Raja Ali Haji, Sang Penguasa Riau

Raja Ali Haji, Sang Penguasa Riau

Ma’had Aly – Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau lebih dikenal Raja Ali Haji lahir pada 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Namun, ia sejatinya keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji, merupakan salah satu pahlawan Melayu-Bugis ternama, yang pernah menjabat Yamtuan Muda (atau perdana menteri ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang membuat Kesultanan Johor-Riau maju pesat sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Darah sastrawan menurun dariayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari dua putra Raja Haji. Pangeran Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama yang menyusun epos yang melukiskan sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.

Ayahnya adalah orang pertama yang mengajari pendidikan dasar. Raja Ali Haji juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana kesultanan Riau Lingga di pulau Penyengat. Dia adalah orang yang pertama kali bersentuhan dengan pendidikan agama, bahasa dan sastra. Raja Ali Haji juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika beliau beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada 1822. Raja Ali Haji dan ayahnya pergi ke Mekkah Pada tahun 1828 untuk berhaji dan belajar bahasa Arab dan ilmu agama.

Sejak masih kecil, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah, untuk berdagang dan termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman ini, Raja Ali Haji tumbuh jadi pemuda berwawasan luas. Pada usianya yang masih sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama di Riau. Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang penting. Sementara ketika usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali bin Raja Jafar, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang saat itu masih sangat muda. Ketika akhirnya, saudara sepupunya diangkat menjadi Yamtuan Muda, Raja Ali Haji diangkat menjadi penasihat keagamaan negara.

Raja Ali Haji sebagai seorang yang memiliki posisi penting di pemerintahaan Kesultanan Johor Riau tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi, khususnya di bidang keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat dan juga hukum. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di zamannya, baik di kalangan agamawan maupun cendikiawan dan para sastrawan.

Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk yang dibuat tahun 1846 dianggap sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi Melayu. Karya lainnya yang terkenal adalah buku di bidang ketatanegaraan yang berjudul Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku yang berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini ia buat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Jafar pada 1857. Dua tahun kemudian, Raja Ali Haji membuat karya lainnya di bidang yang sama, yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubarawa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi Para Pemimpin, Pembesar dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji. Dalam buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Allah swt., tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.

Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Ini sangat terlihat dari karya-karyanya yang banyak menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama besar tersebut. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain di pengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran politik Raja Ali Haji juga dipengaruhi ulama seperti IbnuTaimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.

Selain Samarat, karya beliau lainnya yang monumental adalah buku berjudul Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860. Diperkirakan karya ini sebenarnya merupakankarya Raja Ahmad yang kemudian disunting dan sempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini berisi sejarah kesultanan Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura. Buku-buku beliau lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Buku ini juga mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini selama dua abad.

Karya Raja Ali Haji lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Mutaallimin (Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu) yang dicetak tahun 1875. Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum rampung karena Raja Ali Haji wafat di tahun 1870. Keduabukuiniberisitentangpandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah swt. yang digariskan dalam al-Qu’ran. Bukunya yang lain adalah Gurindam Dua Belas, Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam.

Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisinasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama. Untuk mengenang karya-karyanya, 20 tahun kemudian, keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat, serta penerbitan buku-buku islami.

Di dalam portal ini karya Raja Ali Haji di bagi kedalam lima klarifikasi, yaitu buku, kamus melayu, surat-surat, gurindam dan syair. Klarifikasi semacam ini untuk mempermudah bagi siapa saja yang hendak mengetahui berbagai jenis karya Raja Ali Haji, sekaligus dapat menelaah karya-karya tersebut secara spesifik dan mendalam.

Usia 40 tahun adalah masa dimana Raja Ali Haji banyak mencurahkan perhatiannya pada penulisan karya-karya sastra. Ia tercatat sebagai penulis yang produktif di masanya. Kesultanan Riau-Lingga, johor dan Pahang ketika itu menjadi terkenal berkat karya-karya RAH yang banyak dibicarakan pakar bahasa dan sastra di seluruh nusantara dan juga di luar negeri. Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2004.

Dalam riwayat kehidupan Raja Ali Haji, sebagian besar sumber menyatakan bahwa Raja Ali Haji wafat pada tahun 1872 di Pulau Penyengat di Kepulauan Riau, tetapi tanggal kematiannya sedang diperdebatkan setelah bukti-bukti yang tersebar muncul untuk menentang klaim ini. Diantaranya, bukti yang terkenal adalah surat yang ditulis pada tahun 1872 ketika Raja Ali Haji menulis surat kepada Herman Von De Wall, seorang ahli kebudayaan Belanda yang kemudian meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873

 

Referensi
A. Mujib, Dkk. Intelektualisme Pesantren Seri 2. Jakarta. Diva Pustaka. 2004
Ginanjar Sya’ban. Mahakarya Islam Nusantara. Tanggerang. Pustaka Compass. 2017
Aswadi Syahri. Di Dalam Berkekalan Persahabatan Surat-Surat Raja Ali Haji. Jakarta. 2006

 

Oleh : Maulana Yusuf, Semester IV

Leave a Reply