Ma’had Aly – Kemenangan kaum muslimin terhadap kaum musyrikin Quraisy di perang Badar merupakan kemenangan yang sangat besar bagi umat Islam di seluruh penjuru bangsa Arab yang diakui lawan maupun kawan. Kekalahan kaum musyrikin serta tewasnya para pemimpin mereka pada perang Badar, tentu saja hal tersebut membuat kemarahan kaum musyrikin semakin membara dan kiat untuk balas dendam semakin gencar. Selain itu, kerugian besar yang mereka alami pada peristiwa Batalyon Zaid bin Haristah, di mana hal tesebut telah menghancurkan serta memporak-porandakan sendi perekonomian mereka sehingga menambah kesedihan dan kedukaan kaum musyrikin Quraisy.
Dan pada akhirnya, setelah menunggu sekitar satu tahun lebih satu minggu setelah perang Badar, kaum musyrikin Quraisy melancarkan aksi balas dendamnya terhadap kaum muslimin. Dengan modal 3.000 pasukan siap mati di medan perang yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, mereka berangkat dari Makkah menuju medan perang, yakni di daerah Uhud dengan semangat yang terus berkobar dan tekad yang sangat kuat untuk menang serta ditambah lagi amarah dan dendam yang masih menancap pada jiwa kaum Musyrikin Quraisy. Sedangkan di sisi lain, ketika Rasulullah mendengar berita keberangkatan kaum musyrikin ke Madinah untuk membalaskan dendam mereka, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam langsung memanggil para sahabat untuk mengadakan musyawarah mengenai apa yang akan dilakukan kaum muslimin untuk menghadapi perlawanan kaum musyrikin. Dalam riwayat Ibnu Ishaq, beliau mengatakan bahwasannya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam pada saat itu mengajak kaum muslimin untuk tetap tinggal di Madinah membiarkan kaum musyrikin tetap tinggal di mana mereka berada. Apabila mereka masuk ke kota Madinah dan menyerang kaum muslimin, maka kaum muslimin akan menyerang balik mereka di dalam kota. Karena dengan demikian, kaum muslimin di seluruh kota Madinah akan turun tangan ikut andil dalam peperangan melawan kaum musyrikin. Di samping itu, Ibnu Ishaq juga menyebutkan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sendiri tidak ingin keluar dari kota Madinah untuk berduel dengan kaum musyrikin. Akan tetapi, karena desakan beberapa orang yang tidak berkesempatan berjihad di perang Badar untuk keluar dari kota Madinah dan berhadapan dengan mereka, akhirnya Rasulullah Shallalau ‘alaihi wa Sallam berangkat menuju tempat di mana kaum musyrikin berkemah, yakni di daerah sekitaran gunung Uhud.
Pada hari Sabtu, tanggal 22 Maret 625 M bertepatan dengan tanggal 7 Syawal 3 H, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam akhirnya sampai di daerah Uhud dengan membawa pasukan kaum muslimin sebanyak 1.000 orang, namun karena adanya pembelotan yang dilakukan oleh orang-orang munafik yang dipelopori oleh Abdullah bin Ubay bin Salul pada saat perjalanan menuju medan perang, sehingga mengakibatkan berkurangnya pasukan muslimin menjadi 700 orang. Pada saat perang terjadi, pasukan muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam hampir saja mengalami kemenangan. Namun, karena kelalaian pasukan muslimin terkhusus pada pasukan pemanah yang tidak disiplin pada perintah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Wasallam dan lebih memilih mengikuti hawa nafsunya dan tergiur akan gemerlap dunia untuk mengambil harta rampasan perang. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Khalid bin Walid untuk balik menyerang pertahanan kaum muslimin yang tengah lengah sehingga mengakibatkan pasukan muslimin kocar-kacir tidak beraturan dan berujung pencederaan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam dan gugurnya beberapa keluarga dan juga sahabatnya. Salah satu keluarga Rasulullah yang syahid di medan perang yaitu paman beliau yakni Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim yang dibunuh oleh Wahsyi, budak dari Jubair bin Muth’im. Hal ini memberikan duka mendalam bagi pribadi Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sendiri dan juga bagi umat Islam pada umumnya. Karena mereka telah kehilangan Singa Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain Hamzah, ada satu kisah seorang syahid yang sangat menarik dan menginspirasi untuk kaum muslimin saat perang Uhud ini. Beliau adalah Hanzhalah bin Abi Amr yang mendapat julukan Ghasil al-Malaikah yaitu seseorang yang dimandikan malaikat. Kisah ini dimulai ketika Hanzhalah meminta izin kepada Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam untuk tidak mengikuti perang Uhud karena sehari sebelum terjadinya perang Uhud, Hanzhalah bin Abi Amr melangsungkan pernikahannya dengan wanita cantik bernama Jamilah binti Abdullah bin Ubay. Ia meminta izin untuk menghabiskan waktu bersama istri tercintanya. Untuk sama-sama berbagi kebahagiaan layaknya pasangan pengantin baru. Dan tentunya malam harinya menjadi malam pertama bagi pasangan yang tengah bersama-sama merajut cinta itu. Namun ternyata Hanzhalah menunda hubungan suami istrinya sampai setelah salat subuh dengan alasan takut tidak dapat melaksanakan jamaah shalat subuh hanya karena dinginnya mandi wajib pada malam hari. Jadilah Hanzhalah dan sang istri memilih melakukannya setelah subuh dan memiliki waktu panjang untuk memuaskan hasrat mereka.
