Pegiat Sejarah Harus Belajar Jurnalisme!

Pegiat Sejarah Harus Belajar Jurnalisme!

Ma’had Aly – Sejarah dan jurnalisme. Ketika mendengar kedua kata tersebut yang terlintas di pikiran ialah dua hal yang berbeda dalam hal tempo. Sejarah lebih dekat dengan benda-benda kuno atau bukti tulisan yang menjadi sumber data  terjadinya sesuatu yang penting di masa lampau. Sedangkan jurnalisme lebih dekat dengan hal-hal yang bersifat kebaruan. Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta sebagai pegiat sejarah memiliki berbagai macam cara, metode, kajian, dan langkah tersendiri dalam mendalami sejarah dan peradaban Islam. Salah satunya dengan mendalami jurnalisme. Tiga mahasantri turut aktif menjadi peserta Workshop Jurnalisme Sastrawi Menulis Biografi Ulama yang diselenggarakan oleh Alif.id pada 18 – 23  Desember 2019 di Wisma Kementerian Ketenagakerjaan di Ciloto, Cipanas, Cianjur. Ketiganya ialah Iman Suhaemi, Maulida Husna, dan Laila Fauziah.

Kenapa jurnalisme? Adakah kaitannya dengan sejarah?

Sebagaimana diketahui, jurnalisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya. Dalam jurnalisme, fakta yang akurat menjadi nilai terpenting. Sehingga publik bisa mendapat informasi yang sesuai dengan kualitas fakta yang terkandung di dalamnya.

Hamzah Sahal, founder Alif.id mengatakan bahwa kekuatan dari jurnalistik ada di unsur utamanya, yakni fakta. “Harus fakta, tidak boleh ngarang-ngarang,” tegas Hamzah dalam kesempatan tersebut. Menurutnya, masih banyak masalah masyarakat Islam yang melulu didekati melalui teks, bukan fakta di lapangan.

Unsur utama inilah yang menjadikan jurnalisme harus dipelajari oleh seorang pegiat sejarah. Melalui jurnalisme, fakta yang sesungguhnya dapat disampaikan kepada khalayak untuk menjaga keaslian serta keakuratan suatu data yang kelak menjadi bagian dari sejarah.

Namun, fenomena yang terjadi saat ini ialah tidak sedikti media yang peliputannya hanya berupa ‘jurnalisme majalah dinding’. Mereka hanya mempublikasikan diri sendiri. Dalam artian, mereka hanya fokus yang tampak terjadi tanpa menggali secara mendalam sebuah fakta di masyarakat.

Maka, jurnalisme tidak bisa dinilai enteng, karena membutuhkan keakuratan data, yakni fakta yang diperoleh melalui reset. Tidak mungkin sesuatu bisa diceritakan dengan detail tanpa melalui reset.

Dalam mengungkap suatu fakta, adakalanya muncul dua fakta yang berlawanan. Dalam jurnalisme, kedua fakta ini harus ditelusuri lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menyajikan data. Begitu pun dalam mengungkap sejarah yang kerap sumbernya adalah cerita tutur masyarakat. Di sebagian masyarakat mengatakan begini, sebagian yang lain mengatakan begitu. Cerita tutur yang demikian harus dikomparasikan satu sama lain agar dapat diterima sebagai sebuah data.

Kalau kata Hamzah Sahal, “Sesuatu yang masih ‘kayaknya’ harus diverifikasi.”

Bagaimana cara memverifikasinya?

Jika dari sisi sejarah, verifikasi dapat dilakukan dengan melihat apa saja yang bisa menjadi bukti sejarah, seperti benda-benda peninggalan dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi antropologi, verifikasi suatu informasi dapat dilihat dari nilai, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan masih berlaku di masyarakat atau tidak.

Dalam menyampaikan informasi, terdapat beberapa struktur tulisan yang dapat dipilih. Di antaranya berita, feature, narasi, dan lain sebagainya. Andreas Harsono, jurnalis dalam negeri yang sudah ‘wara-wiri’ di dunia jurnalis internasional, dalam kesepatan tersebut hadir sebagai pembicara, mengatakan bahwa suatu informasi dapat dikatakan ‘menarik’ jika mengandung setidaknya tujuh hal. Yakni, konflik, emosi, faktual, akses, tempo, karakter, dan kebaruan. Tujuh hal ini, jika ditelusuri dan ditekuni dengan baik tentu akan menghasilkan suatu tulisan yang ‘tidak asal-asalan’ dalam menyampaikan informasi. Nah, ini sangat penting dalam menjaga keaslian sejarah.

Andreas bersuara, “Makin bermutu jurnalisme di masyarakat, makin bermutu pemikiran masyarakat.” Menurutnya, menulis harus mengerti dan berani. ‘Mengerti’ dan ‘berani’ di sini diartikan sebagai modal dasar dalam mengolah bahan mentah, dalam hal ini informasi, lalu dimasak dengan struktur penulisan yang baik, sehingga dapat menghasilkan tulisan berkualitas.

Senada dengan Andreas, Hamzah Sahal mewajibkan para jurnalis untuk memperbanyak literatur atau sudut pandang untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik.

Alif.id mengangkat biografi karena masih banyak tokoh berpengaruh di Indonesia yang belum tertulis. Walaupun sudah banyak tertulis, menulis biografi seorang tokoh yang sudah terkenal pun tidak ada matinya. Bahkan harus kembali ditulis ulang. Terlebih seorang tokoh adalah pelaku sejarah yang kisahnya sangat dibutukan masyarakat untuk diketahui.

“Sesuatu yang sudah ditulis ‘harus’ ditulis lagi,” ujar Ulil Abshar Abdalla yang turut hadir sebagai mentor. Menurutnya, tulisan-tulisan biografi yang sudah ada sebelumnya merupakan rujukan wajib dalam menulis sebuah biografi. Peneliti bahkan ‘wajib’ membaca sumber-sumber yang ada sebelumnya tidak hanya untuk menggali informasi, namun juga membaca gaya penulisan biografi sebelumnya sehingga seorang peneliti dapat menemukan sudut pandang baru dalam menuliskan sosok tersebut. “Bagaimana tokoh melihat tokoh tersebut, kita ambil sisi lainnya.”

Menulis dengan interpretasi yang berbeda ini menurutnya juga harus ‘ngopi’ bareng dengan penulis lain. Tujuannya tidak lain untuk memastikan intepretasi yang disampaikan sudah benar atau belum. Lalu menyampaikan semua hal yang terjadi dalam proses penulisan, baik orang-orang yang terlibat maupun kejadian-kejadian yang tidak direncanakana. Dalam hal ini kejujuran merupakan hal utama yang harus dipegang teguh untuk terus menjaga kualitas penulisan.

Itulah kenapa, para pegiat sejarah ‘kudu’ belajar jurnalisme. Tidak lain bertujuan untuk melawan hoax atau pendistorsian sejarah demi kepentingan beberapa pihak. Jurnalis yang baik menyampaikan fakta yang akurat. Jurnalisme menjadi jalan bagi kami, pegiat sejarah untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang dipelajari di bangku kuliah. Dengan demikian, mahasantri dapat berperan aktif membantu masyarakat dalam menilai manakah informasi yang benar dan yang salah.

 

Penulis : Laila Fauziah, peserta Workshop Jurnalisme Sastrawi Menulis Biografi Ulama Alif.id

Leave a Reply