MAHADALYJAKARTA.COM – Berbicara tentang Hari Santri Nasional maka tidak terlepas dari Ulama besar yang memiliki rasa nasionalis tinggi yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Beliau tidak hanya menjadi nasionalis, melainkan juga menularkan sikap nasionalisme. Hal tersebut dilakukannya melalui jalan fatwa. Ada beberapa fatwa yang ia keluarkan untuk menumbuhkan semangat nasionalis di dalam jiwa para pemuda negeri Indonesia, salah satunya adalah fatwa jihad.
Fatwa jihadnya pun menginspirasi banyak orang, khususnya warga NU di Nusantara. Terutama fatwa Resolusi Jihad. Suatu ketika Soekarno bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari “Apakah hukumnya membela tanah air bukan membela Allah Swt, membela Islam atau membela Al-Qur’an? Sekali lagi, membela tanah air?” Berawal dari pertanyaan inilah, lahir yang namanya Resolusi Jihad, yang isinya adalah sebagai berikut:
- Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa
- Musuh-musuh Indonesia terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika-Inggris) dalam hal tawanan perang bahasa Jepang. Tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia
- Umat Islam terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah
- Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 90 km (yakni jarak umat Islam boleh melakukan shalat Jamak dan Qashar). Adapun bagi mereka yang di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 90 km tersebut.
Resolusi Jihad yang difatwakan KH. Hasyim Asy’ari secara tersirat mengandung penegasan bahwa membela tanah air hukumnya wajib dan termasuk jihad. Fatwa jihad dikeluarkan pada 17 September 1945. Dalam fatwa itu, disebutkan bahwa hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid, orang yang memecah persatuan wajib di bunuh. Berangkat dari fatwa jihad itu, para ulama se-Jawa dan Madura kemudian mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat di kantor PBNU Bubutan, Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Rapat ini dipimpin oleh Ketua Besar KH. Abdul Wahab Chasbullah. PBNU menetapkan keputusan penting yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”. Keputusan bersejarah ini diumumkan tepat tanggal 22 Oktober 1945. Rapat ini merupakan respons yang progresif dan cepat para ulama NU atas adanya upaya kembalinya NICA Belanda ke tanah air dengan membonceng tentara Sekutu untuk menguasai kembali Indonesia.
Baca Juga:
Hari Santri: Jangan Lupakan Konteks Makna Jihad
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang dikenal sebagai Hari Pahlawan merupakan kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26-29 Oktober 1945 yaitu perang antara Brigade ke-49 di bawah komando Brigjend Aulbertin Waller Sothern Mallaby dengan Arek-Arek Surabaya yang sangat heroik, menewaskan 2000 an lebih pasukan sekutu, termasuk Brigjen Mallaby terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945. Para sejarawan, seperti Agus Sunyoto (2020) menyimpulkan bahwa Perang Rakyat Empat Hari tersebut terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang ditetapkan pada 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad memiliki beberapa dampak signifikan dalam perkembangan Islam dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yaitu sebagai berikut:
- Konsolidasi pergerakan Islam: Resolusi Jihad menggemparkan ini membantu mengkonsolidasi dan menyatukan berbagai organisasi Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin NU memainkan peran utama dalam mempersatukan berbagai kelompok Islam dan mengarahkan mereka pada tujuan bersama yaitu perjuangan kemerdekaan
- Dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Resolusi Jihad secara eksplisit menyatakan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda. Hal ini memberikan legitimasi agama kepada perjuangan tersebut memotivasi banyak muslim untuk berpartisipasi dalam perang kemerdekaan
- Penguatan identitas Islam: Resolusi Jihad juga memperkuat identitas Islam dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Hal ini mendorong para muslim untuk lebih aktif dalam mendukung kemerdekaan Indonesia dan memperlihatkan bahwa Islam dan Nasionalisme tidak bertentangan
- Dampak sosial dan kemanusiaan: peran kemerdekaan berdampak besar pada masyarakat termasuk para santri yang turut ambil bagian, mereka terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan seperti perawatan korban perang dan pengobatan ini membantu memperkuat solidaritas sosial dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat
- Peningkatan pemberdayaan Santri: Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan membuka peluang bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pemahaman yang lebih luas tentang dunia. Ini mendorong perkembangan intelektual dan sosial para santri yang pada gilirannya berkontribusi pada perkembangan pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia
- Legitimasi pesantren: Resolusi Jihad memberikan legitimasi kepada Pesantren sebagai pusat pendidikan dan budaya Islam yang penting. Pesantren menjadi tempat pembentukan pemimpin agama dan masyarakat yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan
- Dampak politik: Resolusi jihad telah memberikan dampak signifikan bagi kehidupan politik di Indonesia. Sebab Resolusi Jihad ini telah sukses meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan di tanah air Indonesia.
- Dampak militer: Resolusi Jihad telah melahirkan laskar pejuang seperti Laskar Hizbullah, Sabilillah, TKR dan lainnya
Melihat dari sejarah tersebut dimana Ulama dan Pondok Pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan dan untuk mengenang, meneladani serta melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Republik Indonesia maka banyak dari kalangan pesantren mengusulkan untuk menetapkan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober. Meski pada awalnya menuai banyak polemik dengan berbagai alasan. Akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal ini dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2015 tentang hari santri pada 15 Oktober 2015 silam.
Referensi:
Agus Sunyoto. Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945. Pustaka Pesantren Nusantara, 2018
Rizem Aizid. Selayang Pandang KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: DIVA PRESS, 2023.
Wahyu Iryana. Sejarah Pergerakan Nasional Melacak Akar Historis Perjuangan Bangsa Indonesia dan Kiprah Kaum Santri dalam Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Prenada, 2022
Jamal Ma’mur Asmani. Jihad Keilmuan dan Kebangsaan Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD, 2022
Muhammad Syakir. Sejarah Hari Santri. https://www.nu.or.id/fragmen/sejarah-hari-santri-XE9hw. Diakses pada 20 Oktober pukul 10.15 WIB
Kontributor: Dalimah Nur Hanipah, Mahasantri Ma’had Aly Jakarta