Identitas Buku:
Judul buku: Ajaran Kiai Gontor (72 Wejangan Hidup KH. Imam Zarkasyi)
Karya: Muhammad Ridho Zarkasyi
Penerbit: Renebook
Cetakan 1: Oktober 2019
Cetakan 2: April 2021
Halaman: 248
ISBN: 978-602-1201-29-9
K.H. Imam Zarkasyi Lahir di Gontor, 21 Maret 1910, beliau adalah Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur, bersama 2 kakaknya, KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin Fananie. Ia anak bungsu dari Kiai Santoso Anom Besari. Kakaknya enam orang, tiga laki-laki dan tiga perempuan.
Belum genap usianya 16 tahun, Imam Zarkasyi muda mula-mula menimba ilmu dibeberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya. Seperti Pesantren Josari, Pesantren Joresan dan Pesantren Tegalsari. Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Ongkoloro (1925), ia melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Jamsaren Solo.
Pada waktu yang sama ia juga belajar di sekolah Manba’ul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH. M. O. Al-Hisyami, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah itu (terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah) ia sangat tertarik dan mendalami pelajaran bahasa Arab.
Imam Zarkasyi meninggal pada 30 April 1985 pukul 21.00 WIB, ia meninggal di Rumah Sakit Umum Madiun, meninggalkan seorang istri dan 11 orang putra putri.
Gaya Kepenulisan:
Dalam buku Ajaran Kiai Gontor ini ada 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi. Pada awalnya mungkin kita akan mengira buku ini berisi banyak ayat dan hadis tapi ternyata tidak demikian. Buku ini lebih menitikberatkan nasihat dan alam pemikiran K.H. Imam Zarkasyi, sehingga lebih tepat disebut biografi pandangan hidup.
Muhammad Ridho Zarkasyi sebagai penulis sekaligus anak bungsu dari K.H. Imam Zarkasyi memberikan sebuah arahan kepada pembaca berupa nilai-nilai kemandirian dan wiraswasta yang beliau pelajari dari ayahnya. Mulai dari membangun mindset tentang tujuan hidup manusia, keselarasan antara kehidupan dan agama, dan definisi kemandirian.
Sinopsis:
Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, adalah nama besar di dalam dunia Pendidikan Indonesia. Berdiri sejak 1926, keberadaan Gontor tak bisa dilepaskan dari salah satu pendirinya, KH. Imam Zarkasyi (1901-1985).
Buku yang berisi kumpulan prinsip hidup ini tak ubahnya seperti kompas rujukan arah yang selalu dipegang oleh para santri Gontor dan alumni-alumninya. Sebuah “Rahasia Sukses” di balik Pendidikan Gontor yang melahirkan alumni-alumninya yang berhasil di berbagai bidang.
Dikutip dan dijelaskan ulang oleh anak bungsunya sendiri, M. Ridlo Zarkasyi, buku ini wajib dibaca tidak hanya oleh para santri, pelajar, dan calon entrepreneur, tapi juga oleh para guru dan orang tua sebagai nasihat untuk anaknya.
Kutipan Favorit:
Dari masa kecil sampai dewasa, KH. Imam Zarkasyi mendidik anak-anaknya dengan cara yang berbeda-beda. Pendidikan yang keras dan tegas waktu kecil merupakan dasar untuk menegakkan ketaatan pada nilai-nilai yang didoktrinkan.
Dalam prolognya Muhammad Ridho Zarkasyi bercerita tentang bagaimana beliau dididik dan digembleng oleh bapak beliau (KH. Imam Zarkasyi) untuk telaten, ulet dan sungguh-sungguh. Benang merahnya adalah untuk berpendidikan setinggi mungkin (dan itu tidak harus formal) sebab pendidikan nantinya jadi peletak dasar kemandirian dan kewirausahaan.
