Sejarah

Islamisasi Masyarakat Sunda oleh Syekh Datuk Kahfi dan Syekh Quro

Ma’had Aly 


Syekh Datuk Kahfi  

Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum era Walisongo, ada beberapa ulama yang berperan besar dalam mengislamkan tanah Nusantara, salah satunya adalah Syekh Datuk Kahfi. Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati atau Syekh Nurul Jati atau Syekh Idhofi adalah tokoh ulama pra-Walisongo yang memiliki peran penting dalam proses islamisasi masyarakat nusantara terutama di Jawa Barat. Konon menurut legenda, tutur sejarah lisan dan rangkuman dari naskah “Nagarakretabhumi”, Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cerbon masih keturunan Rasulullah saw melalui Imam Ahmad bin Isa al Muhajir dari Hadramaut, Yaman. Syekh Nurjati adalah ulama asal Malaka. Gelar Datuk yang disandangkan kepadanya adalah warisan dari kakeknya, yaitu Syekh Datuk Isa Tuwu al-Malaka. Ada juga yang pendapat bahwa Syekh Datuk Kahfi datang ke Dukuh Pasambangan dari Kerajaan Parsi yang saat itu menjadi utusan dari Persia, disertai 20 pria dan 2 orang wanita. Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat dan dimuliakan oleh Ki Gendeng Jumajanti (juru labuhan pada masa itu). Syekh Nurjati tiba di Cirebon pada tahun 1420 M dan diberi izin oleh Ki Gedeng Tapa, penguasa di negeri Singapura (salah satu kerajaan kecil di Cirebon saat itu) untuk mendirikan pondok pesantren di kampung Pasambangan, Giri Amparan Jati. Petilasan berupa kuburan yang dipercaya sebagai kuburan Syeikh Datuk Kahfi berada di Desa Pabean Ilir kecamatan Pasekan Kabupaten Indramayu. 

Namun secara arkeologis, makam Syekh Nurjati di Pabean Ilir bisa diartikan bukan kuburan secara fisik, melainkan tempat itu diinterpretasikan sebagai petilasan yang pernah dikunjungi oleh Syekh Nurjati dalam misi penyebaran Islam. Secara historis bisa dikaitkan sebagai salah satu penyokong tumbuh dan perkembangan Islam di Indramayu sejak abad ke-15. Hal ini erat korelasinya dengan perkembangan Islam di daerah Jawa lainnya yang dimulai pada abad ke-15, sebab pada abad sebelumnya (abad ke-7 hingga abad ke-14) masyarakat Jawa masih berada di bawah pengaruh Hinduisme. Dipaparkan dalam naskah “Nagarakretabhumi IV”, Syekh Datuk Kahfi meninggalkan kampung halaman dan tempat kelahirannya yaitu Malaka dan mulai menuntut ilmu di Baghdad. Selain menuntut ilmu, putra dari Syekh Ahmad ini bertemu jodohnya yang merupakan bibi Sultan Sulaiman yang bernama Syarifah Halimah. Sesudah belajar dari Baghdad, Syekh Nurjati pergi ke Jawa untuk mengislamkan penduduknya yang saat itu mayoritas belum memeluk Islam dan mendirikan pesantren di Gunung Amparan Jati. Pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi berkembang cukup pesat bahkan putra Prabu Siliwangi, Raja Pejajaran yaitu Pangeran Walang Sungsang dan Nyai Lara Santang pernah menjadi santri Syekh Nurjati. Selanjutnya, dibantu oleh Pangeran Walang Sungsang, Syekh Nurjati membuka hunian baru yang kelak dikenal dengan nama Caruban Larang, dan mendirikan masjid (tajug) di sana sebagai pusat dakwah. Bukan hanya para putra raja saja yang menjadi murid Syekh Datuk Kahfi, beberapa santrinya yang terkenal dan pernah mondok di pesantren Syekh Nurjati juga ada beberapa yang kelak dikenal sebagai anggota Walisongo yaitu Masaeh Munat atau Sunan Drajat, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, Syekh Lemah Abang atau yang akrab dipanggil Syekh Siti Jenar. 

Syekh Quro

Syekh Quro seorang ulama dari Champa yang datang ke pelabuhan Muara Jati, Cirebon, pada tahun 1416 M, empat tahun lebih awal dari kedatangan Syekh Datuk Kahfi dan kedatangannya disambut baik oleh penguasa pelabuhan Muara Jati, yang bernama Ki Gedeng Tapa. Tujuannya datang ke daerah tersebut ialah untuk menyebarkan agama Allah swt. yaitu Islam. Islam kemudian masuk dan tersebar di wilayah Cirebon. Di sana, Islam diterima oleh masyarakat dengan baik, bahkan banyak yang masuk Islam secara sukarela, masyarakat pun berbondong-bondong mengikuti ajaran yang dibawa beliau. 

Namun rupanya, kegiatan tersebut diketahui oleh penguasa Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang dan membuatnya cemas, akhirnya Prabu Angga Larang mengirim utusan yang didatangkan kepada Syekh Quro untuk segera menghentikan dakwahnya. Meskipun sempat terjadi pelarangan dakwah Islam oleh Raja Pajajaran kepada Syeikh Quro, akhirnya Syeikh Quro pergi dari Cirebon dan pulang ke Champa. 

