Review Buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara

Review Buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara

WWW.MAHADALYJAKARTA.COM- Imperium Turki Utsmani pada awalnya hanya merupakan sebuah kerajaan kecil yang berkuasa di bagian barat wilayah Anatolia (Asia Kecil). Bangsa aslinya berasal dari Suku Kayi yang mendiami wilayah Asia Tengah di sekitar kaki Pegunungan Altai bagian barat padang rumput Mongolia. Mata pencaharian mereka adalah menggembala ternak dan menjarah suku-suku yang lebih lemah. Kehidupan sosial mereka diatur berdasarkan sistem kesukuan dan adat istiadat. Agama asal yang dianut mereka adalah Syamanisme, yaitu sebuah kepercayaan yang berwujud penyembahan terhadap unsur-unsur alam melalui totem dan roh.

Mulai pada abad ke-7, masyarakat Turki mengalami konversi agama besar-besaran ke dalam agama Islam. Sarana yang mengenalkan mereka dengan agama Islam adalah hubungan perdagangan yang terjalin dengan bangsa Arab Muslim. Namun menurut Ali Muhammad Ash-Shalab, perkenalan mereka dengan Islam terjadi melalui perluasan wilayah Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab (642 M), kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Sejak masa berdirinya hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad II, Turki Utsmani terus melakukan sistem kenegaraan dan melanjutkan perluasan wilayahnya. Selama kurun waktu satu abad itu, sultan-sultan Turki Utsmani telah silih berganti menduduki takhta kerajaan. Kekuasaan Turki Utsmani semakin kokoh dan disegani setelah Sultan Muhammad II yang dikenal dengan Muhammad Al-Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M.

Turki Utsmani terus melesat menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan disegani bangsa lain, hingga mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahannya Sultan Suleiman I yang bergelar al-Qanuni. Masa pemerintahannya adalah yang terlama di antara sultan-sultan Turki Utsmani yang lainnya, yaitu memerintah selama 46 tahun. Di sepanjang pemerintahannya, ia telah berhasil memperluas dua kali lipat wilayah kekuasaannya dari masa-masa sebelumnya.

Sebagai kerajaan Islam, Demak, Banten, ataupun Mataram seringkali dianggap memiliki hubungan dengan Mekkah sebagai pusat keagamaan umat Islam dan Turki Utsmani sebagai pusat politik umat Islam saat itu. Pada umumnya, bagi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, menjalin hubungan dengan kedua pusat itu tidak hanya sekedar bernilai politik eksternal ataupun ekonomi, melainkan lebih dari itu dapat menjadi sarana untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. Dalam hal ini, banyak persoalan yang seringkali dikaitkan dengan Mekkah ataupun Turki Utsmani, mulai dari pemberian gelar sultan, identitas pasukan militer, hingga benda-benda pusaka kerajaan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Turki Utsmani di tanah Jawa meskipun hanya secara kultural.

Namun, hingga saat ini penelusuran tentang hubungan politik kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa dengan Turki Utsmani masih menimbulkan keragu-raguan. Sumber-sumber sejarah mengenai hubungan tersebut masih sangat sulit untuk ditemukan. Selain itu, historiografi Barat maupun Indonesia belum banyak membahas tema-tema tersebut secara lengkap dan hanya didapati beberapa pembahasan yang diulas secara singkat tanpa disertai detail data-data sejarah yang mendukung.

Meskipun demikian, anggapan tentang adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dengan Turki Utsmani sudah terlanjur diyakini oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia hingga kini. Selain disebutkan dalam catatan-catatan sejarah, jejak Turki Utsmani di Jawa juga muncul dalam beberapa catatan yang bersifat pseudo history sebagaimana yang juga didapati di dalam tambo masyarakat Sumatera. Salah satunya adalah tulisan R. Tanaya yang didasarkan pada kitab Musarar lan Jayabaya yang di dalamnya diceritakan tentang awal mula terbentuknya masyarakat Jawa. Dalam buku itu disebutkan bahwa Sultan Rum (sebutan masyarakat Jawa untuk Turki Utsmani saat itu).

Dikalangan masyarakat Gayo juga terdapat kisah tentang Turki Utsmani. Masyarakat Gayo, yang berkedudukan di pedalaman Sumatera Utara, mempercayai bahwa putra Sultan Rum yang pertama Genali atau Kawe Tepat adalah nenek moyang mereka. Menurut mereka Genali adalah putra sulung Sultan Rum yang dikirim ke Sumatera dan dibesarkan oleh seorang nelayan, sedangkan putra bungsunya di Aceh.

