Muawiyah bin Abi Sufyan: Kiprah, Kontroversi, dan Dampaknya dalam Sejarah Islam

Muawiyah bin Abi Sufyan: Kiprah, Kontroversi, dan Dampaknya dalam Sejarah Islam

WWW.MAHADALYJAKARTA.COMMuawiyah bin Abi Sufyan menarik untuk dibahas karena dia merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam. Dia adalah gubernur Suriah yang kemudian memproklamasikan diri sebagai khalifah, mendirikan Dinasti Umayyah, dan membangun basis kekuasaan yang memberi pengaruh besar dalam sejarah Islam. Muawiyah juga terkenal karena peran pentingnya dalam Perang Saudara Pertama di antara kelompok Sahabat Nabi yang menyebabkan perpecahan umat Islam. Diskusi tentang Muawiyah sering kali mencakup berbagai sudut pandang kontroversial, mulai dari pencapaiannya dalam memperluas kekuasaan hingga perannya dalam konflik-konflik politik di masa lalu. Selain itu, kisah hidup dan kontribusi Muawiyah juga memberikan pandangan menarik tentang politik, kepemimpinan, dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat Arab pada abad ke-7.

Sosok Muawiyah memang kerap menjadi sorotan pada masa itu, bahkan ada yang sangat membencinya. Berbagai julukan pun kemudian disematkan kepadanya. Ia misalnya disebut licik, culas, musang berbulu domba, dan pengkhianat.

Demikian pula tindakannya mengangkat putranya, Yazid, sebagai khalifah dituding telah menciptakan sistem baru yang tak pernah ada sebelumnya. Hal tersebut selaras dengan perkataan Ibnu Umar dalam kitab Tarikh Khulafa:

Ibnu Umar membaca hamdalah, kemudian berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebelum engkau telah ada beberapa khalifah yang mempunyai beberapa anak, yang anakmu tidak lebih baik daripada anak-anak mereka, namun mereka tidak memutuskan untuk memberikan kekhalifahan kepada anak-anaknya sebagaimana yang kamu lakukan kepada anakmu. Mereka membiarkan kaum muslimin untuk menentukan pilihan mereka dalam mengangkat khalifah.”

Di sisi lain, jasa Muawiyah tak bisa diabaikan begitu saja. Ia tak hanya mampu mengakhiri konflik antar muslim pada masanya, tetapi juga berhasil membangun sebuah dinasti yang telah memberikan jasa besar bagi dunia Islam, yaitu Dinasti Umayyah. Rasulullah saw pernah bersabda: “Tentara dari umatku yang mula-mula berperang mengarungi lautan sudah pasti mendapat surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah Rasulullah saw wafat, ada empat khalifah atau pemimpin yang merupakan sahabat terdekat beliau. Keempat pemimpin umat Islam ini merupakan orang-orang yang dinilai berhasil menjaga kemurnian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw untuk kebaikan umat.

Setelah masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang merupakan Khulafaur Rasyidin terakhir, pemerintahan Islam memasuki era baru. Dinasti Umayyah dengan kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi pemegang kekuasaan politik Islam. Kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan membawa perubahan yang cukup besar pada sistem politik Islam saat itu.

Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bernama panggilan Abu Abdurrahman Al-Umawi. Dia dan ayahnya masuk Islam pada saat pembukaan Kota Makkah (Fathu Makkah) dan juga mengikuti Perang Hunain, termasuk orang-orang mualaf yang ditarik hatinya untuk memeluk Islam. Ia juga menjadi salah satu pencatat wahyu atas rekomendasi dari Malaikat Jibril. “Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.

Muawiyah bin Abu Sufyan juga adalah orang yang mengubah sistem politik demokrasi partisipatif yang dibangun Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin. Pada era pemerintahan Muawiyah, diterapkan sistem pemerintahan tertutup yang lebih otoriter. 

Periode Kepemimpinan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan

Muawiyah I memulai karier politiknya sebagai Gubernur Suriah pada 639 M, setelah ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab. Selama menjadi gubernur, ia membuktikan diri sebagai pemimpin yang cakap dengan membentuk angkatan laut Muslim pertama.

Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pertama dari Kekhalifahan Umayyah selama periode yang berlangsung dari tahun 661 M hingga 680 M. Kepemimpinannya ditandai dengan berbagai perubahan signifikan dalam sejarah Islam awal.

Politik Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Pembentukan Dinasti Umayyah

Mayoritas kaum Muslim pada saat itu adalah orang Arab. Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari pentingnya angkatan laut dan pada zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak mengizinkan Muawiyah menggunakan angkatan laut karena ia tidak ingin kaum Muslim habis ditelan laut (karena mereka tidak familiar dengan laut). Angkatan laut baru digunakan pada zaman Utsman bin Affan untuk membebaskan Siprus.

