Cahaya Tauhid di Ufuk Barat: Sejarah Dinasti Muwahhidun

Cahaya Tauhid di Ufuk Barat: Sejarah Dinasti Muwahhidun

MAHADALYJAKARTA.COM— Penaklukan yang dilakukan oleh daulah Umayyah menghasilkan beberapa dinasti-dinasti yang ada di Afrika, yang wilayahnya mencapai Afrika Utara dan Barat serta sampai ke wilayah Spanyol. Adapun salah satu dinasti yang muncul akibat dari penaklukan ini adalah dinasti Muwahhidun. 

Al-Muwahhidun adalah nama daulah Islamiyah di Afrika Utara, tepatnya di wilayah Maroko. Pada mulanya al-Muwahidah merupakan gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Ibnu Tumart. Secara etimologis al-Muwahhidun adalah ‘penganut paham tauhid’, sedangkan secara terminologis, al-Muwahhidun adalah sebutan yang dipakai bagi pengikut-pengikut Ibnu Tumart yang menekankan ajaran Tauhid serta menentang kekafiran dan paham antropomorfisme (tajassum) serta menyerukan umat untuk amar ma’ruf nahi munkar. Dinasti Muwahhidun (1121-1269 M) didirikan oleh Muhammad bin Tumart (1080-1130 M) yang dikenal dengan sebutan Ibnu Tumart. Ia memiliki pengikut yang dinamakan al-muwahhidun (orang-orang yang bertauhid). Pengikutnya itu adalah orang-orang Barbar, seperti suku Haragah, Hantanah, Jadmiwah, dan Janfisah. Ia memerangi paham at-tajsim yang dibawa oleh Dinasti Murabithun (448-541 H/1056-1147 M). Menurutnya, paham at-tajsim identik dengan syirik dan orang yang menganutnya musyrik. 

Latar Belakang Munculnya Dinasti Muwahhidun

Kemunculan al-Muwahhidun dilatar belakangi oleh terjadinya stagnasi dalam pemikiran para pengikut Imam Malik saat itu, yang menyatakan bahwa belajar tafsir al-Qur’an dan Hadits sudah tidak diperlukan lagi bagi setiap muslim, karena hal itu telah dilakukan oleh Imam Malik sendiri. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Tumart menyerukan untuk menjadikan al-Qur’an, Hadis dan Ijma’ sahabat sebagai dasar ajaran Islam dan menolak ra’yu sebagai dasar hukum. Oleh karena itu ia pun menolak qiyas. Menghadapi kondisi keagamaan seperti itu, Ibnu Tumart pergi ke Cordova, Alexandria, Makkah bahkan Baghdad untuk mendalami ilmu agama. Watt dalam bukunya A History of Islamic Spain sebagaimana dikutip oleh Ajid Thohir, mengemukakan bahwa Ibnu Tumart pernah berguru langsung kepada al-Ghazali. Bahkan ia dimungkinkan juga mengenal aliran Asy’ariyah dengan baik, di samping mengenal pemikiran Ibnu Hazm, penganut paham ad-Dhahiri dari Spanyol. Itulah sebabnya dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Ibnu Tumart termasuk pengikut fanatik Asy’ariyah. Baginya, memahami al-Qur’an secara literer akan menjurus kepada antropomorfisme dan menjadikan kafir. Pada tahun 1100 M, Ibnu Tumart kembali ke Maroko dengan semangat dakwah yang berkobar, ia mempopulerkan ajaran pemurnian akidah berdasarkan ‘tauhidullah’. Dalam upayanya mengembalikan citra Islam dan kaum Muslimin, Ibnu Tumart sering melontarkan berbagai kritik terhadap praktik-praktik kehidupan sosial dan keagamaan, terutama terhadap moral umat yang semakin merosot, materialistis dalam kehidupan duniawi dan menolak paham tajassum, yang telah banyak dianut oleh para ulama al-Murabithun yang dinilai dapat membawa kebekuan berfikir.  Pada tahun 1117 M, ibnu Tumart diusir dari daerah kekuasaannya di Bijaya. Setelah Ibnu Tumart meninggalkan Bijaya, ia tinggal di Marakesh dan bertemu dengan Abdul Mukmin yang akhirnya Abdul Mu’min menjadi murid Ibnu Tumart. Di Marakesh, gerakan dakwah yang dikembangkan oleh Ibnu Tumart dianggap kurang berhasil,  kemudian ia pindah lagi ke Tinmal. Di kota inilah, ia memperoleh kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka, terutama dari pemuka suku bangsanya sehingga pada tahun 1121 M, Ibnu Tumart mengaku sebagai al-Mahdi serta bertekad untuk mendirikan pemerintahan sendiri. 