Selain itu, kisah tentang pembukaan Pulau Jawa oleh orang-orang Turki Utsmani yang mirip dengan kisah Ajisaka, juga terdapat dalam Serat Jangka Jayabaya Syekh Subakir. Hanya saja, tokoh utama di kisah ini bukanlah Ajisaka, melainkan Syekh Subakir. Dikisahkan bahwa Sultan Ngerum (Turki) berkeinginan untuk menguasai Pulau Jawa yang saat itu tidak berpenghuni. Namun, ekspedisi pertama yang dikirimkannya mengalami kegagalan karena diserang oleh bangsa setan yang menghuni Pulau Jawa. Kemudian sang sultan mengutus Syekh Subakir untuk mengatasi gangguan dari makhluk gaib itu. Akhirnya, Syekh Subakir berhasil mengalahkan bangsa setan itu dari Pulau Jawa dan sejak saat itu mulai dapat ditinggali oleh manusia.

Ada beberapa naskah-naskah yang menjadi realitas tentang pandangan masyarakat Jawa terhadap Turki Utsmani dan semuanya menggambarkan citra keagungan Turki Utsmani dalam pandangan masyarakat Jawa. Bangsa Rum dipandang sebagai penggerak, pembawa peradaban, dan penyelamat bagi Jawa.

Berbeda dengan tulisan-tulisan pseudo history yang menganggap orang-orang Turki Utsmani sebagai perintis masyarakat di Pulau Jawa, de Graaf menuliskan bahwa hubungan internasional masyarakat Jawa dengan Turki Utsmani baru terjalin sejak berdirinya Kerajaan Demak. Kemudian pada tulisannya yang lain, de Graaf kembali menyebut Turki Utsmani dalam kaitannya dengan Kerajaan Demak. Ini berkaitan dengan gelar sultan yang disandang oleh Sultan Trenggana. Gelar sultan untuk Raja Demak ketiga itu dberikan oleh Syekh Nurullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Nama Turki Utsmani kembali muncul pada keterangan dalam laporan Manuel Pinto. Diberitakan dalam laporan tersebut bahwa pengganti Sultan Trenggono yaitu Sunan Prawoto, pernah mengatakan bahwa dirinya akan menjadi segundo turco jika ia mampu mengislamkan seluruh Pulau Jawa. Segundo turco artinya adalah sultan Turki Utsmani yang kedua, setaraf dengan Sultan Suleiman I yang saat itu berkuasa di Turki Utsmani.

Dari berita tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja Demak keempat itu telah memiliki pengetahuan tentang Turki Utsmani sekaligus memandangnya sebagai penguasa Islam. Menurut de Graaf, orang yang memberikan informasi kepada sang raja tentang Turki Utsmani adalah Coje Geinal. Dia adalah seorang Portugis yang masuk Islam dan bekerja untuk raja dalam pembuatan meriam.

Informasi yang relatif lebih baru mengenai hubungan Kerajaan Demak dengan Turki Utsmani didapati dari pidato Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, yang disampaikan pada acara pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta tanggal 9 Februari 2015. Pada kesempatan tersebut, Sultan Hamengkubuwono X menyatakan adanya hubungan Kerajaan Demak dengan Turki Utsmani secara lebih konkret.

Lambat laun, kewibawaan Turki Utsmani mulai pudar dalam pandangan beberapa kalangan masyarakat Nusantara. Penyebabnya adalah kondisi internal Turki Utsmani yang tidak kondusif. Pemerintahan Turki Utsmani menghadapi banyak persoalan saat kondisi internalnya sedang mengalami kelemahan. Dari luar Turki Utsmani ditekan oleh negara-negara besar Eropa, sedangkan dalam Turki Utsmani harus menghadapi separatisme, konspirasi, dan tekanan kaum sekuler.

Pada akhirnya, Turki Utsmani tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya meskipun sempat berusaha untuk bangkit pada masa Sultan Abdul Hamid II dengan Pan Islamisme sebagai program politik utamanya Turki Utsmani tetap saja meluncur menuju jurang kehancurannya. Tanggal 3 Maret 1924, Institusi Kekhalifahan Turki Utsmani dihapuskan. Hal ini menandai berakhirnya Imperium Turki Utsmani yang telah bertahan selama 7 abad sekaligus kekhalifahan Islam yang telah berusia 14 abad.

Peristiwa runtuhnya Turki Utsmani sontak menarik perhatian seluruh dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Para ulama dan kaum pergerakan Islam Indonesia turut bereaksi dan meresponnya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan serta kongres-kongres untuk mendiskusikan solusi bagi khilafah dan umat Islam. Hasil dari pertemuan itu terbentuklah komite khalifah yang berhasil merumuskan poin-poin rekomendasi untuk disampaikan pada kongres umat Islam Internasional di Mesir meskipun upaya yang dilakukan oleh mereka tidak berdampak signifikan bagi kelanjutan nasib khalifah, tetapi setidaknya upaya tersebut telah menjadi bukti sejarah tentang perhatian umat Islam Indonesia terhadap perkembangan Turki Utsmani khususnya serta khalifah dan nasib umat Islam dunia umumnya.

Kontributor: Nova Fitria Cahyani, Semester V

Editor: Siti Yayu Magtufah

Leave a Reply