Salah satu upaya utamanya adalah memperluas wilayah kekhalifahan dengan menaklukkan wilayah yang luas di luar wilayah Arab, termasuk Mesir, Libya, dan sebagian besar wilayah Timur Tengah. Muawiyah juga mendirikan pangkalan angkatan laut yang kuat di Laut Tengah, yang memperluas pengaruh kekhalifahan ke wilayah perairan.

Selain itu, Muawiyah dikenal atas pemerintahannya yang otoriter dan sentralistik. Ia menetapkan sistem pemerintahan yang kuat di seluruh wilayah kekhalifahan, memperkenalkan birokrasi yang efisien dan menegaskan kendali pusat atas wilayah yang baru dikuasai. Kepemimpinannya juga memperkenalkan berbagai kebijakan administratif dan keuangan yang inovatif, yang membantu memperkuat kekhalifahan secara keseluruhan.

Namun, kepemimpinan Muawiyah juga kontroversial, terutama dalam hubungannya dengan Kekhalifahan sebelumnya dan klaim atas kepemimpinan. Konflik internal dengan kelompok oposisi, terutama dengan kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib, serta persoalan suksesi setelah kematiannya, menjadi bagian dari sejarah Dinasti Umayyah.

Secara keseluruhan, periode kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan memiliki dampak yang sangat signifikan dalam sejarah Islam, termasuk dalam pembentukan struktur politik dan perluasan wilayah Kekhalifahan Islam.

Perang Shiffin

Setelah Khalifah Utsman meninggal karena dibunuh oleh pemberontak, sosok penggantinya adalah Ali bin Abi Thalib. Namun, pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, kekacauan masih banyak terjadi. Salah satunya disebabkan oleh tuntutan untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Seruan untuk membalas dendam atas kematian Utsman muncul dari Muawiyah I yang berakhir dengan pertempuran antara Ali dengan Muawiyah I yang disebut sebagai Perang Shiffin.

CIKAL BAKAL PERANG SHIFFIN

Perang Shiffin terjadi karena Muawiyah I menolak membaiat Ali, yang dituding gagal menemukan pembunuh Utsman. Untuk menghindari pertumpahan darah, Khalifah Ali mengirim Jarir sebagai utusannya ke Suriah. Namun, Jarir melaporkan bahwa Muawiyah hanya akan mengakui Ali sebagai khalifah setelah para pembunuh Utsman tertangkap.

Perang Shiffin ini diakhiri dengan Peristiwa Tahkim atau penyelesaian perkara, yang ternyata tidak menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan perpecahan menjadi tiga golongan politik, yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij.

Dampak Perang Shiffin

Banyak dari pihak Ali bin Abi Thalib yang kecewa dan berselisih setelah peristiwa tahkim karena merasa upaya mereka selama ini sia-sia. Akhirnya, muncul kelompok baru yang radikal dan dikenal sebagai Khawarij. Kelompok ini memusuhi Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah I.

Tahkim yang diharapkan dapat mengembalikan persatuan kaum Muslim justru menyebabkan kaum Muslim terpecah menjadi tiga golongan. Tiga golongan politik yaitu Syiah (pro-Ali), Khawarij (kontra-Ali) dan Sunni (sebagian pro-Muawiyah, sebagian pro-Ali dan sebagian netral). Permasalahan politik antara tiga golongan berkembang menjadi permasalahan teologi.

Sementara itu, setelah pembunuhan Ali pada 661 M oleh pihak Khawarij, Muawiyah I menyatukan kekhalifahan Islam dengan mendirikan Kekhalifahan Bani Umayyah.

    Referensi: 

As-Suyuthi, Imam Jalaluddin Abdurrahman Abi Bakar, Tarikh Khulafa, Terj. Muhammad Ali Nurdin, Sunt. Sujilah Ayu, Jakarta: Qisthi Press, 2014.

Ayoub, Mahmoud M, Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, Bandung: Mizan, 2003.

Azizi, Abdul Syukur, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Yogyakarta: Saufa, 2014.

Fauzi, Achmad, Ke-Nu-An, Yogyakarta: LP Ma’arif NU, 2017.

Muhammad bin Jarir, Tarikh Al-Umam wa al-Muluk,Beirut: Muassasah Al-A’lami lil Matbu’ah, 1983.

Dirhamzah, Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Masa Dinasti Bani Umayyah,  Jurnal Al-Hikmah, 2020.

Kontributor: Ahmad Danial, Semester III

Leave a Reply