Ketika sudah sama-sama merasakan kepuasannya, Hanzhalah beranjak hendak melakukan mandi wajib. Namun belum sempat melakukannya, Hanzhalah dikejutkan dengan adanya kabar bahwa pasukan muslimin mengalami kekalahan, jadilah beliau langsung menyambar pedang dan memakai pakaian perang lalu bergegas menyusul Rasulullah dan kaum muslimin di medan perang meninggalkan sang istri yang masih meringkuk di kamarnya. Melihat sang suami pergi meninggalkannya untuk pergi berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Jamilah hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk sang suami.
Hanzhalah berjalan dengan gagahnya menuju medan perang, di mana di tempat itulah Rasululah Shallalahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan muslimin lainnya tengah berjuang melawan pasukan musyrikin Quraisy yang telah memporak-porandakan pertahanan kaum muslimin. Di dalam buku Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid 2, Ibnu Ishaq berkata, “Handzalah bin Abu Amr Ghasil al-Malaikah (yang dimandikan malaikat) bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb di Perang Uhud. Ketika Handzalah berhasil mengatasi perlawanan dari Abu Sufyan dan hampir saja membunuhnya, tiba-tiba Syadad bin Al-Aswad memukul Hanzhalah hingga gugur.”
Hanzhalah bin Abi Amr sang pengantin baru yang syahid di medan Uhud. Seperti halnya kaum muslimin yang mati syahid, jenazah Hanzhalah langsung dikubur tanpa harus dimandikan. Tidak ada yang tahu bahwa Hanzhalah sedang dalam keadaan junub yang seharusnya dimandikan dulu sebelum dimasukkan ke dalam liang kubur. Namun Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam mengetahui bahwa Hanzhalah masih dalam keadaan junub. Hal ini telihat setelah perang Uhud selesai dan jenazah para syuhada dikumpulkan. Kala itu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam melihat jenazah Hanzhalah, lalu beliau memalingkan wajahnya ke arah lain. Hal itu pun tidak luput dari pandangan para sahabat. Sahabat pun bertanya perihal alasan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam melakukan hal demikian. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam pun menjawab bahwa beliau melihat jenazah Hanzhalah tengah dimandikan oleh para malaikat. Selain itu beliau juga menyaksikan para bidadari tengah menjemputnya untuk ke Surga. Ketika Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam berkata demikian, Abu said pergi untuk melihat mayatnya, dan benar saja beliau melihat ada tetesan bekas air mandi Hanzhalah mengalir di kepalanya. Karena kejadian inilah Hanzhalah bin Abi Amr mendapat julukan Ghosil al-Malaikah (yang dimandikan malaikat).
Masyaa Allah, seketika itu para sahabat begitu terkesima dengan kejadian yang menimpa Hanzhalah. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam pun menyuruh mereka untuk bertanya kepada istri Hanzhalah terkait amalan apa yang dilakukan Hanzhalah sehingga dimandikan malaikat. Istrinya pun menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi, mulai dari berkumpul dengan istrinya untuk pertama kali hingga mendengar kekalahan kaum muslimin di medan perang dan memutuskan untuk menyusul Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam dan pasukan muslimin lainnya di medan perang Uhud. Alhasil, para sahabat akhirnya mengetahui bahwa Hanzhalah pergi meninggalkan kesenangan dunia, menuju medan perang Uhud tanpa sempat melaksanakan mandi wajib.
Inilah kisah perjuangan kepahlawanan Handzalah, ia tidak menunda-nunda untuk pergi berjihad. Padahal, ia sedang bersenang-senang dengan istrinya. Namun, hatinya tidak tenang mendengar kaum muslimin sedang mengalami kesusahan dan kekalahan dalam berperang. Berkat kegigihannya, Hanzhalah mendapatkan jalan syahidnya melalui perang Uhud ini. Jasadnya yang basah dimandikan malaikat yang mulia, dan rohnya disambut oleh para bidadari Surga. Hanzhalah bin Abi Amr sahabat Nabi pemburu syahid dan cinta berjihad di jalan Allah yang rela terlepas dari pelukan seorang wanita dan berpindah ke adu pedang serta perisai kulit yang mengantarkannya menjadi pengantin langit, di mana kedatangannya sangat dirindukan oleh para bidadari Surga. Allah Maha Adil dan Maha Membalas. Tidak ada balasan bagi kebaikan selain kebaikan pula. Hanzhalah telah mendapat buah dari perjuangannya. Buah berupa balasan yang agung. Sehingga Allah muliakan dan harumkan kisahnya agar kita tidak ragu untuk membela agama-Nya.
Referensi:
Al-Jauziyah, Imam Abdul Qayyim. 2002. Jami’ as-Sirah: Kelengkapan Tarikh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam. 2018. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid II. Terj. Fadhil Bahri, Lc. Bekasi: Darul Falah.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. 2001. Ar-Rahiq Al-Makhtum. Terj. Hanif Yahya, Lc. Jakarta: Darul Haq.
Bustoni, Hepi Andi. 2015. Mengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan: Belajar dari Perang Uhud. Bogor: Pustaka Bustan.
Ezokanzo, Tethy. 2016. 99 Kisah Menakjubkan Sahabat Nabi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syahrul. 2018. Recharge Your Iman: 31 Living Wisdom yang Akan Men-Charge Kembali Iman Kita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Kontributor : Winda Khoerun Nisa, Semester III