Membumikan Kitab Ulama Indonesia di MQKN 2023
Lomba baca kitab kuning merupakan salah satu tradisi intelektual pesantren yang cukup bergengsi. Peserta yang diikuti para santri berkompetisi tidak saja untuk menguji kecakapan membaca secara literal dengan melakukan analisis gramatikal (nahwu-sharaf), tetapi juga dituntut untuk mampu menjelaskan kandungan makna setiap teks yang ditemuinya. Bahkan, tidak jarang pula kemampuan nalar mereka diuji untuk mengkontekstualisasi isinya. Sungguh bukan perkara remeh.
Oleh karena itu, santri yang berani tampil di event lomba ini pun bukan asal santri, tapi betul-betul kader unggulan pesantren yang memiliki kemampuan membaca kitab layak untuk dikompetisikan.
Kitab-kitab yang dilombakan biasanya bahan ajar yang banyak dijadikan kurikulum di pesantren. Untuk level ula (pemula) misalnya menggunakan Safinatun Najah karya Salim bin Sumair al-Hadhrami, Matn Al-Ajurumiyah karya Abu Abdhillah Muhammad ash-Shanhaji, Khulashah Nuril Yaqin karya Umar Abul Jabar, Aqidatul Awam karya Ahmad Muhammad al-Maqzuqi, dan sebagainya.
Sementara untuk level wustha (menengah), biasanya memakai Fathul Qarib karya Abu Syuja’, Nurul Yaqin karya Muhammad Khudari Bik, Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Syarah Waraqat karya Jalaluddin al-Mahalli, dan sebagainya. Sedangkan untuk level ‘ulya (atas) biasanya menggunakan Fathul Mu’in karya Ahmad Zainuddin al-Malibari, Nadzam Alfiyah karya Ibnu Malik atas syarahnya, Lubbul Ushul karya Zakariya al-Anshari, dan sebagainya.
Eksistensi Kitab Ulama Indonesia
Jika sekilas melihat galibnya lomba kitab kuning yang ada di Indonesia, dari tingkat daerah sampai nasional yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga, rasanya kitab ulama Indonesia kurang mendapat ruang. Kitab yang ramai dilombakan biasanya karya ulama luar. Untuk menyebut yang sering muncul di event bergengsi ini diantaranya Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Nadzam ‘Imrithi, Nadzam Alfiyah, dan sebagainya.
Kitab-kitab yang dipakai biasanya dari mata pelajaran yang sudah banyak diadopsi pesantren yang, lagi-lagi, karya ulama luar.
Dominasi kitab produk ulama luar di pesantren Indonesia tidak bisa lepas dari faktor historis. Menurut penelitian Van Den Berg, kitab kuning pertama kali masuk ke Indonesia pada abad 17 yang dibawa oleh murid Jawi yang belajar di Haramain. Kitab tersebut seperti Taqrib karya Abu Syuja’ al-Ishfahani, al-Muharrar karya Abu Qasim ar-Rafi’i dan seterusnya.
Eksistensi kitab-kitab tersebut tidak lain karena perhatian ulama terhadap genealogi keilmuan atau sanad. Bagi umat muslim, sanad adalah mutiara terpendam yang tidak dimiliki pemeluk agama lain. Biasanya para kiai di pesantren hanya mengajarkan kitab-kitab yang pernah mereka pelajari dari gurunya.
Murid Jawi yang belajar di Haramain tentu bukan pembelajar yang tidak produktif. Mereka juga membuat karya tulis yang tidak kalah hebat. Sebut saja di abad 17 seperti Nuruddin ar-Raniri menulis Shirathal Mustaqim, Abdurrauf Singkel menulis Sabilul Muhtadin, dan sebagainya. Berlanjut abad 18 ada Muhamamd Arsyad al-Banjari menulis Sabilul Muhtadin, Dawud al-Fatani menulis al-Fawa’id, dan lainnya. Produktivitas itu terus berlanjut ke generasi ulama selanjutnya dengan jumlah karya yang cukup melimpah.
Meski begitu, tetap saja eksistensi kitab ulama Indonesia masih redup di lingkungan pesantren. Jikapun ada, itu masih sangat sedikit, atau hanya dipakai di sebagian pesantren. Karena berangkat dari tradisi pesantren, lomba kitab kuning pun tidak jauh-jauh menggunakan karya-karya “impor” tadi.
Kitab Ulama Indonesia di MQKN 2023
Pada 10-18 Juli mendatang, Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Subdit Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly (PDMA) akan menyelenggarakan Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) di Pesantren Sunan Drajat Lamongan dengan mengangkat tema “Rekontekstualisasi Turas untuk Peradaban dan Kerukunan Indonesia.”
Ada satu hal yang menarik dari event ini. Dari total 35 item kitab yang dilombakan di tingkat ula, wustha, dan ‘ulya, terdapat enam karya ulama Indonesia yang diikutkan, yaitu Âdâb al-’Alim wa al-Muta’allim karya Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah karya KH Hasyim Asy’ari, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd karya asy-Syaikh Muhammad ‘Umar Nawawi al-Jâwî, Manhaj Dzawî an-Nazhar Syarh Mazhûmah al-Atsar karya Syekh Mahfud Termas, Tharîqatul Hushûl ‘ala Ghâyat al-Wushûl (Ta’lîqât Lubb al-Ushûl) karya Kyai Sahal Mahfuzh, dan Husnus-Shiyâghah karya Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani.
Harapannya, berkat melibatkan sejumlah kitab ulama Indonesia dalam helatan akbar ini, bisa lebih mengenalkan dan mengakrabkan para santri dengan karya tulis ulama negeri sendiri. Lebih jauh, semoga mereka juga terpacu dengan produktivitas ulama pribumi yang memiliki puluhan bahkan ratusan karya. Syekh Yasin al-Fadani, misalnya, tidak kurang menulis dari 105 karya, atau Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi yang menulis sekitar 115 karya.
Muhamad Abror