Dinasti Bani Umayyah, Kejayaan hingga Runtuhnya

Dinasti Bani Umayyah, Kejayaan hingga Runtuhnya

Ma’had Aly – Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Awal mulanya Mu’awiyah menolak pembaitan terhadap Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali bin Abi Thalib, dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali bin Abi Thalib dan naiknya Muawiyah juga disebabkan oleh keberhasilan pihak Khawarij membunuh Ali bin Abi Thalib, meskipun kemudian kekuasaan dipegang oleh putranya, yaitu Hasan. Hasan mengadakan perjanjian damai dengan Muawiyah dengan menyerahkan jabatan khilafah untuk Muawiyah pada tahun 41 H (661 M) dengan beberapa kesepakatan. Tujuannya agar tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia. Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, yakni di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai tahun al-Jama’ah (tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat Islam telah menyepakati bahwa mereka hanya mempunyai satu orang khalifah. 

Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada masa Jahiliyah. Pamannya yang bernama Hasyim bin Abdi Manaf selalu bertarung dengannya karena ingin memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Bani Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu pada saat Nabi Muhammad saw, beserta beribu-ribu pengikutnya menyerbu masuk ke dalam kota Mekkah. Kekuasaan Dinasti Umayyah pada masa keemasannya menandingi Alexander Agung. Dinasti ini berdiri di Damaskus, Suriah, setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir. Pada masa Dinasti Umayyah, kaum muslimin berhasil menaklukan Afrika utara, Khurasan, Bukhara, Indus, perbatasan Tiongkok, dan Spanyol. Wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah hampir sama luasnya dengan yang dikuasai oleh Alexander Agung yang bertahan hampir seratus tahun lamanya. 

Menurut Rizem Aizid dalam buku Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern menyatakan bahwa Dinasti Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H /661 M di Damaskus, dan berlangsung hingga sampai tahun 132 H/750 M. Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang politisi handal. Sebelum menjadi khalifah, ia menjadi gubernur Damaskus dan suriah raya selama 20 tahun, dan pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Ustman bin Affan mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaanya, terutama pada zaman jahiliyah. Dalam setiap persaingan, Bani Umayyah memiliki keunggulan dibanding keluarga Bani Hasyim. Bani Umayyah memiliki beberapa unsur yaitu berasal dari keturunan keluarga bangsawan, mempunyai harta yang cukup banyak, memiliki 10 anak yang terhormat dan menjadi pemimpin di masyarakat, diantaranya ialah Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan.

Menurut Philip K. Hitti dalam History of The Arabs menyatakan bahwa, Dinasti Umayyah berhasil mengamankan kekhalifahan dengan meminggirkan kelompok Ali, mereka belum sepenuhnya aman karena perebutan kekuasaan itu melibatkan 3 pihak, dan pihak yang terakhir sepenuhnya musnah. Muawiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya karena kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “Basis Rasional“ yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. 

Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama dipimpin oleh Mu’awiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan displin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. 

Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’wiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan – jabatan penting. 

Ketiga, Muawiyah memilik kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat ”hilm”, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah pada zaman dahulu. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan adalah memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah ke kota Damaskus diwilayah Suriah. 

Menurut Samsul Munir Amin dalam buku Sejarah Peradaban Islam mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sangat bertolak belakang dengan sistem kepemimpinan khulafaur rasyidin. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem demokrasi, yaitu sistem pemerintahan berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan dan pemilihan pemimpin dilakukan oleh rakyat. Selain sistem pemerintahan, ada juga perubahan lainnya, yaitu baitul mal. Pada masa khulafaur rasyidin, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat berbeda dengan masa pemerintahan Mu’awiyah, baitul mal beralih kedudukan menjadi harta kekayaan keluarga raja. Kebijakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah pada masa pemerintahannya yaitu:

  1. Pembentukan diwanul hijabah, yaitu sebagai lembaga yang bertugas memberikan pengawalan kepada khalifah.
  2. Pembentukan diwanul khatam, yaitu lembaga yang bertugas mencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah dalam berita acara pemerintahan.
  3. Pembentukan shahibul kharraj, yaitu pemungut pajak.

Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah, sedangkan khalifah terakhir adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Di antara mereka ada pemimpin – pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan zamannya. 

Muawiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, yaitu Yazid yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum kaum Syiah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Nabi itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan. Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya. 

Yazid wafat pada tahun 64 H setelah menerima 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Mu’awiyah II. Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar. Muawiyah  II digantikan oleh Marwan bin Hakam, seorang yang memegang stempek khalifah pada masa Ustman bin Affan. Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyah dan penasihat Yazid di Damaskus pada masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia dianggap dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang lain pantas memegang jabatan khalifah itu tidak didapatkannya. Ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik bin Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan. Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama yakni, 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya.

Pemerintahan Bani Umayyah dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin yang beramai – ramai masuk ke kedalam kekuasaan Islam. Beberapa kemajuan yang berhasil dicapai oleh Dinasti Umayyah yaitu dalam bidang militer dan kekuasaan, politik dan pemerintahan, dan sosial dan budaya. Pada masa puncak kebesarannya Dinasti Umayyah juga dalam melakukan ekspansi kekuasaan Islam jauh lebih besar daripada Imperium Roma. Keberhasilan ini juga meliputi  penyebaran Syariat Islam baik dalam keagamaan, perekonomia dan politik. 

Adapun penyebab keruntuhan Daulah Bani Umayyah adalah kekalahan berulang-ulang yang dialami Bani umayyah saat berhadapan dengan bani Abbasiyah. Di mulai dari Khurasan dan terus ke arah pusat pemerintahan Umayyah di Damaskus. Pada saat itu, pasukan Abbasiyah bertemu dengan pasukan Bani Umayyah dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan mampu dikalahkan. Ketika pasukan Abbasiyah berangkat menuju dua arah yaitu sebagian menuju Irak dan sebagian menuju Damaskus. Sedangkan Marwan dan pasukannya berpindah-pindah tempat di wilayah Syam, menuju Qinnasrin kemudian ke Homs, Damaskus, Yordan, Palestina dan terakhir menuju Mesir. 

Nah, kemudian pasukan Abbasiyah mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai dapat membunuhnya di Mesir. Maka, pasukan Umayyah pada saat itu sudah terkepung saat mengetahui berita terbunuhnya Marwan. Lalu mereka menyerahkan diri kepada Bani Abbasiyah. Mulai saat itu, hilanglah Daulah Umayyah dan mereka semua bergabung kepada Daulah Abbasiyah. Tak bisa kita pungkiri bahwa pada masa Dinasti Umayyah ini banyak memberikan warna dalam dunia Islam baik dari awal masa pemerintahannya hingga masa kejayaan dan runtuhnya.

 

Referensi

Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, Yogyakarta: DIVA Press, 2015.

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2015.

Hatmansyah. “Sejarah Dakwah Pada Masa Bani Umayyah”. https://www.researchgate.net/publication/331096029_SEJARAH_DAKWAH_PADA_MASA_BANI_UMAYYAH/ Diakses pada Jum’at 12 Juli 2019, pukul 19.26 WIB

Rasul Ja’fariyan, Sejarah Para Pemimpin Islam, Terj. Ana Farida, Nailul Aksa dan Khalid Sitaba, Sunt. Muhsin Labib dan Rivalino Ifaldi, Jakarta: Al-Huda, 2010.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013.

Muhammad Ali Ash-Shalabi, Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, Jakarta: Ummul Qura, 2016.

Taufik Rachman, Bani Umayyah Dilihat dari Tiga Fase (Fase Terbentuk, Kejayaan dan Kemunduran)Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1, Medan, 2018.

Oleh: Munir Akbar, Semester V

Leave a Reply