Sejak mengaku al-Mahdi, Ibnu Tumart berhasil menghimpun orang-orang dari suku Barbar. Kelompok inilah yang dinamai al-Muwahhidun. Dalam gerakan dakwahnya, Ibnu Tumart banyak mengirim tenaga muridnya ke berbagai suku untuk mengajak kepada jalan yang benar (menurutnya) dan meyelamatkan diri dari ajaran kaum al-Murabithun yang dianggapnya telah mengikuti ajaran antromorfisme dan meyekutukan Allah. Ia juga memerintahkan kepada pengikutnya agar berakhlak terpuji, taat pada undang-undang, shalat tepat pada waktunya, membaca wirid yang dibuat oleh al-Mahdi dan mendalami kitab-kitab aqidah al-Muwahhidah.

Pada tahun 1130 M Ibnu Tumart wafat, sesuai dengan kesepakatan Dewan Sepuluh Abdul Mu’min dinobatkan menjadi khalifah pengganti al-Mahdi, dan dijuluki Amiru al-Mu’minin. Abdul Mu’min sebagai pemimpin al-Muwahhidun secara resmi langsung mengadakan gebrakan pada dua hal yang menjadi program utamanya, yaitu menundukkan kabilah-kabilah yang ada di Maroko dan mengakhiri kekuasaan dinasti al-Murabitun. Pada tahun 1114 M, ia berhasil menyapu pasukan al-Murabithun di wilayah Tlemsan di Fez, Couta, Tangier dan Aghmath. Selanjutnya, pada 1145 M negeri Spanyol dapat direbutnya dari kekuasaan kaum al-Murabithun. 

Pada tahun 1147 M, seluruh wilayah kekuasaan dinasti al-Murabitun dapat dikuasainya. Pada tahun 1159 M, ia menguasai kota Almeria dan menjadikan Gibraltar sebagai pusat pemerintahannya. Kemudian, pada tahun 1160 menguasai alJazair, Tunisia dan Tripoli. Setelah memperoleh kemenangan berturut-turut, akhirnya pada tahun 1162 M Abdul Mu’min kembali ke Maroko memperkuat pangkalan militernya di daerah Rabat, dalam rangka menyiapkan pasukan besar-besaran untuk melakukan penyerangan ke beberapa daerah di Spanyol. Namun, sebelum rencananya itu terwujud Abdul Mu’min wafat pada tahun 1163 M. Setelah Abdul Mu’min wafat, kepemimpinan al-Muwahhidun diserahkan kepada putranya yaitu Abu Yaqub Yusuf. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia melanjutkan kebijaksanaan ayahnya untuk menguasai beberapa kota di Spanyol. Setelah wafatnya Abu yaqub Yusuf, kepemimpinan al-Muwahhidun dipercayakan kepada putranya, Abu Yusuf Yakub al-Mansur. 

Masa Kejayaan Dinasti Muwahhidun

Dinasti Muwahhidun merupakan  dinasti terbesar yang pernah dilahirkan di Maroko, dan imperium besar yang tak ada bandingannya dalam sejarah Afrika. Pada masa Muwahhidun, Andalusia mencapai puncaknya, terutama pada zaman al-Mu’min. Tercatat para cendekiawan Muslim yang terkenal adalah Ibnu Bajjah (533 H/1139 M) ia seorang ahli filsafat dan musik, disebut Avenpace atau Abenpace. Selain itu ada Ibn Tufail (Abebacer), seorang dokter istana Muwahhidun pada masa Abu Ya’kub Yusuf. Ia dikenal juga dengan nama al-Andalusi, al-Qurtubi, al-Isybili (581 H/1185-1186 M) cendekiawan yang lebih terkenal adalah Averroes (ibn Sina 1126-1198 M) ia adalah seorang filosof, dokter, ahli matematika, ahli hukum, juga seorang polemik. Tahun 578 H ia menggantikan Ibn Tufail sebagai kepala tabib (dokter istana) pada masa Abu Yaqub Yusuf. 