Beliau adalah ulama yang semangat dalam berdakwah, ini terbukti ketika beliau bertekad akan kembali ke daerah Kerajaan Pajajaran untuk mendakwahkan Islam di sana. Kali ini beliau tak sendiri, ia ditemani para santri-santrinya. Kemudian berangkatlah beliau bersama rombongannya dari Malaka kembali ke pulau Jawa menggunakan dua kapal mengarungi perairan laut Jawa dan menelusuri sungai Citarum hingga masuk ke suatu daerah di Pura Dalem, yaitu Pelabuhan Karawang. Syeikh Quro kemudian mendarat di pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang pada tahun 1418 M. Demi tercapainya misi yang besar (mendakwahkan Islam) mereka harus menetap di suatu daerah yang akan mereka jadikan objek dakwah. Maka, dengan izin dari keamanan di Pelabuhan tersebut, dibangunlah tempat pengajian di sana untuk kegiatan belajar mengajar, yang kemudian diberi nama Pondok Quro atau tempat untuk belajar al-Quran, yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal mereka dan sebagian dijadikan surau. Surau itu lalu diubah menjadi tempat besar hingga menjadi masjid, karena semakin hari semakin banyak masyarakat yang berdatangan kemudian banyak yang masuk Islam. Ternyata keberadaan Seyikh Quro bersama para santrinya diketahui penguasa Pajajaran, dengan kedua kalinya penguasa itu mengirim suatu utusan bersama dengan pasukannya untuk menghentikan kegiatan yang dilakukan oleh Syeikh Quro dan para santrinya. Diutuslah seorang dari penguasa tersebut bernama Raden Pamanah Rasa, Putra Mahkota Pajajaran bersama satu pasukan yang dibawanya. Terjadi suatu yang menarik ketika Raden Pamanah Rasa datang ke tempat tersebut, ia mendengarkan suara indah yang tidak pernah didengar sebelumnya, yaitu suara lantunan al-Quran oleh Nyi Subang Larang. Ia terus mendekati suara itu dan menghampirinya, ia awalnya berniat menghentikan kegiatan yang dilakukan Syeikh Quro dan rombongannya, tetapi niat tersebut diurungkan bahkan secara pasti Raden Pamanah Rasa mengutarakan isi hatinya ingin mempersunting Nyi Subang Larang.

Pada tahun tersebut, masyarakat Sunda tidak berada dalam jajahan negeri manapun. Saat itu, pemerintahan Sunda berpusat di Galuh, di bawah pimpinan Prabu Niskala Wastukanca (1348-1475 M). Menurut sumber lain, cara berdakwah beliau yaitu mendakwahkan Islam kepada orang yang berbahasa Melayu dahulu yang berada di Jawa, kemudian menyisir daerah-daeah tersebut, dilanjutkan oleh murid-murid beliau. Pada saat itu kedatangan Syeikh Quro diterima dengan baik oleh penguasa Sunda bernama Prabu Niskala Wastukancana (1348-1474 M). Ketika tongkat kepemimpinan Batalogawa beralih kepada Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja (w. 1521 M), hubungan dengan minoritas muslim terjalin semakin baik. Sri Baduga berhasil menyatukan kembali Galuh dan Sunda menjadi Pajajaran dengan Ibukota Pakuan. Raja yang dikenal orang Sunda sebagai Prabu Siliwangi itu menikah dengan Nyi Subang Larang, anak pamannya, Gedeng Tapa, yang menjadi murid Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro di Pesantren Quro. Anak-anak Subang Larang, Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, semua memeluk Islam. Satu hal yang menarik dari tumbuhnya Pesantren Quro adalah bahasa yang mereka gunakan dalam proses belajar mengajar adalah memakai bahasa Sunda bukan bahasa Jawa. Setelah itu, tahun 1568 M Banten merdeka dari kekuasaan Cirebon, mereka kemudian meruntuhkan Pajajaran pada tahun 1579 M. Sisa kerajaan Sunda Pedalaman, Sumedang Larang, Sejak tahun 1430 M di pimpin oleh Pangeran Santri (1505-1579 M) yang masuk wilayah Islam melalui jalur Cirebon. 

 

Referensi 

Agus Sunyoto. 2017. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iman.

Ahmad Zaini Hasan. 2014. Perlawanan dari Tanah Pengasingan. Yogyakarta: PT LKiS Cemerlang.

Iip D. Yahya. 2006.  Ajengan Cipasung. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Kasim Supali. 2012. Budaya Dermayu. Yogyakarta: Gapura Publishing.

Ridwan Saidi. Kronologi Kedatangan Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Renaisance.

Tri Wibowo. 2015. Akulah Debu di Jalan Al Musthafa. Yogyakarta: Prenadamedia Group.

Oleh : NAsrudin, Semster III

3 thoughts on “Islamisasi Masyarakat Sunda oleh Syekh Datuk Kahfi dan Syekh Quro

  • Asep Mulyadi

    Tulisan yang sangat bermanfaat. Mengingatkan kembali bagaimana penyebaran agama Islam di tanah Pasundan. Islam diterima dengan damai dan tanpa paksaan. Terima kasih

    Reply
  • Sangat bermanfaat informasinya dan menginspiras mengenai perjuangan dakwah islam. Haturnuhun min .

    Reply

Leave a Reply to Encep Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *