Ma’had Aly ā Pemerintahan Bani Muawiyah disandarkan kepada Umayyah bin Asd Syams bin Abdil Manaf, salah seorng tokoh pentig dalam dalam kehidupan kaum Quraisy. Ia dan paman Hasyim bin Manaf selalu bertarung dalam upaya memperubtkan wilayah kekuasan dan kedudukan kepemerintahan.
Setelah datangnya Islam, persaingan menduduki kekuasaan ini menjelma menjadi sebuah permusuhan, perang antar persaudaraan pun tidak bisa diindahkan lagi. Bani Umayyah yang melakukan perlawanan terhadap dakwah Rasulullah, sedangkan Bani Hasyim mendukung dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah dan juga para pengikutnya.
Peperangan dan juga perebutan wilayah kekuasaan ini terjadi sebab Bani Umayyah tidak pernah mau meninggalkan agama nenek moyangnya dan menerima bahwa Rasulullah adalah utusan Allah. Kejadian ini berlangsung setelah terjadinya Fathul Makkah.
Muawiyah menyusul Ali menjadi khalifah kaum Muslim. Ia menggunakan siasat balas dendam atas kematian Utsman terhadap Ali. Muawiyah memerintah perang Suriah selama dua puluh tahun dan melancarkan serangan terhadap Byzantium, akibatnya, ia mempunyai tentara yang disiplin dan baik untuk melawan orng-orang Badui yang mengikuti Ali. Tiga Khaalifah terbesar dari Umayyah masing-masing memerintah dari Damaskus sekitar dua puluh tahun dan merupakan administrator kelas satu.
Muawiyyah dinobatkan sebagai Khalifah di Iliya ( Yerusalem ) pada 40 H. /660 M. Dengan penobatan itu, menjadikan Suriah, Damaskus, berubah fungsi menjdai ibu kota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah, Muawiyah memiliki kekuasaan wilayah yang terbatas karena beberapa wilayah Islam tidak mau mengakui bahwa Muawiyah adalah Khalifah umat Islam. Selama masa arbitrase berlangsung, Amr ibn al-Ash, tangan kanan Muawiyah, telah merebut Mesir dari tangan penduduk Ali. Meski demikian, para penduduk di wilayah Irak mengangkat Al-Hasan, selaku putra tertua Ali sebagai penerus yang yang sesungguhnya. Sedangkan para penduduk Mekkah dan Madinah tidak memiliki loyalitas yang kokoh kepada penguasa dari keturunan Abu Sufyan. Mereka baru mengakui kenabian Muhammad saw. pada saat penaklukan Makkah. Selain itu, pengakuan keislaman mereka lebih merupakan upaya menyelamatkan kehormatan mereka, didasari oleh keyakinan yang jujur.
Penguasa yang diakui oleh para penduduk Irak adalah Al-Hasan yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ia tidak lama menjabat seagai Khalifah seblum akhirnya menyerahkan kepemirintahan ke Khalifahan kepada pesaingnya yang lebih cakap dan menghabiskan waktunya di Madinah dengan tenang dan nyaman.
Pemerintahan Muawiyyah berakhir dengan kekalahan Khalifah Marwan bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H. /749 M., dengan demikian pemerintahan Bani Umayyah ini telah berlangsung selama kurang klebih 91 tahun lamanya. Pemerintah ini dikuasai oleh dua keluargadan diperintah oleh 14 orang Khalifah dengan Damaskus sebagai ibu kotanya.
Dengan jatuhnya Dinasti Umayyah, kejayaan Suriah berakhir. Orang Suriah sudah jauh terlambat untuk menyadari bahwa pusat gravitasiI Islam telah lepas dari tangan mereka, dan berpindah ketimur, dan meskipun mereka berusaha melakukan perlawanan militer untuk meraih kembali kekuasaan, semua upaya mereka sia-sia. Akhirnya, mereka mengharapkan kedatangan Sufyan, sebagai juru selamat, yang ditunggu-tunggu untuk membawa mereka keluar dai kekangan orang-orang Irak yangmengekang mereka. Hingga saat ini, kita bisa mendengar orang Islam di Suriah yang menglaim sebagai keturunan Muawiyyah. Namun, kejatuhan dinasti Umayyah mengandung arti yang lebih dari itu. Periode Arab murni dalam sejarah Islam telah berakhir, dan era kerajaan Arab murni kini sedang bergerak cepat, menuju titik akhir.
Dinasti Abbasiyah menyebut diri mereka sebagai dawlah, menandai sebuah era baru, dan benar-benar menjadi era baru. Orang Irak telah terbebas dari kendali orang Suriah. Irak dijadikan sebagai ibu kota pemerntahan yang baru. Orang Khurasan menjadi pasukan pengawal khalifah, dan orang Persia menduduki posisi posisi penting dalam pemerintahan. Aristokrasi Arab murni telah tergantikan dengan hirarki pejabat yang diambil dari beragam bangsa di dalam wilayah khalifah. Orang Islam Arab dan para pemeluk Islam baru mulai melakukan koalisi dan saling melindungi. Arabisme memang telah runtuh, namun kekuasaan Islam terus berlanjut. Di bawah bendera Islam internasional, Iranisme mulai melangkah penuh kemenangan.
Drama besar politik Islam dibuka dengan peran penting yang dimainkan oleh Khalifah Abu al-Abbas (750-754 M), dan Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khutbah penobatan yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya Al-Safah, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk, karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam mejalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai eksekusi Al-Safah menjadi pendiri Dinasti Islam Arab ketiga. Setelah Khulafa al-Rasyidun dan Dinasti Umayyah yang sangat besar. Dari 750 M sampai 1258 M, penerus Abu al-Abbas memegang tabuh kepemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.
Pemerintahan Bani Abbasiyah sendiri dinisbatkan langsung kepada paman Rasulullah. Sementara itu, khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah (as-Saffah) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Pemikiran seperti ini tidak bisa berkembang dan kalah telak di awal-awal masa Islam. Pemikiran Islam yang lurus dan benarlah yang menang pada saat itu. Yakni, pemikiran bahwa kepemimpinan itu adalah hak semua kaum muslimin dan siapapun berhal selama dia mampu mengemban amanah.
Referensi
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media, 2016.
C.E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, terjemahan Ilyas Hasan, penyunting, Rachmat Taufiq Hidayat, Manchaster, Bandung : Mizan, 1993.
Philip K. Hitti, History Of The Arabs: From The Earliest Times to the Present, terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. I, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2018.
Oleh : M. Khoirur Rozikin, Semester V