Berbagai kemajuan yang dicapai oleh daulah al-Muwahhidun  ialah sebagai berikut : 

  1. Dalam bidang politik, telah mampu menguasai wilayah kepulauan Atlantik sampai ke daerah teluk Gebes di Mesir dan Andalusia. 
  2. Dalam bidang ekonomi, mereka telah berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan beberapa daerah di Italia, seperti perjanjian dengan Pisa pada tahun 1154 M, Marseie, Voince dan Sycilia pada tahun 1157 M yang berisi ketentuan tentang perdagangan, izin mendirikan gudang, kantor, loji dan bentuk-bentuk pemungutan pajak.
  3. Dalam bidang arsitektur, mereka banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk monumen, seperti Giralda, menara pada Masjid Jami’ di Sevilla, Bab Aguwnaou dan al-Qutubiyah, menara yang sangat megah di Marakiyah serta menara Hasan di Rabbath. 
  4. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, banyak melahirkan orang-orang terkenal seperti: Ibrahim bin Malik bin Mulkun, seorang pakar Alquran dan ilmu nahwu. Al-Hafidz Abu Bakr bin al-Jad, seorang ahli fiqh. Ibnu al-Zuhr, seorang ahli kedokteran. Ibnu Thufail dan Ibnu al-Rusyd yang merupakan filosof Muslim yang sangat terkenal.

Kemunduran Dinasti Muwahhidun

Keruntuhan Dinasti Muwahhidun terjadi saat dinasti ini dipegang oleh Muhammad an-Nashir. Nashir tidak memiliki pandangan dan wawasan politik sebagaimana pemimpin sebelumnya. Kelompok Kristen yang mengetahui kelemahan tersebut mulai menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan Muwahhidun. Alfonso VIII yang semakin aktif mengadakan penetrasi ke daerah-daerah kekuasaan Muslim khususnya di kawasan Andalusia mulai menggoyang kekuatan Muwahhidun. Pada tahun 1212 M kelompok Kristen yang merupakan gabungan dari Leon, Castile, Navarre, dan Aragea melakukan kontak senjata dengan tentara Muwahhidun. Kelompok Muwahhidun terpukul, dan memaksa Nashir meninggalkan Spanyol. Spanyol ditinggalkan dan diserahkan putranya yang baru berusia 15 tahun, yakni Abu Yaqub Yusuf II al-Muntashir. 

Dinasti Muwahhidun semakin suram hingga tahun 1221 M, al-Muntashir meninggal. Sepeninggal Al-Muntashir terjadi perebutan kekuasaan pada kekhalifahan karena al-Muntashir tidak memiliki putra. Perebutan ini menimbulkan perpecahan dikalangan pembesar, hingga memunculkan daulah-daulah baru. Seperti Bani Nafs (1228 M) di Tunisia, Daulah Bani Ziyan (1235 M) di Tlesman. Di Spanyol juga terbelah-belah, Abu Yakub di Sevilla, Tripoli menjadi kekuasaan Bani Ayyubiyah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh kelompok Kristen untuk mengakhiri kekuasaan Muwahhidun di Spanyol. Khususnya Tahun 1269 M, Dinasti Muwahhidun di Maroko benar-benar habis dan keluar dari pentas sejarah.

Referensi :

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. 

Amin, Samsul Munir, Sejarah dakwah, Jakarta: AMZAH, 2022.

Yahaya, Mahayudin, Islam di Spanyol dan Sicilia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa, 1990.

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Hitti, Philip K, History of the arabs, New York: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002. 

Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Daulah Muwahhidun, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2021. 

Kontributor: Lula Chaerunnisa

Editor: Shofa

Leave a Reply