Berikut ini adalah beberapa nasihat yang disampaikan oleh K.H. Imam Zarkasyi:
- Jangan Berkecil Hati, Songsonglah Masa Depanmu
Di sini kita seperti dihadapkan realitas dalam kaitannya seseorang menghadapi masalah. Mengapa ketika kita menghadapi masalah besar terasa sedih, ciut dan berat sedangkan ketika kita berposisi menasihati justru terasa ringan dan mudah memunculkan alternatif penyelesaian?
Salah satu penyebabnya adalah ketika kita menghadapi masalah cenderung hati kita mengecil, resah dan frustasi akibat tidak mudah menerima bahwa masalah itu sebagai keharusan jalan hidup.
Nah, lain jika menasihati, sebab hati kita tidak mengecil, tidak ada beban masalah karena tidak mengalami sehingga dalam proses berpikir cenderung lebih jernih dan tepat. Dari hal itu kita dapat gambaran bahwa saat menghadapi masalah kita harus lapang dada dan menerima hal itu sebagai keharusan dalam hidup (ujian untuk menaikan derajat). Setelah kita ikhlas menerima masalah lalu berusaha menyelesaikan masalah dengan berpikir jernih dan tepat. Datangnya masalah justru adalah saat proses kenaikan derajat kita, melatih kesabaran kita, menuntut kesungguhan kita dan memperkuat karakter kita. Orang bijak berkata, “Orang lemah dihancurkan oleh masalah tetapi orang kuat dicerahkan oleh masalah.”
- Bersandar pada Kemampuan bukan Warisan
“Kalau kamu jantan, jangan menyandarkan diri pada warisan. Kita punya otak untuk berpikir, kita punya tangan, kalau perlu semua warisan diwakafkan.”
Mental yang tidak siap hidup hanya dengan mengandalkan warisan cenderung membuat manusia merasa “nyaman” sehingga lupa berjuang dan efek negatifnya adalah cekcok rebutan warisan, tidak saling ridho sesama keluarga sehingga membuat harta warisan tidak berkah. Akan tetapi jika harta warisan diwakafkan maka orang tua mendapatkan pahala dan tentunya kita juga mendapatkan ganti yang berlipat dari Allah. Inilah “tabungan” masa depan kita.
- Hidup itu Perjuangan
Apapun yang ingin kita raih pasti butuh perjuangan yang tentunya pasti ada hambatan dan tantangan. Kuncinya perjuangan adalah kita mampu menghadapi hambatan dan tantangan. Kita tidak bisa memilih antara berjuang atau tidak berjuang, sebab selama hidup perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan, kita akan mati dalam kehidupan. Bila perlu bondo, bahu, pikir (harta, tenaga, fikiran) untuk berjuang kemaslahatan umat. Nilai kita diukur oleh seberapa banyak kepentingan umat yang kita perjuangkan. Satu orang yang memperjuangkan kepentingan seribu orang, nilainya akan sama dengan seribu orang itu. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang banyak.
Syarat perjuangan agar bernafas panjang adalah Pertama, selalu berfikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya ambil. Kedua, ikhlas berjuang hanya untuk Ridha Allah sebab hanya bergantung pada Allah, kita akan kuat. Berikut ini kata-kata hikmah dari KH. Imam Zarkasyi :
“Ilmu itu jasanya adalah 15 % untuk membuat sukses. Selebihnya ditentukan oleh mental.”
“Orang yang takut salah dalam belajar, itu sikap yang salah. Maka jangan takut salah dalam belajar. Harus berlatih dengan tidak takut salah. Ini kunci maju.”
“Jarrib wa laahizh takun aarifan (cobalah, lalu pelajarilah, niscaya akan jadi mengerti).”
“Orang sukses adalah mereka yang bisa menguasai diri, mengatur diri dan mengatur waktu.”
“Senjata kita maju adalah disiplin. Bukan ijazah. Segala sesuatu tanpa disiplin maka akan hancur. Berdisiplin tiga bulan itu lebih baik daripada tidak berdisiplin selama setahun.”
“Pendidikan kolonial bertujuan untuk menjadikan anak didik sebagai pegawai. Sedangkan pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan rakyat.”
“Mayoritas pegawai itu mematikan inisiatif maka kalau kamu jadi pegawai jangan mati inisiatif.”
