Politik Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Pembentukan Dinasti Umayyah

Politik Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Pembentukan Dinasti Umayyah

Ma’had Aly – Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf merupakan pendiri sekaligus khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah. Lahir empat tahun menjelang Rasulullah berdakwah di kota Makkah. Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Syiria (Suriah), dan Mesir dari tangan imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Ketika Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syiria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah. Pada masa pemerintahan Ali, terjadilah beberapa konflik antara kaum Muslimin di antaranya yaitu perang Shiffin.    

Menurut Ahmad Al-Usairy dalam bukunya Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX menyatakan bahwa ketika masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ia menjabat sebagai gubernur di  Syam. Pada saat itu, ia meminta izin kepada khalifah Umar untuk menyerang pasukan Romawi melalui jalur laut, namun Umar menolak. Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, ia dicopot dari jabatan sebagai gubernur. Sehingga Muawiyah melakukan pemberontakan pada masa itu, dengan alasan ingin menuntut balas atas kematian Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Sedangkan Ali beranggapan bahwa kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus banyak melakukan penyelewengan, selain itu Muawiyah juga berambisi menduduki jabatan Khalifah. 

Lalu Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah perang Shiffin. Peperangan ini diakhiri dengan perdamaian. Namun sayang dalam peristiwa ini, pihak Muawiyah melakukan tipu muslihat atas saran dari Amr bin Ash. Setelah peristiwa tahkim, pihak Ali merasa dirugikan dan pendukung Ali terpecah menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan Khawarij. Orang-orang Khawarij melakukan rencana hendak membunuh 3 orang yang dianggap sebagai dalang perpecahan umat Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib). Namun rencana tersebut gagal hanya orang yang bertugas membunuh Ali berhasil, sehingga Ali terbunuh. 

Philip K. Hitti dalam bukunya yang berjudul “The History of Arab “ mengatakan bahwa hasil dari pemberontakan itu membuat derajat Muawiyyah naik menjadi khalifah dan memperoleh beberapa keuntungan lainnya, sementara di pihak Ali, peristwa ini merupakan awal kehancuran pemerintahannya. 

Setelah Ali terbunuh, orang-orang Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai khalifah, namun pihak Muawiyah menolak. Di sisi lain, Hasan tidak berminat menjadi khalifah  dan tidak mau terjadi perpecahan berlanjut di tubuh umat Islam. Akhirnya Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kekhalifahan kepada Muawiyah pada tahun inilah tercatat dalam sejarah dengan sebutan ‘Amul Jama’ah (tahun kesatuan), dengan syarat bahwa Muawiyah tidak menarik pajak dari pendduk Madiah, Hijaz, dan Irak; Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali dan keluarganya; Muawiyah menyarahkna sebagian harta Baitul Mal kepada Hasan; dan setelah kekhalifahan Muawiyah berakhir, jabatan khalifah diserahkan kepada umat Islam. Dengan demikian Muawiyah resmi menjadi khalifah. Ia ikut andil di berbagai peperangan, baik di masa Rasulullah atau Khulafaur Rasyidin, dan Muawiyah berjanji memenuhi syarat tersebut. Muawiyah secara resmi diangkat sebagai khalifah pada tahun 661 H. Selama masa pemerintahannya, Muawiyah bin Abi Sufyan telah melakukan berbagai kebijakan. Di antara kebijakan yang telah dilakukannya dalam bidang pemerintahan yaitu: 

  1. Pembentukan Diwanul Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan kepada khalifah
  2. Pembentukan departemen pencatatan atau Diwanul Khatam
  3. Pembentukan dinas pos atau Diwanul Barid
  4. Pembentukan percetakan mata uang

Muawiyah menjadi khalifah Dinasti Bani Umayyah selama 20 tahun. pada masa pemerintahannya tidak ada pemberontakan dan tidak ada yang mampu menandingi kekuasaannya. Gaya kepemimpinan Muawiyah sangat bertolak belakang dengan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem demokrasi yang berasaskan musyawarah ketika mengambil keputusan. Sedangkan sistem kepemimpinan Muawiyah adalah monarki, yang berkuasa secara turun temurun.  

Kekuasaan Muawiyah ini merupakan tahapan peralihan negara Islam dari sistem khilafah menuju sistem kerajaan. Sesuai yang dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa sepatutnya Muawiyah dijuluki raja sebagai pengganti khalifah, sebab Nabi saw, telah menubuwatkan hal  itu ketika beliau bersabda, “Masa khalifah sepeninggalku tiga puluh tahun, kemudian setelah itu akan datang masa kerajaan.” Masa ini telah habis pada bulan Rabi’ul Awal tahun 41 H. Ketika Hasan bin Ali turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan kepada Muawiyah. Sabda Rasulullah saw. tersebut terbukti bahwa masa kekhalifahan telah berubah pada masanya Muawiyah. 

Muawiyah bin Abu Sufyan  wafat pada tahun 60 H di Damaskus  karena sakit yang dideritanya. Kemudian tumpu kekuasaan digantikan oleh anaknya yaitu Yazid bin Muawiyah, yang telah ditetapkan menjadi putra mahkota sebelumnya secara sepihak. Saat itulah, kepemimpinan dunia Islam yang didominasi dengan sistem kerajaan pun dimulai. 

 

Referensi:

Ahmad Syalabi,Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 1. Jakarta : Pustaka Al-Husna. 1986.

Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2003. 

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2015. 

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, pertengahan, dan Modern, Yogyakarta:DIVA Press, 2015. 

Muhammad Ali Ash-Shalabi, Sejarah Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah, Jakarta:Ummul Qura, 2016. 

Hitti, Philip, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk, Sunt. Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Zaman, 2018.

Oleh : Munir Akbar, Semester VI

Leave a Reply