentuk pembunuhan massal, penangkapan massal, dan persekusi massal yang terburuk di dunia setelah Perang Dunia II. Kejahatan negara yang melanggar hukum, melanggar Pancasila dan melanggar HAM. 

Peristiwa G30S

Pada tanggal 1 Oktober 1965, pagi-pagi penduduk Jakarta dikejutkan oleh siaran RRI tentang Gerakan 30 September (G30S) yang mengumumkan bahwa telah dibentuk Dewan Revolusi yang mengambil alih fungsi kabinet. Siauw Giok Tjhan tercantum dalam dewan yang tidak pernah bersidang itu, ia mengaku bahwa ia tidak pernah diberitahu atau dikonsultasi sebelum dewan tersebut dibentuk. 

Perkembangan selanjutnya menjadi lebih jelas bahwa yang terjadi adalah diculiknya 6 jenderal dan seorang kapten oleh pasukan yang tergabung dalam G30S yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, seorang perwira Cakrabirawa. Jenderal Nasution sebenarnya akan diculik pula tetapi berhasil lolos. Pengawalnya, Kapten Tendean yang agak mirip dengannya yang terculik. Keenam jenderal Angkatan Darat yang diculik adalah Jenderal Yani, Jenderal S. Parman, Jenderal Haryono, Jendral Suprapto, Jenderal Sutoyo, dan Jenderal Panjaitan. Jenderal yang terculik ada yang meninggal ketika pasukan penculik datang menggerebek rumahnya. Kemudian mereka dibawa ke daerah yang dinamakan Lubang Buaya, dekat lapangan udara Halim, markas besar Angkatan Udara.

Dewan Revolusi

Yang menjadi kepala adalah Letnan Kolonel Untung. Wakil pertama adalah Kolonel Latief. Wakil kedua adalah Brigadir Jenderal Supardjo. Pengumuman Dewan Revolusi yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengandung 2 hal penting yaitu:

  1. Pernyataan bahwa kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno didemisionerkan, tidak lagi berfungsi sebagai pemerintah. Didemisionerkannya kabinet Soekarno dijadikan alasan dan bukti oleh pengadilan-pengadilan para pelaku G30S bahwa gerakan tersebut merupakan sebuah kudeta
  2. Nama Soekarno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi. Tidak dicantumkannya nama Soekarno telah menimbulkan perkiraan bahwa gerakan itu bertujuan menyingkirkan Soekarno dan menimbulkan akibat psikologis yang sangat merugikan gerakan.

Peran Soekarno

Sejarah membuktikan bahwa peran Soekarno disini adalah memerintahkan untuk menghentikan tindakan militer. G30S pun menghentikan militernya, dari sini jelas bahwa tidak ada tanda bahwa G30S dilakukan untuk menjatuhkan Soekarno. Adanya perintah Soekarno untuk menghentikan semua kegiatan membuat pimpinan G30S berhenti bergerak. Akibatnya pasukan-pasukan dibawah komando gerakan ini dengan mudah dilucuti oleh kekuatan yang dipimpin oleh Soeharto. 

Peran Soeharto

Peran Soeharto bahkan lebih besar daripada keterlibatan Soekarno dalam peristiwa ini. Soeharto diam-diam mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan yang memperbesar kemungkinan menjadi orang yang paling berkuasa di Indonesia. Ia merupakan orang yang pandai menggunakan situasi untuk menarik keuntungan bagi diri sendiri dan untuk meningkatkan kedudukannya. Perkembangan yang menunjukkan bahwa Soeharto memainkan peran penting dalam G30S adalah ketika Jenderal Supardjo menaati perintah Presiden Soekarno untuk menghentikan operasi militer pada tanggal 1 Oktober 1965. Sebaliknya Jendral Soeharto malah melancarkan operasi militer yang berkepanjangan hingga terjadi penangkapan dan pembunuhan massal. Operasi militer terhadap PKI kemudian dilanjutkan hingga dikeluarkannya Supersemar yang ternyata tidak ditaati sepenuhnya oleh Soeharto. 

Sesungguhnya Siapa Mengkudeta Siapa

PERS Barat pada umumnya menyebut Gerakan 30 September sebagai The Abortive Coup atau sebuah kudeta yang gagal. Kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto telah direncanakan dengan teliti dan sistematik. Kudeta yang bertahap ini bisa kita saksikan dari berbagai kejadian. Salah satunya yaitu, pemberitaan tentang penculikan dan pembunuhan jenderal di daerah yang bernama Lubang Buaya oleh kelompok yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dijadikan sebagai dasar pembasmian PKI dan simpatisannya. Sengaja dibuat cerita bohong berupa fitnah untuk menghasut rakyat dan membangkitkan dendam kesumat terhadap PKI. 

Dengan demikian jelas bahwa yang melakukan kudeta politik adalah Jenderal Soeharto dan para pendukungnya, bukan G30S dan juga bukan PKI. Jenderal Soeharto tetunya didukung oleh kekuatan anti-Soekarno di luar, termasuk blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Tidak ada alasan untuk PKI secara organisasi mendalangi atau terlibat dalam G30S. Kesimpulan ini dapat diperkuat dengan beberapa hal berikut:

  1. Keadaan dan situasi politik pada tahun 1965 sangat menguntungkan PKI. Prestige PKI sedang berkembang dengan pesat di Indonesia, Confeo sedang dirancang, KIA PAMA (Konferensi Internasional Pangkalan Anti Militer Asing) sedang berlangsung menjelang Peristiwa G30S.
  2. Bilamana PKI sebagai organisasi memimpin G30S, tentunya seluruh aparat PKI secara organisasi disiapkan secara baik, namun kenyataannya tidak demikian. 
  3. Seluruh aparat PKI ternyata tidak disiapkan. Hal ini terbukti karena para tokoh PKI baik di Jakarta maupun selainnya tidak mengetahui tentang adanya Peristiwa G30S.
  4. Para tokoh PKI yang ditahan dan diperiksa sehubungan dengan perjuangan bersenjata blitar selatan menyatakan bahwa persiapan perjuangan bersenjata baru dilakukan setelah di keluarkannya kritik oto kritik politbiro cc PKI pada tahun 1996.

Dari penuturan di atas, jelas bahwa PKI secara organisasi tidak terlibat dalam G30S. Tuduhan rezim militer Soeharto tidak pernah dibuktikan secara hukum. Akan tetapi pemerintah Soeharto meresmikan penggunaan istilah G30S/PKI dan menjadikannya dasar penangkapan dan pembunuhan massal terhadap para anggota dan simpatisan PKI dan ormasnya.

Sejarah mencatat bahwa penguasa militer di bawah pimpinan Jenderal Soeharto melakukan kekejaman yang sewenang-wenang yaitu mengejar, menangkap, menahan, dan membunuh orang-orang komunis atau orang-orang yang dituduh komunis dan simpati terhadap paham komunisme. Dengan dalih keamanan nasional, Kopkamtib telah melakukan pelanggaran HAM yang mungkin terburuk di dunia setelah Perang Dunia II.

Referensi: Siauw Giok Tjhan, G30S dan Kejahatan Negara, Bandung: Ultimus, 2015.

Kontributor: Nurika Amiroh Nubailah, Semester V

Editor: Siti Yayu Magtufah

Leave a Reply