Gus Baha’; Ahli Tafsir Didikan Ulama Nusantara

Gus Baha’; Ahli Tafsir Didikan Ulama Nusantara

Mengenal lebih dekat Gus Baha’, ahli tafsir asli didikan ulama nusantara. Salah satu santri Mbah Maimoen Zubair Sarang yang ahli tafsir, dewan ahli tafsir nasional yang berlatar belakang non formal, dan ahli tafsir yang mondoknya hanya di nusantara. Dengan membaca profil beliau, mari kita bangga jadi santri.

Pada sebuah kesempatan Prof. Quraisy Syihab berkata, “Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail al-Qur’an hingga detail-detail fikih yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti Pak Baha’.”

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha’ adalah putra seorang ulama’ ahli Qur’an, KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa.

Nursalim adalah murid dari KH. Arwani Al-Hafizh Kudus dan KH. Abdullah Salam Al-Hafizh Pati. Dari silsilah keluarga ayah, dari buyut beliau hingga generasi ke-empat kini merupakan ulama’-ulama’ ahli Qur’an yang handal.

Sedangkan silsilah keluarga dari garis ibu, beliau merupakan silsilah keluarga besar ulama’ Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area Masjid Jami’ Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.

PENDIDIKAN

Gus Baha’ kecil mulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan al-Qur’an di bawah asuhan ayahnya sendiri. Di usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan al-Qur’an beserta qira’ah dengan lisensi yang ketat dari ayahnya. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makharijul huruf.

Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha’ untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan. Di Al-Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam ilmu syari’at seperti fikih, hadits dan tafsir.

Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rais Fathul Mu’in dan Ketua Ma’arif di jajaran kepengurusan PP. Al Anwar. Saat mondok di sana pula beliau mengkhatamkan hafalan Shahih Muslim lengkap dengan matan, rawi dan sanadnya.

Selain Shahih Muslim beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika Arab seperti ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik. Menurut sebuah riwayat, dari sekian banyak hafalan, beliau lah santri pertama Al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak di eranya. Bahkan tiap-tiap musyawarah yang akan beliau ikuti akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya, sebab dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan beliau.

Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi gurunya Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekadar berbincang santai, hingga urusan mencari ta’bir, menerima tamu-tamu ulama’-ulama’ besar yang berkunjung ke Al Anwar, dan dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.

Pada suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta’bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina, karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan “Iyo Ha’, koe pancen cerdas tenan.” (Iya Ha’, kamu memang benar-benar cerdas).

Selain itu Gus Baha’ juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa’idzah di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. “Santri tenan iku yo koyo Baha’ iku,” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha’ itu) kurang lebih seperti itulah ngendikan Syaikhina yang riwayatnya sampai ke penulis.

Dalam riwayat pendidikan, semenjak kecil hingga beliau mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu. Ketika sang ayah menawarkan kepadanya untuk mondok di Rushaifah atau Yaman, beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamater, Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

KEPRIBADIAN

Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau. Diceritakan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangannya hingga kini. Beliau mengutarakan bahwa kehidupannya bukanlah model kehidupan yang mewah, melainkan sangat sederhana, dan berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut dengan maksud, agar ia tidak kecewa di kemudian hari. Calon mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan “klop” alias sami mawon kalih kulo.

Saat berangkat ke Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya, beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular, bus biasa kelas ekonomi. Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan.

Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Beliau hidup sederhana bukan karena keluarganya miskin. Silsilah keluarga dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di mana beliau diasuh semenjak kecil, tiada satu keluargapun yang miskin. Bahkan kakek beliau dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaannya, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur’an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya.

Salah satu wasiat ayahnya adalah agar beliau menghindari keinginan untuk menjadi “manusia mulia” dari pandangan kerumuman makhluk atau lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan sehari-hari.

Setelah menikah, beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya dan menetap di Yogyakarta sejak 2003. Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya, berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Semenjak hijrah ke Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya.

Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogya, patungan menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepadanya. Ada sekitar 5 atau 7 santri alumni Al Anwar maupun MGS yang ikut beliau ke Yogya saat itu. Di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar yang akhirnya minta ikut mengaji kepada beliau.

Pada tahun 2005 KH. Nursalim jatuh sakit. Beliau pulang sementara waktu untuk ikut merawat sang ayah bersama keempat saudaranya. Namun siapa sangka, beberapa bulan kemudian Kiai Nursalim wafat. Gus Baha’ tidak dapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogya sebab diamanati oleh ayahnya untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan.

Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Para santri sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Beliau pun bersedia namun hanya satu bulan sekali, dan itu berjalan hingga kini. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur’an Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Beliau juga diminta untuk mengasuh Pengajian tafsir al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya mendapat gilirang minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut dijalani secara rutin sejak 2006 hingga kini.

Beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor, dan ahli-ahli al-Qur’an seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional lain.

Ketika ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, beliau tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir al-Qur’an di Indonesia, beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar. Meski demikian, kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir nasional.

Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai Mufassir, juga sebagai mufassir fakih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur’an. Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan Mushaf al-Qur’an, posisi beliau selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai fakihul Qur’an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam al-Qur’an.

Sumber : fb منتهى

Leave a Reply