“Kalau ingin maju tidak boleh puas dengan apa yang ada.”
“Kalau kita ingin menuju cita-cita, berjalanlah untuk itu dan jangan sampai terpengaruh oleh sekeliling kita. Kalau ada orang yang menyalahkan kita padahal yang kita kerjakan adalah suatu hal yang benar maka biarkan saja karena dia tidak tahu dan nanti dia akan mengerti sendiri.”
“Kamu pulang ke masyarakat harus bermental jujur, bersikap jujur dan berpikir jujur.”
“Yang paling berbahaya ialah orang yang tidak mau bekerja tetapi ingin mendapat uang.”
“Jangan miskin amal sebab untuk beramal boleh tanpa uang.”
“Kalau kamu mencari rezeki, jangan sampai niatmu salah. Niat mencari rezeki adalah mencari alat untuk berdakwah. Rezeki bukan untuk mengumpulkan kekayaan. Cari rezeki sekadar untuk hidup. Jika niat mencari rezeki untuk ibadah dan dakwah maka pasti Allah akan memberi.”
“Saudagar berasal dari kata ‘Sau’ (seribu) dan ‘Dagar’ (otak) maka saudagar adalah orang yang mempunyai seribu otak (pemikiran).”
“Kapitalmu yang harus dimiliki pertama kali adalah sanggup hidup sederhana (prihatin). Belum apa-apa sudah mau mentereng, ini sifat yang salah. Lihat kehidupan orang Cina, walaupun kaya tapi hidup sederhana.”
“Kekayaan harta jangan jadi tujuan. Jadilah pemuda pejuang yang punya tanggung jawab kepada umatnya, bangsanya dan keluarganya.”
“Untuk apa punya banyak harta jika kamu jadi musuh masyarakat?”
“Kami tidak terpesona melihat orang kaya kecuali kalau dia berjasa.”
Satu hal yang membuat buku ini istimewa adalah sumber informasinya yang valid dan autentik. Muhammad Ridho Zarkasyi sebagai putra bungsu KH. Imam Zarkasyi memberikan perspektif yang unik dan menyampaikan pesan-pesan dengan kejelasan yang menggetarkan hati pembaca. Secara eksplisit, Ia menggambarkan sikap dan karakter ayahnya yang memiliki pengetahuan yang luas dan akhlak yang mulia. Buku ini menjadi sumber yang dapat kita andalkan untuk memahami ajaran KH. Imam Zarkasyi dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto eksklusif dan dokumentasi keluarga yang menggambarkan perjalanan hidup KH. Imam Zarkasyi dan kehidupan keluarga mereka. Hal ini memberikan dimensi personal yang lebih dalam dalam memahami ajaran-ajaran yang diwariskan oleh sang kiai. Foto-foto tersebut juga menghidupkan suasana masa lalu dan memberikan pembaca wawasan yang lebih menyeluruh tentang perjalanan hidup KH. Imam Zarkasyi.
Kelebihan Buku:
Ada quote penuh satu halaman
Quote dari K.H Imam Zarkasyi dengan ukuran satu halaman penuh yang terkadang muncul sebagai satu kesimpulan dari sebuah pembahasan. Ini membuat pembaca bisa lebih mudah menyimpulkan satu pembahasan dari buku Ajaran Kiai Gontor; 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi.
Tulisan per-paragraf hanya 2–4 baris
Ini membuat kita tidak merasa lelah untuk membaca banyak halamannya dan akan merasa lebih cepat selesai. Itu karena sedikitnya baris dari setiap paragraf dalam buku tersebut.
Ada foto sebagai penunjang ilustrasi
Pembahasan dengan gaya bahasa yang tidak menggurui
Kekurangan buku:
Menyatunya warna halaman buku dan font
Ada beberapa warna font cerah menyatu dengan warna halaman yang juga cerah, sehingga membuat kita kesulitan untuk membaca.
Kontributor: Lula Chaerunnisa, Semester IV
Editor: Siti Yayu Magtufah